Senin, 28 Desember 2009

Oleh-Oleh Kampus
Oleh : Vivin Suryati
Jilbab, kain penutup kepala yang menjulur hingga ke dada itu kini menjadi pilihan busana Nisa hari ini. Nisa, yang sesuai dengan namanya bisa ditebak adalah seorang perempuan. Tak berbeda dengan kebiasaan Nisa lainnya, Nisa satu ini berkaca pada sebuah cermin mungil di tangannya. Memandang wajah yang telah dipoles dengan taburan bedak merk PONDS, merk bedak yang cukup familiar bagi wanita seusianya. Pelambab bibir merah jambu yang terikat oleh jemarinya segera mengoles bibir mungil Nisa. Sesekali menggeleng kepala seakan membetulkan sesuatu yang kurang nyaman yang rupanya ditangkap oleh visualisasi pada cermin. Proyeksi wajah yang tergambar pada cermin itu ditatapnya baik-baik. Entah apa yang membuatnya betah menatap wajah yang juga tak akan berganti bentuk itu, yang jelas jam digital yang bertengger di atas buffet sederhana miliknya sempat menampilkan digit 07.10 pada layarnya dan itu segera menyadarkan Nisa untuk menghentikan kegiatan yang telah dilenggokinya seperempat jam yang lalu. Segera, dia melangkah keluar.
Dewi fortuna rupanya belum menyapanya hari ini. Angkot jalur kampus berlalu tanpa melirik keberadaan Nisa yang telah berdiri sejak tadi menunggu alat transportasi ekonomi tersebut. Satu, dua, tiga..… dan tak terhitung lagi berapa jumlah angkutan kota yang telah berlalu di hadapannya namun tak juga menghampiri. Full, kata itulah yang mewakili gerakan penolakan angkot terhadap keberadaan Nisa hari ini. Hanya asap mengepul yang menyalaminya di pojok jalan itu. Wajah manis yang sedari tadi dipasangnya pada setiap orang yang ditemuinya kini mulai agak kusam oleh debu, asap, dan bau got yang tak enak. Ya, begitulah polusi kota hari ini. Bola mata itu melirik pada arloji pink yang terlilit pada tangan kanannya. Rupanya, waktu telah berlalu lima belas menit. Nisa Nampak gusar dan berceloteh tidak jelas. Lama, aduh, telat dan sederet kata lain mulai terlontar dari bibir itu. Mata itu menatap tajam pada etape jalan. Beberapa angkot mulai nampak dan mendekat. Ekspektasi pun muncul, berharap kendaraan roda empat itu akan singgah menghampirinya. Angkot kampus bertuliskan 02 pada kaca mobil bagian belakang pun berhenti sekian meter dari posisinya saat ini.
“ Akhirnya”, pikirnya dalam hati seakan menunjukkan kelegaan luar biasa. Segera, langkahnya mengayun menuju angkot yang sepertinya memiliki muatan yang lumayan over itu. Tidak jadi masalah bagi Nisa. Syukur bisa sampai kampus on time, harapnya.
Dalam perjalanan menuju kampus, sesekali mata melirik ke kanan dan kirinya. Tiga anak berseragam putih abu-abu duduk sejajar dengannya. Di hadapannya, nampak seorang ibu paruh bayah dengan keranjang polimer miliknya. Juga dua orang bapak tua. Yang satunya berseragam PGRI sementara yang satunya lagi berpakaian batik dengan garis wajah yang menampakkan kematangan usia. Di sebelah Bapak itu, duduk seorang perempuan cantik, modis istilah anak sekarang. Dilihat dari pakaian yang mengena di tubuhnya, bisa ditebak dia mahasiswi sebuah sekolah tinggi computer yang cukup caliber di kota ini. Seorang anak lelaki duduk mendampingi Pak Sopir yang asyik mengemudi.
“Mahasiswa baru ya ,Dek? Tanya Ibu berkeranjang itu yang dengan seksama memperhatikan nisa
“Iya”, jawab Nisa dengan anggukan kepala tanda penegasan.
“Sekarang kampus masih keras ya. Kasihan mahasiswa baru dipelonco terus”
Bapak guru dengan taksiran usia 40 tahun pun ikut merocos pembicaraan, “Sistem Pendidikan kita memang belum berubah. Masih mengikuti pola lama, sistem pendidikan kolonialisme”
“Kasihan anak-anak kita yang di IPDN, mati karena kekerasan dalam sistem pendidikan”, lanjutnya.
Ibu itu pun kembali membuka dialog. Tapi kali ini menyambung argument Bapak guru itu.
“Iya, benar-benar kasihan. Kemanakan saya pun sempat patah tulang karena dipukuli mahasiswa lama di kampus. Kata kemanakan saya itu, dia hanya membela rekannya yang ditendang karena tidak memakai apa tuh namanya?” bola mata itu bergerak ke atas, seolah mencari koordinat memori. “Iya, papan nama”, tegasnya menyelesaikan paparan ceritanya.
Pembicaraan tentang sistem pendidikan pun menjadi topic pembicaraan kali ini. Silih berganti Bapak dan Ibu itu mengeluarkan pendapat dan keluh kesah dengan kalimat panjang. Lebih pantas disebut curahan hati. Mereka mengupas beberapa kasus dan isu yang telah terekspos oleh media. Beberapa kali, Ibu itu bertanya pada Nisa dan meminta persetujuannya. Nisa pun hanya menjawab seadanya, seperti apa yang dialaminya sejak status mahasiswa baru menempel padanya. Tak banyak, karena memang baru satu minggu dia menghirup udara kampus.
“bukan kekerasan Bu, tapi dikeraskan”, suara pelan namun penuh semangat memecah pembicaraan panjang itu…
“Anak muda tidak boleh payah, harus kuat untuk menuntut ilmu, apalagi mempertahankan negara”, bapak tua mengakhiri pembicaraannya.
Nisa yang sedari tadi memerhatikan dialog itu, seakan terguncang oleh perkataan Sang tua. Berbeda dengan perempuan modis itu, Ia lebih memilih untuk mengumpali indera pendengarannnya dengan earphone yang tersambung dengan telepon selular miliknya daripada cuapan orang-orang yang ada di dalam kendaraan itu
“Kiri ”, suara renta membuat mobil yang melaju dengan kecepatan 80 km perjam itu pun berhenti di depan sebuah kantor pos tua. Bapak tua dengan badan agak membungkuk itu pun turun, tak lupa ia menunggigkan senyum kecil pada Nisa yang duduk di ujung pintu mobil. Selembar uang nominal 2000 yang membungkus logam 500 rupiah segera ia serahkan pada pengemudi. Ucapan terima kasih yang belum membudaya bagi orang-orang di Negeri ini pun meretas oleh kata terima kasih Sang tua.
“Pikiran veteran memang beda sama kita ya?”, ujar Ibu paruh bayah yang akhirnya turun di pasar yang bergelar di sepanjang jalan .
…………………………………………………………………………………………………………………………....
Tepat jam 07.55 waktu kampus, Nisa bergerak cepat menuju Himpunan Jurusan Ekonomi. Dilihatnya, sekumpulan mahasiswa berambut plontos. Oh bukan tapi benar-benar gundul seperti bola. Berdiri atas terik matahari. Dengan satu fose, mereka tertunduk tanpa vocal. Segera, Nisa menyadari bahwa mereka adalah rekannya, Mahasiswa baru. Dengan langkah yang agak kaku, ia berusaha berbaur dengan mahasiswa yang juga berkalung karton itu. Terlambat, teriakan seseorang dengan segera menghentikan langkahnya.
“Hei, Kamu! ke sini dulu”, suara dengan nad agak tinggi menukik
Menyadari panggilan itu tertuju padanya, segera Nisa berbalik arah, dan berjalan mendekati seorang perempuan berjilbab yang duduk sekitar 6 meter dari posisinya saat itu.
“Sekarang jam berapa cantik? Kenapa terlambat?”, senior wanita itu pun memulai pembicaraan
Nisa hanya tertunduk tanpa kata. Baginya, jawaban apapun tak kan pernah logis bagi Seniornya.
“ 3 set!”, katanya dengan cepat
1 Set adalah istilah yang berarti 10 push up, 10 back up dan 10 gerakan lagi. Entah apa sebutannya. dan 3 set artinya…,ah tanpa pikir panjang segera dia melaksanakan komando itu. Dilepasnya tas ransel miliknya .
Satu, dua, setengah. Nisa mempraktikkan posisi setengah Push Up. Keringat mengujur di wajahnya. Polesan bedak pun mulai meluntur. Tampak senior itu memerhatikan Nisa dan mulai mengoceh
“Dengar semuanya, di kampus ini kalian tak perlu bergaya, Merk up tebal 5 cm. Oy, tidak perlu pamer perhiasan. Percantik saja itu otak”
“Entah apa maksudnya,Ingin menyindirku atau mungkin saja dia iri denganku yang memang agak cantik darinya” pikir Nisa yang memang masih mengenakan sebuah cincin dan gelang emas.
“lima, enam, tujuh, …..”Ia melanjutkan hitungannya hingga hukuman itu pun selesai….
“Oh, ya namamu siapa?”, tanyanya
“Annisa Dwi Heksaputriani, Kak”, jawab Nisa mantap
“Di sini, kamu tak akan pernah mendapatkan ilmu tentang moral dan etika. Malulah jadi manusia yang krisis moral, kawand”,
………………………………………………………………………………………………………………………………
Tiga bulan sudah, Nisa dan teman-temannya menikmati masanya sebagai mahasiswa. Kuliah di perguruan Tinggi Negeri di Kota Angin Mamiri menjadi kebanggan tersendiri baginya dan juga teman-temannya. Tapi tidak untuk kegiatan nonformal yang diagendakan oleh seniornya. Tepat, Kegiatan pengkaderan. Alasan para senior untuk membuat para mahasiswa baru mengikuti segala aturan main mereka. Nisa dan teman-temannya pun tak punya pilihan lain kecuali mengikuti segala perintah Mahasiswa yang lebih dulu masuk kampus. Pernah ada seorang mahasiswa yang berani melawan. Asis, lengkapnya. Ahmad Asis Abdillah. Temanku yang satu ini memang memiliki keberanian yang agak lebih dari seluruh mahsiswa baru, termasuk Nisa. Asis menolak untuk mengikuti kegiatan pengkaderan. Alhasil, sekali pukulan di perut dan beberapa tamparan di pipi pun menerpanya. Dengan segera seorang senior pun,tapi bukan dia yang memukul Asis. Ia berkhotbah di depan kami yang saat itu tengah didera rasa takut luar biasa. Seolah membenarkan perlakuan fisik yang dilakukan oleh rekannya.
“Di sini, kami tidak butuh para pecundang, manja seperti kalian.Lembek. Kalian tahu, di luar sana kehidupan itu keras”, kata-kata yang seakan berkobar dengan semangat kepemudaan.
“Kalian kira kalian kuliah kalian gratis. Kalian itu disubsisdi oleh negara. Dari uang pajak. Pajak RAKYAT” tegas senior itu. Dimana tanggung jawab kita untuk membayar tetesan keringat mereka. Sekarang, sebagai seorang mahasiswa,” ia menghentikan cuap-cuapnya kemudian tersenyum kecut, entah hanya acting atau luapan emosi nyata.
“Mahasiswa, Maha… Maha...Sungguh, maha..maha goblok dan mahatak tahu diri. Tuhan, kau terlalu baik tuk menyandingkan gelarnya dengan manusia-manusia goblok seperti kalian ini”
Lidah Nisa ingin segera bergerak mengeluarkan sederet kata. Tapi tidak, ras percaya diri dan sedikit keberanian itu pupus. Rasa ingin mengkritik pun sepertinya tampak pada bahasa tubuh mahasiswa Ekonomi angkatan 2009 yang lain. Tapi tetap sama, tak cukup nyali tuk berdebat dengan senior yang penuh dengan retoris itu. Mereka pun pada akhirnya membiarkan suara memantul ke telinga mereka. Lama sekali, mereka merasa teromeli oleh senior-senior yang semakin lama semakin memenuhi ruangan itu. Tak terduga, seseorang berani membuka mulutnya dan mengeluluarkan suara meski dengan agak terbata-bata. Entah siapa dia, Nisa pun tak begitu mengenal.
“Maaf Kak, bagaimana kakak bisa berani berbicara tentang tanggung jawab terhadap bangsa. Tanggung jawab terhadap diri sendiri saja kakak tidak bisa”
“Maksud kamu apa kurang ajar?, hantam seorang senior yang membalut tangannya dengan shall bermotif batik coklat. Tinju pun menerjang pada meja kayu di ruangan itu.
Sementara, senior yang tadi memberikan wejangan kata-kata itu hanya menaikkan alisnya seakan memberi tanda pada ia yang telah lancang berbicara untuk meneruskan kata-katanya.
Kali ini anak itu berbicara lantang seolah tak memperhatikan keberadaan senior yang jumlahnya semakin banyak.
“Maaf Kak, apakah merokok dengan jerih hasil tetesan keringat orang tua dan tidak mengikuti perkuliahan dengan alasan ini dan itu adalah bentuk tanggung jawab. Mana tanggung jawab Kakak bagi bangsa, terlalu jauh, untuk keluarga dan diri kakak sendiri?”, percaya diri pun mulai muncul
Rupanya, anak itu memperhatikan perilaku dan kebiasaan para seniornya di kampus. Dua orang dengan segera menarik Anak yang kemudian kutahu bernama Tegar Wijaya Sitompul. Mereka mengeluarkan Tegar dari ruangan itu. Tegar, sugguh ia namapak tegar menghadapi perlakuan preman Intelek itu. Kegaduhan pun mulai terjadi di ruangan itu.
“siapa lagi yang mau berkomentar?, tanya seorang senior wanita yang tadi menghukum Nisa. Manusia satu ini memang wanita, jilbaber lagi. Tapi hati-hati, aura kekerasannya seakan menepiskan aura kewanitaan pada dirinya. Kini giliran Nisa meluapkan emosi pada senior yang berpenutup kepala itu.
Nisa mulai berbicara, matanya mulai berlinang air mata. Entah ketakutan atau rasa miris yang ada “Maaf Kak, apakah semua harus permasalahan harus dilakukan dengan kekerasan. Apakah cara preman ini layak dicontoh oleh para intelektual? Menampar, memukul….”Air mata pun akhirnya menetes di pipi Nisa.
Cengeng, hu, dan entah kata-kata apa lagi yang terlontar dari sekian banyak mahasiswa senior dan supersenior di ruangan itu. Tampak juga sebagian mahasiswa meneteskan air mata. Mungkin, rasa haru…
“Ooo, jadi seperti ini mental kalian semua. Menangis adalah solusi untuk menghadapi sebuah masalah”, jawab senior wanita itu
“Di mana solidaritas kalian, bahasa teman kalian yang cantik tadi tindakan preman. Di mana rasa kebersamaan kalian ketika saudara kalian dihantam? Atau kalian semua memang pengecut! Senior lain menambahkan.
Tak ada yang bersuara. Lima menit kemudian, rekan Nisa yang tadi dikeluarkan dari ruang dengan senyum agak malu memasuki ruang itu dan mengakhiri seluruh rangkaian scenario Sang senior.
Oleh-oleh kampus yang bisa dibawa pulang oleh Nisa dan Kawan-kawannya hari ini, dunia akademis yang mulai tergerus akan nilai-nilai kemanusiaan semu.
Judul : ...........................
Oleh: Vivin Suryati
Akhirnya, toga yang melambangkan apresiasi Intelektual itu mengena juga di kepalaku. Rasa puas dan sedikit bangga menghampiriku di hari paling bersejarah sepanjang hidupku. Acara wisuda, perhelatan akbar yang menjadi saksi perjuanganku di bidang akademik setelah hampir memasuki tahun keenam. Menimba ilmu di sebuah Universitas Negeri di Kota Makassar, kota yang jauh dari Pulau kelahiranku, Pulau Sembilan, salah satu beberapa gugus pulau kecil di Sinjai Utara. Bukan waktu yang singkat memang, waktu studi yang melebihi waktu studi rata-rata bagi mahasiswa. Wiwiek, Anto dan Rizal adalah mahasiswa satu jurusan denganku. Mereka telah lulus setahun yang lalu dan kini telah mengabdi sebagai guru honorer di kampung. Malahan, Kiki yang satu kelas denganku di SMA Negeri di Kota Sinjai, bisa lulus CumLaude dengan IPK 3,7. Hebat, padahal kalau diingat-ingat, Kiki sama sekali bukanlah siswa dengan IQ tinggi. Harus kuakui, keaktifanku dalam sebuah organisasi dakwah telah membuat kuliahku sedikit keteteran. Tak jarang, aku membolos kuliah karena harus mengikuti acara yang diselenggarakan oleh organisasi nonakademik itu. Juga, pernah sekali aku terlambat mengikuti ujian final karena menjadi pengisi acara di suatu pertemuan. Prof. Abdullah, dosen yang terkenal sebagai dosen yang sangat disiplin pun tak memberi ampun. Tak diizinkannya aku mengikuti ujian yang paling menetukan itu. Al hasil, mata kuliah dengan dosen yang sama pun harus kuulang setahun berikutnya. Hal itu menurutku biasa, tapi tidak bagi orang-orang di sekelilingku termasuk orang tuaku. Mereka sering memperingatkanku untuk memperhatikan kuliahku.
“Ingat nak,sekolah yang baik di sana”, kata-kata Ibu yang selalu menggaung di telinga setiap berkomunikasi denganku. Kegelisahan mereka terhadap kondisi pendidikanku bisa kutangkap. Desember 2008. Iya, di acara Wisuda Sarjana, kegelisahan ayah dan ibu pun akhirnya bisa kupupus meskipun mungkin degan sedikit kekecewaan yang terpendam dalam hati. Siapa yang tahu. Maafkan Linda ……..
Fragmen kisahku di kala itu. Tepatnya, masa kuliahku yang tak berjalan mulus. Penuh Perjuangan. Memori itu mengantarkanku pada tidur lelap malam ini. Namaku, Linda Apriliani Islami. Lengkapanya, Linda Apriliani Islami, S.Pd. Tak apalah kutentengkan gelar sarjanaku itu. Toh aku meraihnya dengan perjuangan dan kejujuran. Oh ya nilai kejujuran, yang akan kuajarkan pada siswa-siswa baruku esok.
Triit,…telepon selular merk NOKIA milikku bergetar, membangunkanku dari tidur dari buaian mimpi. Ooo sebuah pesan singkat, Kak Fachri. Belum kubuka SMS itu. Paling basa-basi, ucapan selamat. Setelah kubuka ternyata dari ibu. Mungkin Kak Fachri sedang liburan bersama anak dan istrinya di kampung.
Assalamualaikum,
Anakku, lakukanlah yang terbaik. Keluarga selalu mendoakanmu. Ibu
Menyejukkan. Pesan singkat dari Ibu semakin memantapkan langkahku di hari yang sedang diguyur hujan. Hari ini memang adalah hari pertamaku sebagai seorang guru. Guru, cita-citaku sejak kecil. Terbilang cukup beruntung, dua bulan setelah aku mendapatkan gelar sarjana Pendidikan, lowongan CPNS terbuka. Alhamdulillah, Aku lulus dan ditugaskan di Sekolah Menengah Atas yang terletak di sebuah kecamatan. Pintu dunia kerja memang begitu mudah kumasuki, nyaris tanpa batu sandungan. Bahkan tergolong memberikan sambutan luarbiasa untukku. sebelumnya, tawaran untuk mengajar di sebuah sekolah swasta dengan gaji bejibun, tak tanggung-tanggung tiga kali lipat dari gaji guru PNS yang telah berbakti hampir separuh hidupnya. Iya, tawaran dari seorang sahabat yang kukenal dari organisasi dakwah yang kuikuti sejak kuliahku semester tiga. Kak Husnul, akrabnya, memberitahukan adanya lowongan kerja di sekolah tempat ia juga mengajar itu memang termasuk sekolah anak-anak golongan borjuis. Tak heran, para staff dan pengajar di sana hidup makmur. Kepala yayasan sekolah itu memang masih kerabat dekat Kak Husnul, oleh karenanya sangat mudah bagiku untuk masuk ke sana dengan memegang selembar surat rekomendasi. Jalur ini tak kupilih karena aku dua alasan mendasar. Pertama, aku tak ingin menambahkan namaku pada daftar praktik nepotisme di negeri ini. Cukup sudah, negeri ini bobrok oleh adanya praktik nepotisme yang hampir tejadi di setiap departemen, termasuk masalah pekerjaan. Tak terhitung berapa banyak calo dan mafia dalam seleksi penerimaan CPNS dan penerimaan karyawan di Institusi pemerintah lainnya. Benar kata orang, koneksi dan kongkalikong akan terus berjalan beriiringan. Lalu, itu kan sekolah swasta, apa yang salah? Benar itu sekolah swasta. Tapi menurutku, cara yang kutempuh untuk masuk ke sekolah Internasional dengan koneksi dari Kak Husnul tetaplah nepotisme. Lagipula, jurusanku hanya Pendidikan Matematika yang tidak ditopang oleh pengetahuan Bahasa Inggris yang mantap. Kalaupun aku masuk ke sana, aku yakin sulit beradaptasi. Kata Kak Husnul saat itu, di akhir tarbiyah tak ada masalah karena semua bisa diatur . Dengan berat hati kutolak tawaran itu. Bagiku, menerima tawaran itu berarti menghilangkan hak calon pengajar lain yang jauh lebih cakap dan tentunya juga akan merenggut hak siswaku kelak untuk mendapatkan ilmu yang seharusnya mereka dapatkan. Sekali lagi bukan congkak tapi ini adalah prinsip. Stop, kita beralih ke kisahku berikutnya, Sekolah baruku…
…………………………………………………………………………………………………………………………………………
Satu, dua dan tiga minggu sudah aku mengabdikan diri dengan ilmuku di sekolah ini. Kebetulan sekali aku masuk pada semester akhir tahun ajaran . Aku pun mulai beradaptasi dengan lingkungan akademis. Para siswa, rekan guru, staff, hingga satpam sekolah telah mengenalku, meskipun mungkin hanya kenal tampang saja. “Assalamualaikum Bu”, sapa mereka saat berpapasan denganku. Bu Linda, sapaan mereka yang biasanya telah menghafal wajah dan namaku dengan baik.
Teknik mengajar yang kupelajari dari Buku Quantum Teaching, kuimplementasikan pada saat mengajar. Sedapat mungkin kupadukan aspek kinestetik, audio dan visual dalam mengajar. Bukan mengajar, tapi lebih tepatnya mengembangkan potensi mereka. Bagiku mendikte siswa dengan pengetahuan yang aku miliki justru akan mematikan kreativitas dan potensi mereka dalam belajar. Metode represif alias kekerasan dalam mengajar pun kuhindari sebab bagiku bukan lagi jamannya sistem kolonialisme. Tapi sulit juga rupanya, butuh kesabaran ekstra dalam menghadapi siswa yang beranjak dewasa ini.
“sekarang kalian lihat latihan pada buku paket halaman 112”, instruksiku setelah menjelaskan materi Program Linear.
“Ayo, siapa yang bisa mengerjakannya”, mataku melirik pada siswa yang duduk di belakang
Anna, seorang siswi yang duduk paling depan segera mengacungkan tangannya. Rasa percaya tinggi terpancar dari aura wajahnya. Cerdas, seperti itulah gambaran dari sosok ini yang kudengar dari cerita para guru selama ini. Tapi perhatianku masih tertuju pada siswaku yang duduk di pojok belakang kelas itu. Belum kutahu siapa namanya. Maklum, aku baru mengajar dua minggu di kelas ini, sekitar empat kali pertemuan kelas. Untuk menghindarkan rasa kecewa pada Anna, segera kupersilahkan dia maju ke depan kelas. Perhatianku pun beralih pada siswi ini. Gerak tangannya dalam menggoyangkan spidol pada papan tulis putih menampakkan kemampuan dan pemahamannya pada materi yang baru saja kami ulas bersama di kelas. Lima menit, waktu yang cukup singkat untuk mengerjakan soal dengan tingkat kerumitan yang agak tinggi. Cerdas, pujiku dalam hati. Segera kuminta Anna menjelaskan cara penyelesaian soal tersebut. Perhatianku kembali tertuju pada siswa itu yang belakangan kutahu bernama lengkap Hermanto Saputra. Tampak ia sama sekali ia tidak memperhatikan apa yang dipaparkan Anna. Kulihat ia asyik mengayunkan penanya di atas buku tulis latihan Matematika. Sempat kuberfikir, dia sedang mencatat apa yang tertulis di papan atau dia telah memahami materi tersebut. Tapi dugaanku meleset, setelah kudekati dan kulihat buku tulis bermerk Sinar Dunia itu, terlihat jelas gambar bola basket, ring, lapangan basket serta desain baju basket yang menghiasi buku latihan matematika miliknya. Tak satupun catatan tentang materi hari ini walaupun itu hanya judul materi. Aku pun memintanya untuk menjelaskan kembali apa yang telah dipaparkan oleh Anna. Dengan nada tenang dan agak tegas, Hermanto menjawab saya tidak tahu.
Emosi pun seketika muncul dengan apa yang dikatakan anak itu barusan. Tapi berusaha kuredam. Setidaknya dia berkata jujur bahwa dia memang tidak tahu. Sabar, kataku dalam hati……..
“Baiklah, kalian yang telah mengerti materi program linear tolong mengajari temannya yang kurang paham. Jika kurang jelas dan mengalami kesulitan, kalian bisa bertanya pada Ibu di luar kelas nanti”, ujaranku mengakhiri pelajaran di kelas itu.
Metode ini kuterapkan karena kuberfikir para siswaku akan lebih canggung untuk bertanya pada mereka yang lebih tua, ada sekat. Berbeda bila mereka berkomunikasi dengan sebayanya. Pengalaman masa lalu ketika aku masih duduk di bangku sekolah dulu.
Anto, sapaan akrab dari Hermanto Saputra pun menjadi sosok dalam topik pembicaraanku dengan Pak Irwan, seorang guru Pendidikan seni. Dari mulut Pak Irwan ini, terlontar pujian pada siswaku tersebut. Anak yang gigih dan punya prinsip. Ujaran yang membuatku bingung, apakah Bapak ini sedang bercanda dengan lantas mengatakan hal yang justru kontradiktif. Setahuku, semua guru di sekolah ini, kecuali Pak Irwan yang dengan ujarannya tadi entah benar atau salah, semuanya mengatakan bahwa Anto adalah siswa dengan label Malas dan Bodoh. Bodoh dalam hal akademik. Menurutku, Kecerdasan memanglah hal yang relatif. Tiap orang memiliki kecerdasan tertentu. Tapi bukan berarti bahwa kau akan menerima perlakuan Hermanto Saputra yang tidak mengerjakan seluruh tugas yang kuberikan termasuk pekerjaan rumah. Bahkan, belakangan ini siswaku ini mulai jarang masuk kelas alias membolos. Beberapa kali aku menyuruhnya menghadap ku di ruang guru. Terkadang aku juga agak berat memintanya menghadapku ke ruang guru hanya untuk menanyainya seputar alasan ketidakhadirannya pada pertemuanku. Sangat mendasar, semua guru akan mengoceh tiada henti pada anak ini yang sudah terlanjur dikenal dengan Cap Bodoh. Menambah beban masalahnya saja. Akhirnya, akupun hanya memberinya nasihat dan semangat untuk berubah.Kasihan juga, pikirku.
Sebagai seorang guru, aku tak mungkin memilih cara represif atau kekerasan menghadapi siswa. Tapi pendekatan yang kulakukan terasa sia-sia. Hermanto Saputra tetap pada sifat-sifat buruknya, tidak ada perubahan. Informasi yang terakhir kudengar, semua guru mengeluhkan sikapnya. Lebih parah lagi, selain terkenal malas, bodoh, ia juga kini sering berkelahi. Kali ini dalam sebuah rapat semua guru dan kepala sekolah sepakat untuk mengeluarkan Hermanto Saputra dari sekolah. Guru BP mencatat, tingkat kesalahan yang dilakukannya tidak bisa ditolerir lagi. Entah dengan pertimbangan apa, aku mati-matian membela siswaku. Dengan alasan pelaksanaan ujian Akhir Nasional yang hanya tertinggal tiga bulan lagi, kenakalan remaja dan faktor lingkungan menjadi tameng untuk melindungi anak yang kutahu riwayatnya akan tamat di sini, di rapat ini. Dengan sedikit retorika, aku akhirnya memenangkan rapat ini setelah melewati debat panjang dengan peserta rapat yang lain.
“Ibu Linda ini bagaimana sih, anak itu sudah bikin ulah. Bisa merusak teman-temannya yang lain dan juga malu-maluin sekolah. Masih saja dibela”, dengan nada agak menyindir.
Akupun hanya bisa menunggingkan senyum. Tak ada kata, karena dasarnya aku pun tak dapat merasionalkan apa yang telah aku argumenkan di rapat tadi. Aku pun tak mengerti tentang apa yang kulakukan tadi. Sejak keluar dari rung rapat itu, aku terasa asing. Segera aku menuju ke musallah kecil milik sekolah. Kudirikan shalat Dzuhur berjamaah menghadapkan wajah pada Rabb Yang Esa. Menceritakan keluh kesahku siang tadi, lewat lantunan doa…
…………………………………………………………………………………………………………………………………………
“Assalamualaikum Kak Fachri”, ucapanku memulai pembicaraan di telephone
“Waalaikum salam Linda, bagaimana kabarnya Linda?”
“Alhamdulilah Kak. Ada apa ya Kak?”
“Ibu sakit, gula darahnya naik. Kalau bisa kamu pulang jenguk ibu”
“Iya Kak”, jawabku setelah lama jedah
“Ya sudah, Assalaumualikum”
Tuttttt…………….., pembicaraan itu berakhir
Beberapa menit kemudian, telepon kembali berdering. Telepon dari tante mengabarkan hal yang sama. Hari ini, aku tak masuk mengajar. Kubulatkan niatku untuk pulang ke kampung. Menjenguk ibu. Rasa bahagia terlihat di raut wajah ibu saat melihat kedatanganku, anaknya. Kucium tangan ibu dan kurasakan rindu yang luar biasa. Maafkan Linda Bu, baru kali ini Linda sempat ke sini.
Bagaimana kisah Linda selanjutnya,...Tunggu ya,...

Rabu, 09 Desember 2009

Siapa yang Korupsi, Kawand????

Demo, turun di jalan, berkoar-koar di jalan, bakar ban, dan aksi lain menjadi pemandangan yang tak asing lagi bagi kita sebagai manusia yang hidup di era demokrasi. Pemandangan yang cukup lumrah dan menjadi icon dalam selebrasi demonstrasi di Indonesia. Hari ini, 9 Desember 2009 sejumlah mahasiswa menjadi massa yang turun ke jalan menyuarakan dan meneriakkan deklarasi AntiKorupsi. Tak tanggung-tanggung, demonstrasi ini dilakukan di 33 provinsi di Indonesia.Entah apa tendensi massa kali ini. Yang jelas issue Kucuran Dana bank Century senilai 6,7 triliun menjadi salah satu hal yang digemboskan pada momen ini. Wajar memang bila mereka berorasi dan mengeluarkan pendapat karena kebebasan berpendapat memang dihargai dengan adanya pasal 28 UUD 1945.
Lanjut, tetapi satu hal yang sangat dilematis bahwa dalam perayaan hari Istimewa ini, massa, khususnya Mahasiswa yang dengan semangat yang berkobar-kobar sebenarnya menodai apa yang mereka udarakan. Mengkorupsi Jam kuliah...Betul, menurutku kita justrulah yang menjadi koruptor, yang mencuri waktu kuliah yang notabene merupakan aset dalam pembangunan negara...Kiranya kaum Intelektual tidak mudah terjebak pada issue dan mudah terprovokasi oleh oknum-oknum yang memiliki tendensi tertentu terhadap kekuasaan dan keuangan. Hari AntiKorupsi seharusnya kita maknai dan kita apresiasi dengan mengajarkan diri untuk menghindari korupsi kecil yang kadang tak kita sadari. Mencoret-coret kursi dan tembok kampus di kelas adalah potret dimana kita mengkorupsi hak mahasiswa lain dalam mendapatkan kenyamanan fasilitas pendidikan. Kata mereka yang justru mengaku aktivis yang memperjuangkan hak rakyat, masih perlu kita pertanyakan di tengah aktivitas mereka yang justru tidak bisa mereka perjuangkan (IPK jongkok). Lebih jauh lagi, Kebiasaan merokok yang sulit dilepaskan dari mereka(baca: katanya aktivis kampus)membuang puntung rokok di sembarang tempat(baca: justru mengkorupsi finansial orang tua dan keindahan lingkungan). Dari sejumlah potret kegiatan kita tersebut, lantas menyodorkan sebuah tanya, yang korupsi itu siapa??? Tanya ma"......