Rabu, 24 Maret 2010

Novel Koridor ABC Sang Guru

Novel Perdana
Oleh: Vivin Suryati
Toga dan Keluarga 1
Akhirnya, toga yang melambangkan apresiasi Intelektual itu mengena juga di kepalaku. Rasa puas dan sedikit bangga menghampiriku sejenak di hari paling bersejarah sepanjang hidupku. Acara wisuda, perhelatan akbar yang menjadi saksi perjuanganku di bidang akademik setelah hampir memasuki tahun keenam studiku. Menimba ilmu di sebuah Universitas Negeri di Kota Makassar, kota dengan stigma negative para pelajarnya. Sikap tak berkelas, anarki di setiap aksi. Untuk hal ini, tak perlu dibahas di kertas sini. Tak muat.
Lima tahun, tujuh bulan bukan waktu yang singkat memang, waktu studi yang melebihi waktu studi rata-rata bagi mahasiswa yang tak memiliki job diluar kuliah. Wiwiek, Kiki dan Rizal adalah mahasiswa satu jurusan denganku. Mereka telah lulus setahun yang lalu dan kini telah mengabdi sebagai guru honorer di kampung. Malahan, Kiki yang dulu satu kelas denganku di SMA bisa lulus CumLaude, IPK-nya bisa ditebak 3,76. Hebat, padahal kalau diingat-ingat, Kiki sama sekali bukanlah siswa dengan IQ tinggi. Jelas, aku kebablasan.
Harus kuakui, keaktifanku dalam sebuah organisasi dakwah telah membuat kuliahku sedikit keteteran. Banyak yang mengatakan bahwa organisasi tak akan membuat kuliah berantakan. Tapi persepsi itu tak pantas bersanding denganku yang tak mampu melakukan penyesuaian dan pengaturan waktu secara matang. Tak jarang, aku membolos kuliah karena harus mengikuti acara yang diselenggarakan oleh organisasi nonakademik itu. Juga, pernah sekali aku terlambat mengikuti ujian final karena menjadi pengisi acara di suatu pertemuan, tepatnya Pesantren kilat Akbar yang menjadi agenda tahunan organisasi ini. Prof. Abdullah, dosen yang terkenal sebagai dosen over disiplin pun tak memberi ampun. Tak diizinkannya aku mengikuti ujian final yang paling menetukan itu. Al hasil, mata kuliah dengan dosen yang sama pun harus kuulang sebanyak dua kali pada tahun berikutnya. Naas,.
Semua itu menurutku biasa, tapi tidak bagi orang-orang di sekelilingku termasuk orang tuaku. Mereka sering memperingatkanku untuk memperhatikan kuliahku yang agak ketinggalan. Tak juga teman-teman seangkatanku yang terus mengguruiku untuk sedikit menengok ke karier akademikku.
“Ingat nak, sekolah yang baik di sana”, kata-kata Ibu yang selalu menggaung di telinga setiap berkomunikasi denganku. Kegelisahan mereka terhadap kondisi pendidikanku bisa kutangkap. Desember 2007. Iya, di acara Wisuda Sarjana, kegelisahan ibu pun akhirnya bisa kupupus meskipun mungkin degan sedikit kekecewaan yang terpendam dalam hati. Siapa yang tahu. Sekali lagi waktu tak bisa diputar ulang. Hanya hikamah dan pelajaran yang dipetik darinya.
Sengaja, aku tak mengundang ibu dalam acara wisudaku, sebuah pesan singkat buat pun menjadi opsiku untuk mengabarkan hari bahagiaku pada padanya. Maafkan Linda. Ini jauh lebih baik ……..
Fragmen kisahku di kala itu. Tepatnya, masa kuliah yang tak berjalan mulus. Penuh Perjuangan. Memori lama itu mengantarkan aku pada tidur lelap malam ini. Namaku, Linda Apriliani Islami. Lengkapanya, Linda Apriliani Islami, S.Pd. Tak apalah kutentengkan gelar sarjanaku itu. Toh aku meraihnya dengan penuh perjuangan.
Pun ketika masuk dulu, aku mengikuti jalur yang tidak neko-neko. SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Aku ikut test dan akhirnya namaku tercantum pada deretan ke sekian di surat kabar. Ah, bangganya, aku berhasil menyingkirkan sekian banyak pendaftar. Juga karena aku tak memakai jasa joki yang banyak menawarkan “jasa intelektualnya” pada peserta test atau tepatnya calon mahasiswa jurusan XXX. Mengkhalalkan berbagai cara dan trik untuk masuk ke perguruan tinggi. Kuingat, dulu orang-orang menyanjungku.
Selain memang tak memiliki banyak uang untuk membayar sewa para preman intelek tersebut, aku ingin menguji seberapa jauh dan seberapa pantasnya aku duduk di bangku perkuliahan sebagai seorang mahasiswa.
Triit,…telepon selular merk NOKIA milikku bergetar, membangunkanku dari tidur yang dihias dengan buaian mimpi. Ooo sebuah pesan singkat, Kak Fachri. Belum kubuka SMS itu. Paling basa-basi, ucapan selamat. Setelah kubuka ternyata dari ibu. Mungkin Kak Fachri sedang liburan bersama anak dan istrinya di kampung.
Assalamualaikum,
Anakku, lakukanlah yang terbaik. Keluarga selalu mendoakanmu. Ibu
Menyejukkan. Pesan singkat dari Ibu semakin memantapkan langkahku di hari yang sedang diguyur hujan. Air yang turun dari langit seakan menantangku yang masih berteduh di sebuah perumahan guru, kompleks sebuah sekolah menengah atas. Aku tinggal di sini baru dua hari. Hari ini memang adalah hari pertamaku sebagai seorang guru. Guru, cita-citaku sejak kecil. Asa yang tak muluk-muluk. Guru, posisinya jelas.
Terbilang cukup beruntung, tiga bulan setelah aku mendapatkan gelar sarjana Pendidikan, lowongan CPNS terbuka. Alhamdulillah, Aku lulus dan ditugaskan di Sekolah Menengah Atas yang terletak di sebuah kecamatan di pinggir kota. Tak perlu kudeskripsikan bagaimana kondisi fisik sekolah itu. Standar, sama seperti sekolah lainnya.
Pintu dunia kerja memang begitu mudah kumasuki, nyaris tanpa batu sandungan. Bahkan tergolong memberikan sambutan luarbiasa untukku yang nyaris di Drop Out bila tak segera lulus. Sebelumnya, tawaran untuk mengajar di sebuah sekolah sempat menyapaku ketika selesai ujian meja. Hanya satu agenda, menunggu wisuda.
Tawaran kerja di sekolah swasta dengan gaji bejibun, tak tanggung-tanggung tiga kali lipat dari gaji guru PNS yang telah berbakti hampir separuh hidupnya. Iya, tawaran dari seorang sahabat yang kukenal dari organisasi dakwah yang kuikuti sejak kuliahku semester tiga. Kak Husnul, akrabnya.
Ceritanya begini. Dia memberitahukan adanya lowongan kerja di sekolah tempat ia mengajar. Sekolah itu bertaraf International, sekolah berkelas bagi anak-anak golongan borju. Tak heran, para staff dan pengajar di sana hidup makmur. Kepala yayasan sekolah itu memang masih kerabat dekat Kak Husnul, oleh karenanya sangat mudah bagiku untuk masuk ke sana dengan memegang selembar surat rekomendasi.
Meski menggiurkan, jalan ini tak kupilih karena dua alasan mendasar. Pertama, aku tak ingin menambahkan namaku pada daftar praktik nepotisme di negeri ini. Cukup sudah, negeri ini bobrok oleh adanya praktik nepotisme yang hampir tejadi di setiap departemen, termasuk masalah pekerjaan. Tak terhitung berapa banyak calo dan mafia dalam seleksi penerimaan CPNS dan penerimaan karyawan di Institusi pemerintah lainnya. Benar kata orang, koneksi dan kongkalikong akan terus berjalan beriiringan. Lalu, itu kan sekolah swasta, apa yang salah? Benar itu sekolah swasta. Tapi menurutku, cara yang kutempuh untuk masuk ke sekolah gedongan itu dengan koneksi dari Kak Husnul tetaplah nepotisme.
Alasan lainnya menyusul. Lagipula, jurusanku hanya Pendidikan Matematika yang tidak ditopang dengan pengetahuan Bahasa Inggris yang mantap. Kalaupun aku masuk ke sana, aku yakin sulit beradaptasi. Kata Kak Husnul saat itu, di akhir tarbiyah tak ada masalah karena semua bisa diatur . Dengan berat hati kutolak tawaran itu. Bagiku, menerima tawaran itu berarti menghilangkan hak calon pengajar lain yang jauh lebih cakap dan secara tidak langsung tentunya juga akan merenggut hak calon siswaku itu untuk mendapatkan ilmu yang seharusnya mereka dapatkan. Sekali lagi bukan congkak tapi ini adalah prinsip. Stop, kita beralih ke kisahku berikutnya, Sekolah baruku.
……………………………………………………………………………………..
Satu, dua dan tiga minggu sudah aku mengabdikan diri dengan ilmuku di sekolah ini. Kebetulan sekali aku masuk pada semester awal tahun ajaran . Aku pun mulai beradaptasi dengan lingkungan akademis. Para siswa, rekan guru, staff, hingga satpam sekolah telah mengenalku, meskipun mungkin hanya kenal tampang saja. “Assalamualaikum Bu”, sapa mereka saat berpapasan denganku. Bu Linda, sapaan mereka yang biasanya telah menghafal wajah dan namaku dengan baik.
Teknik mengajar yang kupelajari dari Buku Quantum Teaching, kuimplementasikan pada saat mengajar. Sedapat mungkin kupadukan aspek kinestetik, audio dan visual dalam mengajar. Bukan mengajar, tapi lebih tepatnya mengembangkan potensi mereka. Bagiku mendikte siswa dengan pengetahuan yang aku miliki justru akan mematikan kreativitas dan potensi mereka dalam belajar. Metode represif alias kekerasan dalam mengajar pun kuhindari sebab bagiku bukan lagi jamannya sistem kolonialisme. Tapi sulit juga rupanya, teori dan keadaan di lapangan jauh berbeda, tetap butuh kesabaran ekstra dalam menghadapi siswa yang beranjak dewasa ini.
“sekarang kalian lihat latihan pada buku paket halaman 112”, instruksiku setelah menjelaskan materi Program Linear.
“Ayo, siapa yang bisa mengerjakannya”, mataku melirik pada siswa yang duduk di belakang.
Anna, seorang siswi yang duduk paling depan segera mengacungkan tangannya. Rasa percaya tinggi terpancar dari aura wajahnya. Cerdas, seperti itulah gambaran dari sosok ini yang kudengar dari cerita para guru selama ini. Tapi perhatianku masih tertuju pada siswaku yang duduk di pojok belakang kelas itu. Belum kutahu siapa namanya. Maklum, aku baru mengajar tiga minggu di kelas ini, sekitar lima kali pertemuan kelas. Untuk menghindarkan rasa kecewa pada Anna, segera kupersilahkan dia maju ke depan kelas. Perhatianku pun beralih pada siswi ini. Gerak tangannya dalam menggoyangkan spidol pada papan tulis putih menampakkan kemampuan dan pemahamannya pada materi yang baru saja kami ulas bersama di kelas. Lima menit, waktu yang cukup singkat untuk mengerjakan soal dengan tingkat kerumitan yang agak tinggi. Cerdas, pujiku dalam hati.
Segera kuminta Anna menjelaskan cara penyelesaian soal tersebut. Perhatianku seketika kembali tertuju pada siswa itu yang belakangan kutahu bernama lengkap Hermanto Saputra. Tampak ia sama sekali ia tidak memperhatikan apa yang dipaparkan Anna. Kulihat ia asyik mengayunkan penanya di atas buku tulis latihan Matematika. Sempat kuberfikir, dia sedang mencatat apa yang tertulis di papan. Tapi dugaanku meleset, 180 derajat. setelah kudekati dan kulihat buku tulis bermerk Sinar Dunia itu, terlihat jelas gambar sebuah pistol dan karikatur pria berdasi dengan mulut menganga yang sengaja diperbesar itulah yang lantas menghiasi buku latihan matematika miliknya. Tak satupun catatan tentang materi hari ini walaupun itu hanya judul materi. Aku pun memintanya untuk menjelaskan kembali apa yang telah dipaparkan oleh Anna. Dengan nada tenang dan agak tegas, Hermanto menjawab saya tidak tahu.dengan terus menatapku, seakan lancang. Siswa yang lain tertawa mendengar jawaban rekannya. Seketika kelas gaduh.
Emosi pun seketika muncul dengan apa yang dikatakan anak itu barusan. Tapi berusaha kuredam. Setidaknya dia berkata jujur bahwa dia memang tidak tahu. Lebih baik dari pada pura-pura tahu, sok pintar. Sabar, bisikku pada hati……..
“Baiklah, kalian yang telah mengerti materi program linear tolong mengajari temannya yang kurang paham. Jika kurang jelas dan mengalami kesulitan, kalian bisa bertanya pada Ibu di luar kelas nanti”, ujaranku mengakhiri pelajaran di kelas itu.
Metode ini kuterapkan karena kuberfikir para siswaku akan lebih canggung untuk bertanya pada mereka yang lebih tua, ada sekat. Berbeda bila mereka berkomunikasi dengan sebayanya. Pengalaman masa lalu ketika aku masih duduk di bangku sekolah dulu.
Anto, sapaan akrab dari Hermanto Saputra pun menjadi sosok dalam topik pembicaraanku dengan Pak Irwan, seorang guru Pendidikan seni. Entah dari mana awalnya. Dari mulut Pak Irwan ini, terlontar pujian pada siswaku tersebut. Anak yang gigih dan punya prinsip. Ujaran yang membuatku bingung, apakah Bapak ini sedang bercanda dengan lantas mengatakan hal yang justru kontradiktif. Setahuku, semua guru di sekolah ini, kecuali Pak Irwan yang dengan ujarannya tadi entah benar atau salah, semuanya satu suara, mengatakan bahwa hermanto adalah siswa dengan label Malas dan Bodoh. Bodoh dalam hal akademik. Menurutku.
Kecerdasan memanglah hal yang relatif. Tiap orang memiliki kecerdasan tertentu. Tapi bukan berarti bahwa aku akan menerima perlakuan Hermanto Saputra yang tidak mengerjakan seluruh tugas yang kuberikan termasuk pekerjaan rumah. Bahkan, belakangan ini siswaku ini mulai jarang masuk kelas alias membolos. Beberapa kali aku menyuruhnya menghadap aku di ruang guru. Terkadang aku juga agak berat memintanya menghadapku ke ruang guru hanya untuk menanyainya seputar alasan ketidakhadirannya pada pertemuan kelas. Alasan yang Sangat mendasar, semua guru akan mengoceh tiada henti pada anak i yang sudah terlanjur dikenal dilabeli dengan Cap Bodoh. Menambah beban masalahnya saja. Akhirnya, akupun hanya memberinya nasihat dan semangat untuk berubah. Kasihan juga, pikirku.
Sebagai seorang guru, aku tak mungkin memilih cara represif atau kekerasan menghadapi siswa. Tapi pendekatan yang kulakukan terasa sia-sia. Hermanto Saputra tetap pada sifat-sifat buruknya, tidak ada perubahan apalagi perbaikan. Informasi yang terakhir kudengar, semua guru mengeluhkan sikapnya. Lebih parah lagi, selain terkenal malas, bodoh, ia juga kini sering berkelahi.
Kali ini dalam sebuah rapat semua guru dan kepala sekolah sepakat untuk mengeluarkan Hermanto Saputra dari sekolah. Guru BP mencatat, tingkat kesalahan yang dilakukannya tidak bisa ditolerir lagi. Entah dengan pertimbangan apa, aku mati-matian membela siswaku. Dengan alasan dia sudah berada di tingkat akhir aku pun berusaha meyakinkan. Issu kenakalan remaja dan faktor lingkungan kusuarakan hingga menjadi tameng untuk melindungi anak yang kutahu riwayatnya akan tamat di sini, di rapat ini. Dengan sedikit retorika, aku akhirnya memenangkan rapat ini setelah melewati debat panjang dengan peserta rapat yang lain.
“Ibu Linda ini bagaimana sih, anak itu sudah bikin ulah. Bisa merusak teman-temannya yang lain dan juga malu-maluin sekolah. Masih saja dibela”, dengan nada agak menyindir.
Aku hanya bisa menunggingkan senyum. Tak ada kata, karena dasarnya aku pun tak dapat merasionalkan apa yang telah aku argumenkan di rapat tadi. Jujur, aku pun tak mengerti tentang apa yang kulakukan tadi. Sejak keluar dari rung rapat itu, aku terasa asing. Terutama oleh perempuan yang merasa sedikit risih dengan kenekatanku. Bu Sartika namanya.
Segera aku menuju ke musallah kecil milik sekolah. Kudirikan shalat Dzuhur berjamaah menghadapkan wajah pada Rabb Yang Esa. Menceritakan keluh kesahku siang tadi, lewat lantunan doa…
………………………………………………………………………………………
“Assalamualaikum Kak Fachri”, ucapanku memulai pembicaraan di telephone
“Waalaikum salam Linda, bagaimana kabarnya Linda?”
“Alhamdulilah Kak. Ada apa ya Kak?”
“Ibu sakit, katanya tekanan darahnya naik. Kamu bisa jenguk ibu kan?”
“Iya Kak”, jawabku setelah lama jedah
“Ya sudah, Assalaumualikum”
Tuttttt…………….., koneksi terputus
Beberapa menit kemudian, telepon kembali berdering. Telepon dari tante Liang mengabarkan hal yang sama. Hari ini, aku tak masuk mengajar. Aku hanya masuk dan memberikan tugas seperti yang dilakukan rekan guru lain bila berhalangan hadir. Kubulatkan niatku untuk pulang ke kampung. Menjenguk ibu.
Segera setelah meminta izin ke kepala sekolah, saya berlekas membereskan pakaian dan segera menunggu transportasi umum menuju terminal. Rasa bahagia terlihat di raut wajah ibu saat melihat kedatanganku, anaknya. Kucium tangan ibu dan kurasakan rindu yang luar biasa. Ibu tampak semakin kurus dan lemah. Maafkan Linda Bu, baru kali ini Linda sempat ke sini.
Senang sekali aku bisa bertemu dengan Ibu dan segenap keluarga yang memang bordomisili di tempat ini, Pesisir pulau. Pulau yang dikelilingi oleh lautan biru yang belum terjamah oleh polutan. Sejak tamat Sekolah Menengah Pertama, aku memutuskan untuk hijrah ke kota seberang lautan, melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di sana. Aku biasanya pulang sehabis shalat jum’at dan kembali pada hari minggu dengan menumpang kapal barang atau ikan, satu-satunya transportasi yang ada. Ya, aku yang seorang anak pesisir terpaksa harus tinggal di rumah saudara perempuan Ibu, tante Liang. Menumpang selama kurang lebih dua tahun delapan bulan.
Di pulau tempat kami tinggal, pendidikan bukanlah hal yang fundamental. Layanan dan fasilitas Pendidikan yang disediakan pemerintah pun hanya pada tingkat SD dan SMP, itupun termasuk sekolah satu atap. Ingatku, terakhir aku pulang seminggu setelah pengumuman kelulusan SMA, itupun hanya sekedar minta izin untuk melanjutkan kuliah. Setelah itu, aku tak pernah kembali ke tempat ini. Komunikasi yang kulakukan dengan ibu pun hanyalah berupa pesan singkat dan kadang-kadang bila uang subsidi bulanan dari ibu berlebih, satu dua kali kuberanikan menelpon ibu mengabarkan seputar kondisiku di kota perantauan.
Treeet,.. sebuah pesan singkat menyalami handphone merk Nokia tipe 1600, telepon usang yang masih setia menemaniku sejak di bangku sekolah dulu
Hai, apa kabar?
Nomor baru, siapa ya pikirku dalam hati. 081335000000. Oh, kuperhatikan dengan seksama sambil mengingat ingat satu persatu korelasi, kode area Makassar.
”Mungkin teman kuliah ku dulu” dalam hati aku mecoba menebak. Tapi tak berapa lama kemudian sebuah sms kembali aku terima
“Ah Cantik kok sombong sih. SMS 100 rupiah saja tidak dibalas. Salam sayang.”
Dengan perasaan yang setengah penasaran, aku pun memberanikan diri untuk membalas sms tersebut. Pesan yang agak Mulai melecehkanku.
“Assalamualaikum. Maaf, ini siapa ya? Linda”
Tutts, sms itu pun terkirim. Aku masih memegang handphone buntut itu dan memperbaiki posisiku di sebuah kursi, berharap sms balasan dari pengirim sms yang masih anonymous, misterius. Lama, sms itu juga tak berbalas.
Detak langkah seseorang memasuki ruang tamu membuyarkan penantianku pada SMS itu. Kak Fachri, segera kududuk manis di hadapan Sang Kakak. Kupegang telepon selularku erat-erat. Kali ini Kakak sulungku itu tampak serius, kulihat dari raut wajah itu.
Kak Fachri memulai obrolan dengan menyebut namaku, sebuah sapaan yang justru membuatku tegang, kalau boleh dibilang sedikit takut. Aku memang agak jarang berkomunikasi dengan saudara tunggalku itu, kalau bukan tentang hal-hal urgen.
“Iya, Kak”, jawabku dengan suara yang agak gemetar
“Kakak senang kamu bisa datang kesini jenguk Ibu tapi..”
Kak Fachri tidak menyelesaikan pembicaraannya. Sepertinya sedang merangkai kata-kata yang pas. Aku pun hanya terdiam menunggu sambungan kata yang akan terlontar dari bibirnya.
“kakak akan lebih senang kalau kamu lebih perhatian sama orang tua kita”
“Maksud Kakak apa sih”, gumamku yang tak terucap. Selama ini apa aku kurang perhatian pada orangtua tunggal kami ini. Tidak.
Kak Fachri melanjutkan pembicaraannya “Linda, kamu tahu kan kalau Ibu sudah tua, apalagi sudah sakit-sakitan begitu”
Kak Fachri lalu menatap wajah yang sejak tadi hanya menunduk
“ Linda, kamu jangan egois. Ibu itu butuh kamu”
Dengan sedikit keberanian, aku pun memberanikan diri mempertanyakan ketidakmengertianku. Lebih tepat kebingunganku. Penjelasan Kak Fachri yang beruntun pun mulai membuatku memahami sedikit demi sedikit tentang apa yang kak fachri maksud. Lebih tepatnya arah pembicaraannya.
“kebahagian Ibu bukan pada kesuksesan kamu sebagai guru atau kakak sebagai seorang polisi, tidak bukan itu. Ibu bahagia melihat kita bukan karena siapa diri kita. Kita tetap menjadi anaknya” kak Facri mempertegas, “Ibu hanya ingin dekat dengan kamu”
Aku pun mulai menatap wajah yang terus melontarkan kata-kata. Tak terima, aku merasa sedikit terpojok oleh kalimat-kalimat itu. Aku harus membela diri. Sepertinya ia salah paham.
“Maaf Kak, apa selama ini Linda kurang perhatian sama ibu?, meskipun Linda tidak pernah pulang, bukan berarti Linda lupa pada Ibu.
“Linda ingin mandiri Kak,” mataku pun mulai berkaca-kaca dan linangan air mata tampak mengolesi bola mata ini.
“Linda ingin membanggakan Ibu dengan ini, Linda yang sekarang ini kak”. Aku melanjutkan argumentasi pembelaanku
“Kakak kan tahu sendiri profesi aku tak memungkinkan aku untuk berada di sini setiap saat. Aku juga punya hak dan harapan Kak, aku ingin mewujudkan harapanku, seorang guru. Tidak salah kan?” , kalimat yang mulai tak teratur.
“Linda tahu kalau Linda kuliahnya memang lama dan menghabiskan ongkos banyak tapi Linda juga tak pernah lupa kirim uang tiap bulan untuk Ibu kok sejak Linda kerja”, pembelaanku berakhir.
Mengapa kalimat terakhir ini terucap. Malu, kenapa pembelaanku harus kukaitkan dengan alasan materiil yang kutahu sendiri tak bernilai seberapa itu.
“Jadi kamu merasa hak kamu sebagai anak itu terampas dengan mengunjungi Ibu walau hanya sekali?”
Aku terdiam. Kedua mata pun tak dapat lagi membendung air yang terus saja mengalir , membasahi wajahku. Kenapa kakak lantas membesar-besarkan masalah kecil ini. Aku hanya jarang pulang dan aku punya alasan…
“Benar-benar egois kamu, Ibu dan Bapak tak pernah membicarakan hak mereka yang terampas sejak mereka menjadi orangtua. Orangtua dari kakak dan juga kamu. Orang tua kita”
Emosiku pun memuncak. Selama ini Ibu tak pernah complain denganku termasuk dengan profesiku, tetapi mengapa justru Kakak yang protes.
“Kakak kok bicaranya melebar seperti itu sih? Yang egois itu justru Kakak. Kakak tidak bisa mengerti aku. Kakak hanya bisa menyalahkan aku” Segera kuberdiri dari posisiku, kulangkahkan kaki menuju kamar. Meninggalkan Kakak.
Trutss, nada dering SMS pun membuat handphone yang berada dalam kantong bajuku bergetar. Kubiarkan saja, ingin ku tenangkan diri yang masih bergelut emosi dan sedikit kekesalan. Sejenak saja. Paling, hanya sms yang tadi.
Di dalam kamar yang masih menyatu dengan ruang tamu, aku dapat menduga kalau Kak Fachri masih berada di ruang tamu itu. Sayang selembar papan triplek yang membatasi kedua ruang itu tak bisa membuatku melihat ekspresi Kak fachri. Ekspektasi pun muncul, menyesal kuharap itu yang ada pada pemilik jiwa itu. Ku pikir dia sedang khilaf.
“Nak, kenapa kamu ribut lagi dengan adikmu? Kamu jangan keras sama dia”
“Tidak Bu, kami tadi hanya cerita biasa”
Suara Ibu yang membangun dialog dengan kakakku terdengar jelas. Kurapatkan salah satu telingaku pada permukaan dinding yang terbuat dari tripleks itu untuk mendengarkan kelengkapan pembicaraan diantara lelaki dan perempuan yang paling dekat denganku saat ini. Kata-kata ibu yang bijak membuat aku tak dapat menahan rembesan air mata yang terus membasahi kedua pipiku. Ibu, kak Fachri maafkan aku. Tapi tolong mengertilah aku…
Mentari yang menyingsing dari ufuk timur dengan rona kemerahan pada langit membuat pagi harus melepaskan pelukan Sang malam yang telah menaburkan hiasan bintang. Ombak yang menggulung menghempas lepas pada pantai. Udara laut yang memulai tanda pagi mulai mengusik masuk ke kamarku melalui celah dinding papan rumah panggung ini. Segar sekali rasanya. Eksotisme kampoeng bahari.
Jam 05.00, alarm handphone berbunyi bersamaan dengan kumandang adzan yang dilantunkan oleh muadzin mesjid yang tak berapa jauh dari rumah. Lantunan panggilan Tuhan itu pun akhirnya membangunkanku dan meneguhkan niat untuk mendirikan Shalat. Segera kubasuh wajah tuk menghilangkan kantuk yang masih mendera. Plus wajah lusuh bekas airmata.
Kamis, jumat, sabtu dan Minggu. Sudah empat hari aku disini, tak terasa. Aku harus kembali meneruskan perjuanganku di tanah akademis yang sudah dikukuhkan dengan toga, toga yang akhirnya membawaku bercengkerama dengan cita-citaku. Tak mungkin kutinggalkan ia yang baru saja kumasuki seperti permohonan Kak fachri. Toh ibu pun sama sekali tak pernah merasa keberatan. Ini hanya kesalahpahaman yang masih kuanggap wajar dalam sebuah keluarga.
Perbedaan persepsi, suatu hal yang membuat kita bisa lebih bijak.





Ada apa di sekolah 2
Mengajar. Pagi ini aku mendapatkan kelas XII IPA 3. Iya tepat, kelas yang akan mempertemukanku dengan Hermanto. Hermanto Saputra, siswaku yang kisahnya sudah tak kedengaran empat hari belakangan ini. Apa kabar anak itu hari ini? Ulah, apa lagi aksi yang telah diterorkannya padaku sebagai seorang guru dan juga teman-temannya? Langkahku menjawab semuanya.
“Selamat pagi”, ujaran pembuka yang kuucapkan pada generasi muda yang saat ini tengah bersiap menimbah ilmu dariku di pagi ini. Di tempat ini sedapat mungkin kuhindari penggunaan kata Assalamualaikum agar dapat menyatu dengan siswa yang tak sekeyakinan denganku. Ini ruang lain, tak pantas agama menyekat.
Siswaku spontan menjawab salam yang kuujarkan. Serempak, meskipun ada sebagian anak yang agak melebihkan huruf iii jadi seakan terdengar pagiiiiiiii. Tak masalah bagiku. Salam bagiku bertanda bahwa mereka menerima kedatanganku untuk berbaur dengan mereka, masuk ke ruang dan ranah mereka. Interaksi positif menurutku. Tapi seperti biasanya, aku melirik ke pojok. Mencari sosok siswa yang terlanjur disebut si tukang onar sekolah, Hermanto Saputra. Mataku menjajaki seluruh ruangan kelas, tapi tak juga kutemukan sosoknya. Dimana dia? Beberapa siswa sepertinya mengetahui apa yang sedang aku pikirkan, mereka pun mengiringi gerak bola mataku ke arah bangku yang kosong itu. Segera, untuk menghangatkan suasana, aku pun bergegas mengabsen para peserta kelasku hari ini. Kutahu, Hermanto Saputra tak lagi mengikuti kelasku, apa alasannya, nanti kan kucari tahu sendiri.
Aditya Eka Putra, Andi Panca Nurjaya Sakti, Anna Chaerunnisa, Dian Ardayu Ningrat, ….. Aku pun melafazkan deretan nama yang bersusun menurut Abjad itu. Nama-nama yang indah dan mengandung sejuta makna tentunya. Harapan para orang tua mereka masing-masing. Sejenak aku mengingat kronologi pemberian nama Linda Apriliani Islami padaku. Linda, adalah singkatan dari nama kedua orang tuaku Solihin dan Darmawati selebihnya, Apriliani Islami adalah narasi dari bulan kelahiran dan agama, hal yang dianggap cukup sakral bagi keluargaku. Mereka ingin aku, Linda Apriliani Islami menjadi orang yang berbakti pada orangtua dengan nama Linda dan taat pada agama yang aku anut Islam. Nama dengan sejuta harapan itu membuatku sanksi akan perwujudannya terlebih setelah perdebatan panjangku dengan kak fachri di kala itu. Tak perlu diingat, biar terbawa angin lalu. Cukup sekali itu.
“Maaf Bu, tadi aku lupa simpan suratnya”, siswa itu menunduk menunjukkan penyesalan atas perbuatnnya.
“Iya, oh kamu tetangganya Hermanto ya?”, tanyaku pelan sambil mengambil surat yang sesaat diletakkan di meja oleh siswa yang menjadi lawan bicaraku.
“Iya Bu”, jawabnya penuh hormat
Segera kupersilahkan dia kembali ke tempat duduknya. Kuperhatikan tingkah siswaku yang bersekolah di sekolah kecamatan ini jauh lebih hormat padaku. Beda sekali dengan siswa di perkotaan. Sempat KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Sekolah Menengah Atas Swasta di kota. Di kelas, mereka sama sekali tak peduli dengan apa yang aku jelaskan. Super cuek, tak ada senyum dan sapa saat bersua di luar kelas dan sekolah. Akh, budi dan tatakrama di pedesaan memang jauh dari kota yang hampir tak lagi mengenal tata krama dan sopan santun. Syukur di pedesaan nilai-nilai itu masih terjaga. Apalagi, profesi sebagai seorang guru begitu dihargai dan dianggap terpandang di pedesaan. Aku semakin mantap dengan tugasku, memberikan pencerahan ilmu pada generasi bangsa yang masih sangat polos ini. Alhamdulillah, Segala puji bagi Tuhan…
Hermanto Saputra rupanya sakit. Itulah yang aku dapat dari surat yang sejurus kemudian dibawa oleh siswa lain saat aku memberikan absensi pada nama yang bersangkutan. Rupanya, dia lupa untuk menempatkan surat keterangan sakit itu di meja guru sebelum aku masuk, seperti kebiasaan yang ada di sekolah ini. Ada dua surat yang ada. Satunya memang telah ada sejak tadi di atas meja. Selebihnya, ya surat dari hermanto Saputra. Surat yang ditulis tangan oleh Hermanto dengan tinta biru yang juga terdapat tanda tangan orangtuanya,
H. Fachruddin, M Ed. Surat itu tak lantas membuatku meyakini kondisi kesehatan seperti yang dideskripsikannya dalam surat itu. Kini kutahu bahwa ternyata orangtua bergelar M, Ed yang artinya master education, jebolan luarnegeri . mantap. Tapi keanehanku justru terletak pada kemampuannya dalam mengasuh anaknya sendiri. Patut dipertanyakan juga.
Sesaat setelah membaca kedua surat yang terbungkus dengan amplop putih itu, aku memaparkan sedikit materi. Kulihat seribu satu raut wajah dari siswaku memperhatikan apa yang terpampang pada papan putih yang sarat akan angka dan angka. Ada yang bingung, ada yang begitu antusias, dan ada juga yang tenang tenang saja. Kusadar apa yang kuajarkan adalah Matematika, ilmu yang secara pastinya bukanlah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), hal yang jelas bahwa kita tak mempelajari hal yang materinya konkret. Angka dan berhitung yang kutahu tak semua peserta didik memiliki minat dan kecerdasan yang sama pada mata pelajaran yang kubawakan. Sekedar basa-basi untuk menarik perhatian siswaku yang kurasa mulai agak bosan ini, aku pun mencari metode lain.
“Ibu faham kalau diantara kalian banyak yang tak tertarik dengan matematika”, anak-anak yang mulai beranjak dewasa itu pun mulai tertarik mendengar ceritaku, agak mulai bangkit semangatnya. Cerita memang disukai anak-anak.
Lanjutku “Pernah tidak kalian melihat atau meraba angka 1, 2, 3, 4 dan seterusnya. Tidak kan?” ajakku melakukan interaksi. “Betul tidak, kita tak dapat dan memang tidak akan pernah melihat bagaimana itu nomor satu, nomor dua, dan angka angka lainnya. Satu pada donat akan sama dengan satu pada kursi padahal kita tahu donat dan kursi tentu berbeda. Satu, dimanakah kita dapat menemukan satu pada donat yang menyebabkan dia sama dengan kursi? Kita tak akan dapat menjelaskan angka-angka itu, beda ketika kita disuruh menjelaskan tentang kursi, meja dan papan tulis. Mengapa? Ya karena kita tak dapat menginderai angka-angka tersebut beda halnya dengan kursi. Jadi matematika bukanlah ilmu eksak”
Belum kuteruskan uraianku, Anna yang terkenal cerdas bukan hanya di kelas itu, memotong pembicaraanku “Lalu, mengapa kita harus mempelajari Matematika ilmu yang tak eksak dan mengapa matematika dimasukkan dalam ilmu IPA”
Aku merasa tertantang menjawab pertanyaan yang memang telah kusediakan pamungkasnya jauh-jauh sebelumnya
“Ilmu matematika memang bukanlah ilmu nyata tapi apakah lantas matematika tak berguna. Salah, rupanya matematika sangat dibutuhkan. Coba saja, ibu memberikan contoh”, contoh memang selalu jadi bumbu di kelas. Tak puas jika tak ada contoh. Konon, contoh adalah pemuas materi.
Aku membagi dua kelompok buku PR di atas meja. Satu kelompok aku lebihkan jumlahnya dari yang lain tapi tak seberapa. Kusambung “Sekarang kalian perhatikan buku- buku yang ada di atas meja ini”, Sekarang tolong bantu ibu menentukan mana diantara kelompok buku ini yang paling banyak
Segera seorang siswa tyang duduk paling depan, tepat berhadapan denganku maju dan mulai menghitung buku tulis pada masing-masing kelompok. “Satu, dua, …dua belas” suara agak kecil dan mengulang hitungan “satu, dua, tiga, empat belas” Sesekali mengulang hitungannya, takut salah.
Dengan bangganya, siswa itu menjawab yang ini lebih banyak bu dibandingkan dengan ini sambil menunjuk pada salah satu tumpukan buku.
“Pertanyaannya sekarang adalah mengapa kita dapat menyebutnya ini banyak dari ini dan lebih daripada yang itu? Jawabannya adalah karena matematika. Meskipun kita tak pernah meraba angka-angka abstrak tersebut tetapi justru itulah yang membantu kita untuk dapat mengetahui jumlah secara kuantitatif dan mengesampingkan kata banyak atau kurang banyak dan sedikit yang tidak dapat terukur. Bagaimana?”
Banyak yang mengangguk menandakan kesepahaman dengan opini yang sedang kubangun. Tapi tak sedikit juga yang mengernyitkan dahi tanda tak setuju atau tak mengerti apa yang aku katakan dengan bahasa intelek.
Aku mempertegas kembali “Jadi belajar matematika bukan berarti tak bermanfaat. Matematika justru adalah model yang sengaja disusun secara sistematis untuk memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang kalian anggap nyata”
“Bu, tapi kenapa ya di matematika itu terlalu banyak rumus yang harus dihafalkan. Jujur, itu yang buat saya tidak suka matematika” tanyanya seakan memberikan reaksi negatif terhadap matematika. Dia telah men-judge bahwa matematika adalah ilmu para botak yang sarat dengan rumus dan rumus. Tapi tak apalah, ini justru kesempatanku untuk meluruskan paradigma siswa terhadap Matematika. Terlebih untuk mereka yang sangat anti pada pelajaran Matematika.
Jangan menyerah…oo Ringtone Handphone yang kusimpan di dalam tas ku pun berbunyi. Mendendangkan lagu berjudul jangan Menyerah. Siswaku pun mulai teralih konsentrasinya pada lagu yang didendangkan oleh band yang lagi nge-trand lah saat ini. Begitu juga denganku. Sekilas aku melihat handphone yang juga masih bergetar itu. Sebuah pesan singkat rupanya. Dari Orang aneh..Who iz, nama yang ku-save pada HP untuk nomor yang akhir-akhir ini sering mengirimkan pesan tanpa inisial.
“ Matematika adalah model, dan siapapun dapat menggunakan dan membuat sendiri model tersebut. Jadi jangan salah kaprah, kalian tak perlu menghafal rumus jika kalian memahami dan mampu menganalisis suatu kasus karena pada dasarnya rumus juga dibuat berdasarkan pemahaman dan analisis yang dibuat oleh Si Pembuat rumus. Kalian pun tak selalu harus menggunakan rumus tersebut, kalian bisa menyelesaikan suatu permasalahan dengan cara kalian sendiri, dengan analisis kalian sendiri. Tapi ingat dengan analisis yang logis dan rasional pastinya” lanjutku memberikan penjelasan.
Pukul 11.00, jarum yang bergantung di dinding kelas memperingatkan bahwa aku harus segera lengser dari posisiku saat ini. Pukulan lonceng pun mengakhiri perjumpaanku dengan para siswa. Ingin rasanya berlama-lama di kelas yang terasa begitu istimewa bagiku ini. Siswanya sopan dan juga suasana kelas yang tak amburadul. Semua elemen tertata rapi.
Kulangkahkan kakiku keluar meninggalkan ruang kelas. Hentakan sepatu turut mengiringi langkahku, siswa-siswa itu rupanya tak tahan lagi berlama-lama di kelas. Aroma masakan dari kantin yang masih menyatu dengan kompleks sekolah seakan mengalun ke seluruh penjuru sekolah. Siswa-siswa pun menyerbu kantin dengan aneka jajanan penjanggal perut. Bahagia , hal yang kubaca dari pikiran mereka.
Sementara, di ruang guru yang berukuran tak begitu besar paling sekitar 10 x 10 meter itu aku dan beberapa guru bercokol. Tumpukan buku tampak menghiasi meja kami. Bahkan, sebuah meja milik Bu Sartika, guru Biologi tampak terisi penuh oleh Buku. Jangan heran, Bu Sartika memang adalah guru yang terkenal dengan tugas siswa yang berjubel. Sering sekali aku memergoki para siswa menceritakan tingkah laku Bu Sartika yang dianggap sangat keras dan jarang senyum itu. Aku pun hanya bisa menggelengkan kepala, membenarkan tindakan siswa yang juga hobi menggosip itu.
Bu Sartika dengan baju kemeja hijaunya memasuki ruang guru. Matanya berpapasan dengan tatapan mataku. Sedikit rasa sungkan dengannya yang telah mengajar puluhan tahun di sekolah ini. Aku pun tak bisa berkata banyak, hanya menyunggingkan senyum yang agak lebih lebar dari biasanya. Tapi senyumku rupanya tak berbalas. Ia dingin, memasang wajah datar dan segera duduk di kursinya.
Tanpa kusadari Pak Irwan, yang duduk tepat di samping mejaku memperhatikan apa yang sedang terjadi. Tak ada respon dari Bu sartika padaku. Guru yang dikabarkan akan menjadi membuka usaha komersil itu pun membisikkan kata-kata yang hampir tak dapat kudengar secara jelas. Kutahu, tujuannya agar guru yang lain termasuk Bu Sartika tak mendengarkannya.
“Jangan dimasukkan ke hati linda, Bu Sartika memang begitu. Suka iri”, pak Irwan bertutur tanpa menoleh ke arahku.Agak samar.
Kata-kata itu mengindikasikan ada hal yang janggal. Iri, apa yang lebih padaku sehingga membuat Bu Sartika merasa kurang nyaman. Aku hanya guru baru yang mengajar baru sekitar enam bulan dan kurasa tak ada tingkahku yang macam-macam. Biasa saja.
“Bu, tahu tidak kalau si…siapa lagi tuh namanya…”, Bu Sartika mulai membuka mulut setelah rekan guru yang semeja dengannya datang.
“Siapa Bu? yang mana?”, timpal seorang guru yang baru saja memasuki ruang guru dan sesaat kemudian duduk di bangku milikya. Aura yang mengisyaratkan keingintahuan akan informasi dari Bu Sartika
Aku yang masih duduk dan memeriksa tugas siswa perlahan-lahan menyimak pembicaraan sesama rekan pengajar itu.
“Itu…tuh, anaknya pak Fahruddin siswa kelas XII IPA 3 itu, dia itu benar-benar anak yang keras kepala”
Kemudian, wanita itu menceritakan pertemuannya dengan Pak Fachruddin, ayah Hermanto Saputra di kediamamannya yang kebetulan memang dibayar untuk memberikan pelajaran tambahan private pada Hermanto. Rasa bangga bagai dipancarkannya setiap kali menyebut nama Fachruddin.
“Ayahnya saja sudah lelah mengurusinya. Ayahnya sudah bersusah payah meminta agar dia diberi tambahan kelas. Eh,,, malah dia seenak hati membolos. Keterlaluan, taunya hanya main dan keluyuran. Di kelas saja, bodohnya minta ampun. Mau jadi apa tuh anak?”, Bu Sartika mulai bercerita dengan intonasi yang mirip omelan dan keluhan itu.
“Kasihan ya, Pak Fahruddin direpotkan saja sama anaknya”, guru yang lain angkat bicara.
“Pak fahruddin yang mana?”, dosen yang berada di sudut ikut berujar
“Aduh ibu ini, masa orang terkenal gak dikenal sih. Itu loh yang dosen sekaligus mantan ketua komite sekolah dua tahun lalu”, kata guru di sebelahnya
“Ibu Sartika juga cerita tentang kenakalannya di sekolah?”, lanjutnya
“Ya jelas, Pak Fahruddin justru berterimakasih pada saya. Dia bahkan minta anaknya diberikan hukuman fisik oleh sekolah. Tapi tahu sendirikan Ibu, ibu kalo..”
“Kalo kenapa Bu? Ah Ibu ini beritanya kok sepotong-sepotong sih? Yang jelas dong”, mencolek bahu Bu sartika
“Ya selalu saja ada yang jadi pelampungnya…”, mata itu melirik ke arahku.
Kejadian di rapat itu pun naik lagi ke permukaan….















Rahasia Enam Mata 3
Udara begitu panas. Matahari bertengger tepat di atasku. Lurus, 180 derajat. Seakan menunjukkan posisinya yang tertinggi di atas sana dengan kilauan sinar yang membuat keringat membasahi sekujur tubuh.
Hempasan angin pun tak mau kalah, meniupkan debu-debu yang berpasir yang tersentuh oleh keringnya musim kemarau, tanpa tetesan hujan. Gerah, panas yang menemani suasana di luar rumah.
Rumah itu, dengan design dan arsitektur indah plus pendingin Air conditioner tak juga mampu membuat para penghuni merasa adem berada di dalamnya. Emosi dan keegoan seakan menyatu dengan panasnya udara luar.
“Kamu mau kemana lagi? Sebentar kan ada les”
“Keluar Pak”, jawab Hermanto santai. Bukan, tapi terkesan acuh
“Kamu itu kerjanya hanya keluyuran saja. Kamu itu maunya apa? Jadi Preman”, dengan suara setengah berteriak
Dia, melangkah tanpa beban.
Kemarahan seakan mengalir bersama darah yang melalui pembuluh darah Pak Fachruddin. Ketidaksukaan pada sikap anak sulungnya ini pun akhirnya membuatnya semakin muak.
Berjuta kata akhirnya keluar dari mulut Pak Fahchruddin yang menunjukkan kekesalannya pada Sang Anak. Bodoh, Tolol, anak setan dan juga tangan yang menunjuk ke arah putranya itu memperkokoh penegasan ucapan yang mirip sumpah serapah . Sementara Sang anak terus melanjutkan langkahnya keluar.
Sang anak pun seperti tak mempedulikan kemarahan yang ditaburkan oleh ayahnya di siang itu. Kata-kata ayahnya yang kerap mendendang di telinganya pun seolah menjadi kuliah pagi hingga larut malam. Jadi makanan pelengkap dalam hidupnya.
Siang menjelang sore, sekitar pukul 15.00, seorang perempuan dengan himpitan lemak di perut tampak duduk bersama dengan seorang lelaki yang mengendarai sebuah mobil APV. Wanita itu mengenakan kemeja ketat berwarna hijau membalut tubuhnya yang berkulit putih bersih. Rok mini berwarna sepadan dengan kemejanya memperindah tampilannya yang sudah mirip selebritis itu. Mobil itu pun menahan lajunya sesaat kemudian.
Sebuah bedak padat yang kemudian diambil dari tas yang masih berada di joke mobil segera diusapkannya pada wajahnya yang boleh dikata sudah menampakkan kematangan usia. Sesekali melenggongkan wajahnya pada kaca spion mobil. Wanita itu pun langsung turun menghampiri rumah termewah yang berada di pinggiran jalan. Rumah pak Hermanto. Dengan tas rajutan yang diselempang dan buku yang didekatkan di dada, wanita itu memasuki halaman rumah tersebut. Langkahnya begitu anggun dengan pinggul yang berliuk ke kanan dan ke kiri,..
“Bu Sartika, selamat sore ini”, salam seorang pria yang baru saja membuka pintu. Mata pria ini menyorot tampilan tamunya sesaat. Kemudian mengagumi dengan ucapan mesra “ Cantik sekali”
“Aduh, Bapak bisa saja”, wajah tersipu mendengar pujian yang memang diharapkan oleh hatinya
Pria dewasa itu pun mempersilakan tamu perempuannya masuk. Ia segera duduk di sofa yang berada di ruang tamu. Posisi mereka saling berhadapan sesuai dengan posisi sofa yang hanya dibatasi oleh meja kaca. Mulanya, percakapan basa-basi yang menjadi jamuan namun setelah kehabisan objek obrolan Akhirnya, dua pasang mata itu pun bergerak liar, saling menatap menampakkan pesonanya masing-masing. Lama, suasana pun hening sejenak seolah mengiyakan tiadanya penghuni rumah.
“Istrinya kemana Pak? ”, tanya Bu Sartika seakan ingin mencairkan suasana yang seolah membeku oleh tatapan mata Lelaki yang ada di hadapannya yang terus menggoda itu.
“Eh, kok malah tanya istri. Maunya tanya dimana anak saya. Kan ada pelajaran tambahan jam empat nanti?, jawab Pak Fachrddin setengah berpura-pura tersinggung dengan pertanyaan tersebut.
“Oh iya, hampir lupa ya. Maaf loh pak”,
Perbincangan itu diikuti perpindahan posisi duduk yang kini satu sofa. Sofa tengah. Tamu dan pemilik rumah menyatu. Mendekat, dan akhirnya mereka bermain dalam cinta syahwat di siang bolong. Wajah wanita itu merapat ke wajah lelaki dewasa. Diikuti dengan gerakan tangan yang entah meraba ke mana-mana.
Tak lama kemudian, seorang anak remaja bertubuh jangkung datang, keluar dari ruang dalam. Alhasil adegan mesra pun sekilas tertangkap mata Sang remaja. Keduanya pun kikuk seolah tak terjadi apa-apa.Bu Sartika membetulkan kemejanya yang kemudian salah pasang kancing. Namun, pandangan tak mungkin kabur dengan terangnya cahaya Sang mentari yang juga ikut memantulkan adegan tak lazim itu.
“Bapak!!!”, Hermanto menggunjing ayahnya yang masih duduk di sofa tapi sudah agak bergeser dari posisi wanita di sampingnya.
Lelaki setengah baya itu tak lantas menerima perkataan putra sulungnya itu. Dibalasnya pula “Kamu darimana saja? Main saja kerjanya, tahu tidak Ibu Sartika sudah sejak tadi menunggu kamu”, seolah tak memedulikan kedua mata yang telah memergokinya.
“Menunggu saya, atau Bapak. Mengajar saya atau Bapak?”, dengan nada interogatif sambil menatap Bapak dan gurunya yang masih salah tingkah.
Secepat kilat, emosi Pak Fachruddin memuncak, merasa harga dirinya mulai turun oleh aksi Putra sulungnya
“Eh kamu sekarang mulai kurang ajar ya?”
“Yang kurang ajar itu Bapak, bukan saya. Bapak, . …Mesum”,
Kata itu pun terucap dengan intonasi yang lumayan memekakkan telinga orang-orang yang masih berada di rungan itu, termasuk Bu Sartika. Ayahnya tak lantas diam.
Dakkkk, tamparan tangan pun mendarat di pipi kiri Hermanto. Anak itu pun hanya sedikit mengaduh. Wajahnya memerah seakan menampakkan kemarahan yang luar biasa pada kedua orang yang berada di hadapannya. Tangannya mengepal seakan menggenggam bara dendam. Namun juga tak terlampiaskan.
“Masuk kamu!!!”, perintah ayahnya dengan geram
Hermanto pun memilih masuk ke dalam kamarnya yang tak jauh dari ruang tersebut. Mengubur adegan tidak berkelas itu.
Bu Sartika yang sejak tadi hanya diam, tiba-tiba meminta izin untuk pulang. Pak Fachruddin pun mengiyakan dan tak lupa menghaturkan maaf atas perbuatan putranya itu. Bu Sartika yang didera rasa malu pun lekas meninggalkan ruang itu. Ia menunduk.
Dalam kamar, hati Hermanto berkecamuk. Benci dan marah yang teramat membuat adrenalinnya berpacu. Tubuhnya seakan ingin memukuli sosok ayah, lelaki yang seharusnya jadi panutan. Parahnya lagi, lelaki itu telah tega menghianati wanita yang masih menjadi istrinya. Kasihan kau ibu,
………………..……………………………………………………………………..
Di teralis jendela, mata lelaki yang berusia belasan tahun itu memandang keluar, jauh bersama terbangnya sang elang, melintasi cakrawala antero dunia. Sejenak menunggu terpaan angin peralihan siang ke malam itu merembes masuk ke dada. Tatapan kosong, bagai tanpa asa. Tak ada gairah menatap kilauan matahari yang akan segera berada di peraduannya, yang sering menaburkan sejuta kegembiraan bagi umat manusia penggila sunset.
Tangan ini mengayunkan pena di atas kertas. Bukan deretan kata tapi coretan yang melukiskan gambaran jiwa dan hati yang marut oleh kemelut. Kertas itu bagai muntahan emosi yang ingin segera meledak. Letupan- letupan yang hanya bisa dirasakan olehnya. Cerita yang harus ia tutup rapat.
Malam pun akhirnya menampakkan perawakannya. Kegelapan yang dibalut dengan cahaya rembulan. Bintang-bintang yang berkoloni membentuk rasi bintang seolah tak ingin melepas kemesraan malam. Indah, tapi sayang jiwa lelaki ini tak juga tersentuh olehnya. Jendela pun ditutupnya rapat-rapat serapat rahasia ini harus ditutup. Disusul, tirai putih yang menggantung di jendela.
Ayahnya, sedang asyik bermain dengan computer pribadi. Di belakangnya, tampak tulisan TOSHIBA yang menandakan merk dagang computer tersebut. Detakan keypad keyboard saat mengetik terdengar sayup-sayup. Mungkin sedang mengerjakan laporan, seperti rutinitasnya selama menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi negeri. Pak Fachuddin, M Ed rupanya sangat serius meleggangkan akivitas yang akan membuat matanya perih berlama-lama di depan computer.
Hermanto keluar menuju dapur. Sebenarnya, ia tak ingin keluar dari kamarnya tapi rasa lapar yang mendera pun memaksanya untuk keluar dari markasnya. Dengan sangat terpaksa pun, ia harus bersua lagi dengan ayahnya. Untung Sang ayah tak berkomat-kamit saat ia melintas di sampingnya. Muak benar ia pada ayahnya terlebih setelah kejadian itu. Dibukanya almari yang biasanya memamerkan berbagai menu di rumah itu. Kosong, ia pun hanya tersenyum kecut seolah membenarkan bahwa tak lagi ada ibu yang menyiapkan makanan bagi perutnya yang telah keroncongan. Tak berhenti di situ, ia beralih membuka lemari es yang tak berapa meter darinya. Sayang, tak ada sesuap makanan pun yang berada di dalamnya, hanya ada beberapa botol Coca-cola kosong. Di freezer, dia hanya menemukan sebuah apel. Dilahapnya, lumayan untuk mengganjal perut. Konsumsi memang payah sejak ibu tak lagi di rumah. Ayahnya, tak tahu makan di mana. Prinsip keegoisan dari segi konsumsi pun menjadi pegangan para penghuni rumah yang telah ditinggal pergi oleh Ibu yang merangkap jadi koki keluarga.
Bel rumah berbunyi, mengagetkan ayahnya yang masih saja asyik bercumbu dengan pengganti mesin tiknya itu. Pak Amin, yang selama ini menjadi kaki tangan ayahnya dan juga selalu mengamini intruksi ayahnya menunggu di teras rumah berharap pintu akan segera dibuka
“Eh Amin”, kata Pak Fachruddin pelan
“Iya, Pak” , seraya menundukkan kepala tanda penghormatan
“Sudah, masuk saja dulu”,
Dua orang itu pun akhirnya melenggangkan kakinya ke rumah yang bertegel keramik itu. Bisa ditebak, kedatangan Pak Amin membawa informasi vital bagi ayahnya. Ia pun tak peduli, seolah menutup kedua mata dan telinga atas kabar yang sampai ke rumah itu.








Surat elektronik 4
Teknologi seolah menjadikan segala hal semakin efisien. Pergolakan kehidupan umat manusia ternyata membawa manusia untuk selalu berfikir memutar otak dan akhirnya menemukan solusi yang terbaik, yaitu teknologi.
Teknologi pun akhirnya berjalan seiring dengan perkembangan informasi. Teknologi Informasi yang akan mengantarkan manusia untuk menggali informasi dari seluruh penjuru dunia dengan lebih efektif dan efisien. Pada akhirnya, manusia berbahagia sampai pada gerbang teknologi yang akan semakin membuat sesuatunya lebih mudah, dengan ongkos yang relative murah, juga akses yang ekspress tentunya.
Email atau elektronik mail atau dalam bahasa terjemhannya adalah surat elektronik kini menjadi salah satu alternative media komunikasi yang ada di zaman yang serba elektrik ini. Dibandingkan dengan surat pos yang akan memakan waktu yang cukup lama, pastinya email jauh lebih efektif darinya. Tak heran, kantor pos sekarang banyak yang dialihfungsikan.
Tapi untuk ibu yang berada jauh di daerah pesisir, jasa kantor pos tetap aku butuhkan. Tak ada pilihan lain, jaringan Interconnection Networking (baca : singkatan Internet) belum terpasang di sana. Hal yang tak mungkin, bila aku mengabarkan berita dengan sms. Surat dengan tulisan tangan memang memiliki kesan tersendiri yang tak mungkin tergantikan dengan layanan email maupun pesan singkat SMS (Short Message Service).
Aku teringat pada masa kuliah dulu, peristiwa sekitar tujuh tahun yang lalu. Aku yang berasal dari desa yang belum terjamah oleh teknologi, lebih tepatnya terisolir tak ada jaringan internet. Jangankan teknologi informasi, akses transportasi pun sangat sulit. Paling jauh, internet kupahami hanya sebatas teori. Sekolah di desa dan perkotaan memang sangat berbeda. Perkotaan yang menjadi arus teknologi seolah menggusur penduduk pedesaan yang terus saja setia pada cara-cara analog. Awalnya, aku dan kedua temanku Kiki dan Wiwiek. Kiki, yang sedaerah asal denganku bahkan masih satu sekolah denganku dulu kupastikan pengetahuannya tentang internet NOL besar, sama sepertiku. Berbeda dengan Wiwik yang memang lahir dan besar di Makassar tentunya sudah terbiasa dengan internet, koneksi dunia maya. Karena dialah, kami berdua untuk pertama kalinya memberanikan diri duduk di warnet membuka jaringan internet.
Pengetahuan computer satu-satunya yang kami andalkan, yang kami (Aku dan Kiki) bisa hanyalah mengetik. Untuk yang satu ini, kami tidak bisa dianggap remeh, apalagi masalah ketik-mengetik. Mengetik dengan sistem 10 jari. Kami hanya kalah INTERNET yang di kampung memang belum tersedia. Itupun hanya masalah waktu, nantinya juga bisa.
Kala itu, aku terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Matematika angkatan 2001. Karena dosenkulah, aku mengenal email, surat elektronik yang pada saat itu adalah hal yang sangat istimewa. Prof. Abdullah, dosen mata kuliah Kalkulus I inilah yang membuat aku mengenal email pasalnya semua tugas pada mata kuliahnya harus dikumpulkan dengan email. Alasannya, pertama dengan email, para mahasiswa tak perlu lagi mengejar dosen untuk mengumpulkan tugas. Kedua, dengan email, pengiriman tugas akan lebih murah. Tak perlu beli pulpen dan kertas, katanya. Alasan kedua ini kurang bisa kuterima. Menurutku, justru sebaliknya yang akan terjadi. Aku harus nongkrong di warnet yang lamanya akan langsung terbayar dengan tarif Rp.2500 tiap jamnya, lebih mahal dari pada harga pulpen dan selembar kertas folio. Ketiga, ya agar kami para mahasiswanya yang umumnya berasal dari daerah mengenal internet. Kasihan, mahasiswa kalau katro apalagi gagap teknologi. Inilah alasan yang paling rasional menurutku, selain harus beradaptasi dengan teknologi, kami pun harus memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi yang ada. Jangan sampai kita mengenal computer hanya sebatas pengganti mesin tik yang sudah usang dimakan zaman.
Linda_Match01@yahoo.com, adalah alamat emailku. Melalui alamat inilah, aku menjalin koneksi dengan rekan sesama mahasiswa dan pastinya dosenku Prof Abdullah. Dosen yang dijuluki dosen email inilah yang hampir mengisi kotak keluarku dengan segudang file tugas. Tugas Kalkulus.
Kini, teknologi pun tak hanya dinikmati oleh masyarakat perkotaan. Perlahan mulai merambat juga ke pedesaan. Sudah ada dua tiga warnet di desa tempat aku mengajar meskipun ya, jumlah unit computer masih sangat terbatas. Syukur, pembangunan akhirnya juga dapat dinikmati masyarakat pelosok negeri, meskipun hanya sisa dan ampasnya saja.
Seolah mengulang sejarah, aku mengambil cara dosen yang kuanggap professional itu, ya dengan menyarankan agar semua siswa yang aku ajar di sekolah memiliki email masing-masing. Tak tanggung-tanggung, setiap tugas yang aku berikan pun wajib dikumpulkan melalui alamat emailku. Masih sama Linda_Match01@yahoo.com.
Melalui surat-menyurat di dunia maya inilah, aku berinteraksi dengan siapa saja, termasuk sahabat lama yang berjuang bersama, tertatih-tatih menyelesaikan perkuliahan di masa itu. Sengaja tak kubuat alamat email yang baru agar mereka dapat mengontakku.
Sialnya, seolah termanjakan oleh tekhnologi, banyak diantara siswaku yang tak mau ambil pusing, jalan pintas COPY PASTE. Inilah yang tidak aku sukai. Dilema teknologi yang harus diwaspadai. Internet, yang menyediakan sejuta informasi itu juga sering disalahgunakan oleh para penggunanya. Mengutip, menyontek atau apalah istilah lainnya, boleh juga menyalin informasi tanpa analisis lebih jauh. Tugas-tugas yang kuberikan sepertinya hanya dikerjakan oleh siswa yang memang serius belajar. Selebihnya, hasil plagiat. Cara mengecek keasliannya mudah saja, beban filenya semuanya hampir sama
Hampir setiap minggu, aku mengecek surat elektronik yang berisi tugas sekolah itu. Aku cek di warung internet. Dulunya, aku harus keluar kompleks untuk mengakses internet karena semua warnet berada di luar kompleks . Warnet yang paling dekat berjarak sekitar satu kilometer yang bisa kutempuh dengan berjalan kaki. Namun setelah ada warnet yang buka di kompleks, mampir ke warnet luar tak lagi kulakukan. Pilih yang lebih efektif dari segi waktu dan juga biaya.
Warung Internet yang dinamai Warnet Qta itu pun menjadi pilihanku, milik Pak Irwan. Prospek usaha warnet di sekolah memang cukup menggiurkan, terlebih bisnis ini belum menjamur seperti bisnis pulsa yang seolah tak terhitung lagi. Bu Irwan, yang belum kutahu nama aslinya setia melayani setiap pelanggan yang datang di warnetnya. Senyum manis dan sapaan halus khas Sunda menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. Keramahannya pun tak bisa dipungkiri lagi.
………………………………………………………………………………………
Sore itu sehabis mengajar, aku menyempatkan diri untuk berkunjung ke warung internet Pak Irwan. Dengan berkostum kaos putih longgar dan rok kain panjang berwarna putih plus jilbab hitam yang membungkus kepala dan leher,. aku berjalan ke warnet yang masih satu kompleks dengan perumahanku. Di jalan, aku berpapasan dengan Anna yang masih berseragam putih abu-abu itu. Rupanya, dia memiliki tujuan yang sama denganku, warung intenet. Dengan buku paket Matematika yang masih digendongnya, bisa kupastikan dia akan menyelesaikan tugas yang kuberikan di akhir kelas tadi. Buku Matematika yang baru saja aku pinjam dari perpustakaan ternyata jatuh juga ke tangan siswa yang memang cukup cekatan itu.
Langkah kami pun beriringan. Anna yang membuka pintu warnet. Hal yang tak biasa terlihat di warung informasi itu, Pak Irwan yang menjaga warnet bukan istrinya yang memang menjadi tokoh perintis. Pak Irwan duduk di kursi kasir. Sebuah unit computer yang tersisa harus kuprioritaskan pada Anna karena selebihnya telah digunakan oleh pengunjung yang lebih dulu datang. Alasannya, Anna lebih berkepentingan dariku. Awalnya, ia tampak sungkan, namun setelah kuyakinkan secepat kilat ia pun menghampiri kursi nomor lima. Kursi itu masih hangat, baru saja ditinggalkan penggunanya yang kini sedang mencetak beberapa file pada printer Cannon yang berada di atas meja kasir. Pak Irwan, tampak sedikit kewalahan dan mungkin juga kebingungan melayani para pelanggannya. Beberapa kali, pak irwan harus mencetak ulang dokumen yang tidak sesuai dengan keinginan pengunjungnya tersebut.
“Maaf ya Dik. Jangan kapok ke sini lagi”, sapa pak Irwan pada pengunjung yang juga merupakan siswa yang diajarnya itu.
Sesaat ia tersipu malu dan menatap ke arahku. Aku pun membalas dengan senyum yang sedikit dilebarkan. Maklum, di bukan penjaga warnet yang asli. Bu Irwan, entah kemana tak kelihatan batang hidungnya sore itu.
“Tidak apa-apa Pak”, balas remaja yang juga masih mengenakan seragam lengkap dengan tas ransel merah di pundaknya.
Pak Irwan betu-betul orang yang professional. Ia bisa menempatkan dirinya sesuai keadaan dan posisinya. Sapaan anak pada saat ia berposisi sebagai guru di ruang kelas. Selanjutnya, di luar kelas ia bukan lagi guru. Kedudukan itu untuk sementara ditanggalkannya. Hebat, pikirku.
Rata- rata pengunjung warnet itu memang para siswa. Ada yang sedang mengetik dan mengerjakan tugas, ada yang download lagu, main game online ada juga yang malah hanya membuka buka artikel. Tak ketinggalan, chatting menjadi opsi bagi mereka yang suka berinteraksi dengan dunia maya internet. Oh satu lagi, facebook yang kini menggila sebagai jejaring sosial ini mulai banyak pengikutnya. Bormodalkan email, kita dapat bergabung dalam Facebook. Sekali lagi email yang menjadi tujuan utamaku.
Jarum digital yang tersusun dari LED (light Emitting Dioda) yang terpampang di samping printer menunjukkan digit 15.50. Warna yang terpancar dari bentukan digit jam menunjukkan bahwa komponen elektronika tersebut berfungsi dengan baik. Menunggu memang adalah hal yang paling menyebalkan. Tadi aku berangkat pukul 15.40 bada Shalat Azhar dan sekarang jam itu telah menunjukkan pukul empat sore. Artinya, ada selang 20 menit. Aku hanya bisa pasrah menunggu antrean. Berharap akan ada yang akan beranjak pergi.
Akhirnya setelah sekian lama menunggu, seorang pun beranjak meninggalkan kursinya. Pak Irwan yang sejak tadi menyadari keberadaanku di ruang berukuran 10 X 10 meter pun segera menegur diriku yang mungkin keasyikan menunggu.
“Iya, silahkan Bu Linda, sudah ada yang kosong tuh”, seraya menerima uang dari seorang pengunjung. Satu lembar uang lima ribu rupiah sesaat dikeluarkan dari sakunya. Pak Irwan yang berperan ganda merangkap jadi kasir menerima uang kertas tersebut. Lalu mengeluarkan selembar uang pecahan seribu rupiah dari laci. Ucapan terima kasih, tak lupa dihaturkan pada pengunjung yang diharapkan jadi langganan setia warnetnya.
Aku pun segera beranjak dari kursi yang kusebut saja kursi tunggu, mencari komputer yang kosong itu. Baru aku melangkahkan kaki, sepasang mata ini menyorot pada dia yang berlalu. Hermanto, siswaku yang lagi-lagi tak mengikuti kelasku siang tadi. Langkahnya biasa saja seolah tak memedulikan aku yang juga gurunya. Pusing amat, pikirku dalam hati.
Bagai singa yang telah mendapatkan mangsa, secepat itu aku memasukkan alamat web pada search engine. Kuketikkan www.yahoo.com. Tak meleset dari tujuan utama, membuka email.
Sesaat kemudian computer loading dan terbukalah web page Yahoo. Emailku memang aku buat di Yahoo. Yahoo Account. Jemari yang menempel pada mouse segerah kuarahkan pada sign in. Kotak dialog pun muncul mencross check alamat email dan kata sandi. Kuketikkan alamat email dan kata sandi yang bersifat rahasia pada kotak dialog yang memang telah disediakan. Klop dan terbukalah emailku. Ada beberapa pesan yang masuk. 90 persen adalah tugas dari siswaku. Selebihnya pesan dari sahabat lama yang menanyakan kabar dan keberadaanku saat ini. Kak Husnul, akan segera menikah dengan Anto.
Setelah kubuka dan kubaca ternyata hanya Anna yang mengerjakan tugas terakhir yang kuberikan. Maklum, baru beberapa jam yang lalu. Sedang siswaku yang lain baru menyelesaikan tugas sebelumnya. Parahnya, ada juga yang baru mengirimkan tugas yang kujadwalkan bulan lalu. Artinya, sudah ketinggalan empat tugas. Sebuah hal yang harus segera dibenahi. Pesan yang rata-rata melampirkan file itu pun dengan cepat ku salin pada Flash Disk yang sudah bergelantungan di leher, sebuah kebiasaan sejak lama.
Ingatanku, kembali pada Hermanto Saputra Fachruddin. Bagaimana dengan tugas-tugasnya? Apakah ia tetap acuh. Penasaran. Rasa itu begitu cepat menggiringku untuk mencari alamat email pada list email kotak masuk. Aku memang tak menargetkan pada siswaku untuk mengumpulkan tugas mereka serempak. Aku hanya berpesan agar mereka mengumpulkan tugas mereka sebelum ujian semester. Alasannya sederhana. Aku memberikan keleluasaan bagi mereka untuk belajar dan menyelesaikan soal-soal tanpa terikat fungsi waktu. Kedua, aku ingin melihat bagaimana perkembangan setiap peserta didik. Lebih jauh bagaimana mereka bisa menghargai waktu dengan tugas yang apabila disepelekan akan menumpuk dan justru jadi bumerang. Minggu lalu, tak ada pesan dari Hermanto. Tak satupun tugas yang ia masukkan. Keterlaluan. Harapku kali ini ia mengirimkan sesuatu.
Kutemukan Hermanto_Saputra95@gmail.com. Segera kubuka.
Subject : Waspada Virus Mengancam
Terima kasih telah membuka pesan saya. Mungkin Anda kaget karena saya tak melampirkan file yang berisi tugas-tugas yang bagi saya dan mungkin juga bagi yang lainnya cukup MEMUAKKAN itu. Tapi sayang, teman-temanku ternyata bernyali ciut dan bermental buruh yang setiap saat mengiyakan dan membenarkan perintah, ucapan dan kalimat yang terlontar dari mulut yang sama-sama mengonsumsi NASI dan LAUK. Juga bau,….
Lanjut, Anda memang seorang guru. Guru yang kerjanya hanya MENGGURUI setiap orang, mendoktrin mereka yang bodoh dengan cerita dan metode klasik. Merasa paling PINTAR dan BENAR seraya menghaturkan ucapan Selamat dengan PRESTASI yang hanya diukur dari ANGKA dan ANGKA. Pantas saja, Manusia Indonesia terus saja MATERIALIS.
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, gelar yang lebih pantas diberikan pada para PENJAGA RONDA, PETANI, atau PEMULUNG saja. Setuju atau Tidak? Terserah.
Hormatku bagi Dia Yang Gila Hormat

HERMANTO SAPUTRA
CATAT: Siswa Kelas XII B, NIS 4509017
Kaget. Tak pernah kufikirkan betapa beraninya seorang siswa menuliskan pesan seperti ini. Anda, kata yang seolah sangat tidak menghargai aku yang tak lain adalah gurunya. Kata itu, MEMUAKKAN yang diketik dengan huruf Kapital dan di Bold –kan itu lagi-lagi membuat tensiku naik. Bisa-bisanya dia mengatakan secara tertulis bahwa itu adalah hal yang memuakkan. Memuakkan bagi mereka yang bersifat dan bermental Hermawan Saputra Itu
Kata terakhir, CATAT pun tak kutinggalkan begitu saja. Sesuai intruksi pengirimnya, segera kukopi isi surat elektronik itu. Ini akan jadi bukti. Barang bukti yang akan menjatuhkan dan meruntuhkannya sebagai siswa. Harapanku, agar dia menjadi sosok yang lebih baik seakan memudar, terhapus dengan perkataan dalam pesannya itu. Puncaknya, kepercayaanku padanya hilang.
Segera kututup kotak masukku. Aku keluar dari dunia maya. Ku klik tombol Close Buttom yang bertanda silang. Waktu yang terpampang di layar monitor adalah lima puluh tujuh menit dengan fee 4000 rupiah. Aku pun meninggalkan monitor itu dan segera menuju ke kasir depan pintu.
“Wah, mbak Linda, ya?”, sapa perempuan itu.
“Eh, Bu Irwan.”, kataku kilat menggambarkan rasa terkejut
“Sejak kapan Ibu di sini? Oh ya, Pak Irwannya mana Bu?”, tanyaku beruntun dengan sedikit jedah.
“Baru saja mba. Bapak teh lagi ada tamu atu”, sambil menegok ke dalam yang juga menyatu dengan ruang tamunya. Lanjutnya setelah mengecek di computer
“Empat ribu ya mba”
“Oh ya Bu, ini . hampir lupa “, sambil menyerahkan dua lembar uang pecahan dua ribuan.
“Untung kamu Hermanto Saputra Fachruddin”, pikiran dalam benakku. Beruntung karena ulahmu belum aku laporkan pada Pak Irwan.
Kutinggalkan warung intermet itu tapi pelecehan dalam surat elektronik itu sulit aku hapus dari memoriku.

















Pandangan Pertama 5
Mata adalah anugerah terindah yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta pada makhluknya. Dengan alat indera inilah, para makhluk di buana ini mampu melihat dan mendeskripsikan apa yang ditangkapnya secara visual. Gambaran tersebutlah yang selanjutnya terekam oleh memori otak. Gambaran yang akan menjadi pijakan baik buruk, indak tidaknya ataupun benar salahnya suatu tindakan dalam rangkaian peristiwa.
Mata, pancaran sinar yang memberikan sejuta makna. Mata ular, mata yang menunjukkan kekuatan binatang melata ini. Lain lagi pada bola mata kucing yang membulat, memancarkan pesona indah. Mata, mata yang menjadi andalan semua makhluk, tak juga oleh manusia
Betapa pilunya hati para tunanetra yang harus kehilangan fungsi mata. Para tunanetra yang hidup dalam kegelapan. Pun pada mereka yang bernasib lebih baik dari orang buta, mereka yang menderita buta warna. Tak dapat menikmati keindahahan pesona dari warna tertentu seperti hijau dan biru. Buta, memang adalah bentuk ketidaksempurnaan yang tentu tak diinginkan oleh setiap orang.
Hari ini di sekolah, aku dan beberapa guru sedang disibukkan dalam aktivitas acara perpisahan sekaligus penyambutan Kepala Sekolah yang baru. Kepala sekolah yang lama telah memasuki masa pensiun dan harus segera digantikan setelah mengabdi selama 35 tahun sebagai seorang pegawai negeri sipil. Pengabdian yang melebihi separuh usianya. Itulah hal yang aku tangkap dari mata ini.
Aku yang saat itu bertugas menyiapkan konsumsi selama kegiatan penyambutan orang baru di sekolah tersebut pun akhirnya harus bercokol di dapur tata usaha. Diatur atau tidak, Bu Sartika pun berperan sama denganku. Akhirnya, sedikit banyak kami pun harus berinteraksi. Mata ini seolah lupa pada kejadian yang telah lalu di rapat itu. Bu Kartika memberikan arahan padaku untuk membuat dos nasi yang belum terbentuk. Ia pun menegurku bila lipatan kertas tidak begitu rapi. Ia tampaknya tak lagi memendam kekesalan padaku atas ulahku yang selalu membela Hermanto Saputra atau akulah yang diam-diam merasa terasingkan oleh guru sekaliber Bu kartika. Entahlah, yang pasti keprofesionalan jelas dapat terbaca dari kedua matanya. Aku mungkin salah kesan terhadapnya. Ia tampak bersemangat.
Sementara kami yang diponggawai oleh Bu Sartika beraksi di dapur, para siswa yang tergabung dalam kelompok paduan suara tak mau kalah. Deru music yang ditabuh dengan sedikit koregrafi, para siswa tersebut latihan pra pentas. Tampak Pak Irwan yang juga Pembina ekskul seni music unjuk gigi memberikan arahan dan pengaturan pada para pengadu vocal tersebut. Mereka tak boleh kaku di atas panggung yang telah tertata dengan dekorasi menarik. Mereka harus tampil cantik, secantik paras mereka yang hobi dandan.
Seorang anak berkemeja putih dan berok setinggi lutut itu pun mendadak masuk ke dalam ruang dapur. Dialog singkatpun berlangsung
“Ma, susunan acaranya mana?”, tanyanya
“Ada di atas meja mama”, berujar tanpa menoleh
Bu Sartika masih sibuk memasukkan nasi ke dalam kotak yang telag disusun olehku. Bu Sartika menggunakan mangkok plastic sebagai takaran. Mangkuk diisi dengan nasi putih kemudian ditekan masuk dengan sendok nasi dan terakhir dituang ke dalam kotak yang telah dilapisi kertas.
“Eh, ganti tuh baju. Pakai yang merah dan rok hitam satunya lagi”, protesnya pada gadis yang berada di hadapannya
“Kamu itu,… sudah ganti”
Bu sartika kurang suka dengan penampilan anaknya. Kemeja putih dan rok hitam tiga perempat dianggap kurang pas mengena di tubuh gadis yang sebentar lagi akan menjadi pembawa acara, lebih kerennya Master of Ceremony (MC). Bu Sartika pun bergegas pergi setelah meminta izin pada rekan satu timnya yang masih bergerak di redaksi dapur. Aku memandang sesaat ke arah mereka, Kupandangi mereka hingga hilang dari sorotan mata. Gadis itu Anna Chaerunnisa. Hampir aku tak bisa mengenalinya. Dia lain sekali hari ini.
“Bu Sartika, Bu Sartika”, kata seorang Ibu Staff Tata Usaha sembari menggelengkan kepalanya.
Tanpa diminta, ia melanjutkan cerita. Cerita yang mirip dongeng pengantar tidur Si Kecil.
“Bu Sartika memang guru yang baik tapi ituloh terlalu keras. Maunya harus dituruti. Liat saja tadi. Anaknya sudah cantik begitu eh malah disuruh pulang”, katanya dengan ekspresi mendalam
“Mau disuruh pakai kostum badut kali Bu. Sudah jangan gossip terus dong Ibu-Ibu”, timpal seorang staff TU lainnya yang tiba- tiba saja melintas ke ruang kerjanya. Pria yang ditaksir berusia empat puluhan itu pasti mendengar cerita rekannya. Aku jadi tahu hubungan darah Bu Sartika dan Anna.
“Eh, Pak Idrus tidak tahu saja sih kalau Ibu Sartika itu di rumah disiplinnya minta ampun deh. Anna tuh kalau di rumah, penurut sekali. Kasihan tuh anak, ditekan terus. Pernah sekali saya ke rumahnya. Tahu nggap apa yang saya lihat? Anna dihukum karena nilainya dari Pak Irwan rendah. Gawatnya lagi nih Ibu-Ibu, Anna tidak dibiarkan keluar rumah selama seminggu dan wajib belajar full. Bu Sartika juga bilang pada saya kalau uang jajannya juga dipotong”
“Itu juga untuk anaknya. Supaya sukses dan lebih disiplin gitu. Benar tidak Bu Linda?”, Lelaki yang lihai dengan guyonan itu meminta komentarku
Pak Idrus membalas sambil mencicipi lauk yang dibiarkan terpamer di baskom besar. Pak Idrus makan sambil jongkok. Aroma masakan memang tak bisa dilewatkan begitu saja oleh hidung. Ayam goring dengan bumbu racikan khas daerah menggugah selera. Takut tak kebagian katanya.
Omongan wanita dan pria memeng berbeda. Laki-laki umumnya berbicara seperlunya. Singkat, padat dan jelaslah. Beda sama perempuan yang waduh selalu diberi bumbu untuk menyedapkan cerita.
Setengah jam kemudian semua kotak telah terisi dengan nasi dan lauk pauknya. Tambahan sebuah pisang susu sebagai pencuci mulut tak lupa dimasukkan. Nasi dos yang rencananya akan menjadi menu makan siang tamu saat istirahat nanti telah ditumpuk bersama dengan air gelas kemasan di ruangan yang telah ditentukan panitia acara. Tugas kami sudah rampung. Aku pun mengajukan diri untuk pulang. Acara dimulai dua jam lagi.
Kesan yang tampak adalah apa yang terlihat oleh kedua mataku. Kesan pertama, yang seperti kata orang dari mata turun ke hati. Acara semiformal yang akan diselenggarakan sebentar lagi telah membuat aku, rekan guru, pegawai dan staff serta siswaku aktif dengan peran masing-masing. Semuanya bekerja. Ini kali pertama aku merasakan kebersamaan di sekolah ini.
………………………………………………………………………………………
Jauh di sana, rasa bahagia adalah barang langka yang tak mungkin dibeli dengan harga berapapun. Di rumah itu, tak ada angin yang menebarkan debu-debu cinta, kebahagiaan yang dirasakan oleh segenap civitas akademika di sekolah yang sebentar lagi akan menyambut kedatangan orang nomor satunya.
“Herman, kenapa kamu belum juga berangkat ke sekolah? Acaranya kan akan segera dimulai?”
“Untuk apa. Itu kan acaranya Bapak. Aku juga tak punya kepentingan?”
Bapaknya mulai mendapatkan signal negatif
“Kamu itu tidak bisa bicaranya yang lebih sopan ya?”
“Sopan, kata Bapak?. Bertemu guru-guru di sana. Sartika, guru yang akh, Menjijikkan”, lanjutnya
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Pak Fachruddin yang merasa kejadian lalu itu tak perlu diungkit langsung naik pitam. Sejurus kemudian, tangan kanannya langsung menyambar pipi kiri putranya. Dakkk, Hermanto pun hanya pasrah. Ia memang sudah menduga apa akibat dari perbuatannya.
“Puas Pak, ayo pukul lagi”, ia menatap wajah yang dipoles kekalutan itu.
Darahnya bagai mendidih, dipanaskan oleh kata-kata Sang anak. Sekali lagi ia menampar wajah anaknya. Tapi kali ini dengan energy yang lebih besar. Seketika putra sulungnya yang masih memakai kaos oblong itu terpingkal jatuh. Kepalanya sempat menabrak sudut meja. Perih, tapi ditahannya juga. Air mata ditahannya agar tak menetes. Pantang baginya laki-laki menangis. Kotak mungil berwarna putih dengan goresan pita merah pun langsung keluar dari kantong celana pendek yang dikenakannya
Pak Fachruddin yang masih dikuasai oleh amarah pun tak lantas membiarkan anak remaja yang telah rapuh itu begitu saja. Sebungkus rokok itulah yang membuatnya marah semarah-marahnya. Ia sadar anaknya mulai mengonsumsi tembakau bernikotin itu. Setitik cinta sepertinya tak lagi terbersit di hati. Ia lalu mengambil sapu ijuk dan menghantamkannya ke tubuh anaknya yang sudah tak berdaya itu. Dihantamkannya berkali-kali. Sapu itu pun patah. Ia merasa puas atas tindakannya. Pukulan yang akan meninggalkan lebam dan rasa sakit luarbiasa.
“Oh jadi sekarang kamu sudah mulai merokok ya. Bagus”
Pak Fachruddin mengambil sebungkus rokok yang berada di di lantai. Rokok itu sudah terbuka segelnya tapi isinya masih utuh. 16 batang. Segera dia meremuk kemudian menginjaknya dengan sepatu hitam yang tampak berkilau dengan semir hitamnya.
“Bapak sudah didik kamu dengan baik. Tapi toh kalau ini memang pilihanmu untuk dididik ya sudah. Kepalamu memang keras seperti batu. Bahkan lebih keras” katanya .
Bagai seorang pemenang, orang tua itu meninggalkan lawannya yang sudah tak berdaya itu. Kalau tak bisa disebut Knock Out (KO), kalah juga mengena. Dipasangnya kacamata dan jas hitam yang baru dibelinya. Di saku jasnya, ia memasukkan selembar kertas. Dengan Avanza miliknya, ia melaju kencang menuju tempat yang telah menyediakan serangkaian acara penyambutan dirinya. Sebelum pergi, ia menyematkan uang nominal seratus ribu rupiah di meja telepon.
Pemandangan inilah yang kerap kali disaksikan di rumah mewah ini. Pemandangan dimana setiap adegannya diperankan oleh dua tokoh yang masih terikat dalam jalinan darah. Bapak dan anak. Benda-benda di rumah itu bagai saksi bisu yang setiap saat bisa menikmati pemandangan tak sedap itu. Jam dinding Kristal menjadi saksi yang bisa menjelaskan kronologi dari segi waktu, Pendingin udara anti nyamuk seolah menjadi saksi betapa dirinya tak lagi mampu mengademkan suasana hati ayah yang kalut dan anak yang temperamental. Sapu yang telah patah itu pun masih layak jadi saksi atas kemarahan dan kebencian yang tertanam pada dua hati. Semuanya, bisa jadi saksi.
Darah, cairan merah itu pun akhirnya tak tahan untuk keluar. Darah itu mengalir dari pelipis kiri yang kelihatannya menganga. Robekan kecil yang menganga itulah sumber pendarahan. Tak ia hiraukan. Ini adalah kali pertama perlakuan fisik ayahnya berujung pada tetesan darah. Biasanya hanya tamparan dan tamparan. Hermanto masih berada di situ, tak bergeser sedikitpun. Ia hanya mencoba berdiri. Menegakkan kembali badannya yang telah terpelanting ke lantai.
Mata, mata inilah yang akan merekam semua kisah ini. Merekam pemukulan dan tamparan yang masih membekas itu. Teringat masa lalu, Bapaknya adalah sosok yang ramah dan sayang pada keluarganya. Ia mulai berubah pasca kedatangannya dari Belanda. Pasca mengecam pendidikan Master di sebuah universitas terkemuka di sana. Bapak menerima beasiswa dari kampus tempatnya mengajar saat ini. Gaya hidup hedon mungkin penyebab perubahan karakter seorang Bapak atau keangkuhan pemikiran yang dikukuhkannya di luar negeri itu membuatnya merasa tinggi hati. Atau mungkin juga karena ibu. Ibu yang kini telah mengangkat rahim akibat tumor yang menggerogoti bagian vital seorang wanita tersebut. Tapi apa mungkin alasan kebutuhan seksual yang menjadi perpisahan bapak dan Ibu? bukan cerai. Mereka hanya berpisah.
Pikiran Hermanto pun mengada-ada. Seberapa besar kebutuhan seksual dan biologis tersebut sehingga ia harus berselingkuh dengan perempuan lain. Apa hanya masalah itu yang mampu membahagiakan seorang lelaki dewasa? Dimana rasa cinta yang dibangun oleh kedua orang tuaku? Di mana? Pertanyaan pun berkecamuk dalam pikirannya.
“Dia juga”, ingatannya kembali pada Bu sartika
Guru bejat. Perempuan yang telah membuat Bapaknya melakukan penghianatan cinta. Apakah hasrat perempuan yang ditinggal mati suminya itu lantas memanfaatkan kelowongan hati bapak yang mungkin juga merasakan hal yang sama? Kenapa, kenapa dia begitu tega. Setahuku perempuan memiliki hati yang lebih peka. Tidakkah ia merasa telah menyakiti hati perempuan lain yang masih berstatus istri?
Perspektif kedua orang yang dilanda cinta terlarang tersebut pun memunculkan stigma negative pada remaja yang masih berstatus siswa. Kedua orang itu yang sama-sama berstatus pengajar itu. Pantaskah mereka yang amoral tersebut lantas menularkan ilmu pada siswa yang masih polos??? Pantas, hanya batin merekalah yang bisa menjawab.
………………………………………………………………………………………
Pak Fachruddin memasuki gerbang sekolah. Satpam sekolah yang bertugas menjaga kestabilan suasana sekolah telah berpakaian rapi menyambut orang terhormat. Kumis tebal yang biasanya terkesan sangar itu pupus oleh senyum lebar yang memperlihatkan giginya, hingga geraham depannya. Pak Fachruddin membalas dengan seyum serupa. Guru yang berjejer identik dengan pagar ayu menyambut para tamu undangan.
Seluruh undangan telah duduk manis di kursi yang dibalut dengan kain renda. Para siswa pun berjubel memasuki aula sekolah. Deretan kursi mengikuti posisi dan kedudukan tamu. Yang paling depan untuk Para kepala atau pimpinan instansi, yang kedua dan ketiga masing-masing adalah untuk guru dan staff serta tamu lainnya. Seperti biasa deret paling ujung untuk para siswa yang jumlahnya ditaksir tidak akan mampu ditampung oleh aula yang besarnya hanya tiga kali besar ruang kelas. Yang tak kebagian kursi hanya bisa mengintip dari luar gedung.
Acara pergantian kepemimpinan pun dimulai. Anna naik ke panggung. Membuka suara dan memandu acara. Seluruh mata di ruangan itu menyorot ke arahnya. Anna, ganti kostum. Kali ini ia mengenakan kemeja berlengan pendek berwarna merah maron yang dipadukan dengan rok mini setinggi lutut. Rambut hitamnya dikicir dengan tusukan rambut. Sedikit terbuka intinya.
Tak sedikit mata yang berkesempatan hadir menaruh iri pada gadis yang berada di panggung acara Membayangkan diri sebagai sosok yang menggantikan ia yang bergandengan dengan microfhon.
Susunan acara telah disetting sedemikian rupa. Namun seperti seolah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia yang bisa dibilang kurang menghargai waktu itu pun berakhir pada acara yang molor, satu jam dari jadwal acara. Di aula itu, Ketua Pelaksana Kegiatan, Kepala Dinas Pendidikan, Ketua komite Sekolah, hingga Kepala dan eksKepala sekolah pun secara bergantian menyampaikan sambutan. Ketua Pemuda dan Olahraga tak sempat hadir, kata sambutannya hanya diwakilkan oleh seorang pemuda yang pastinya juga bertugas di sana.
Aku yang duduk di pojok pun sesaat memperhatikan orang penting tersebut. Inilah orangtua Hermanto Saputra, orang tua siswa yang memberi sejuta tanya bagi dirinya. Pertama kalinya aku bertatap muka dengannya. Kesan Pertama, dosen yang telah resmi menjadi kepala Sekolah itu tampak begitu bersahaja. Selamat Bertugas….
Di akhir acara, penampilan dari vocal grup menghibur para undangan.



Semangat Pemuda Hari ini 6
Hari Senin, hari yang bagi kebanyakan orang adalah hari yang menyebalkan. Memulai aktivitas kembali setelah rehat di hari Minggu.
I like Monday, semboyan yang mematahkan kemalasan sekian banyak orang. Bagi mereka yang masih berseragam sekolah pun harus menyiapkan diri untuk mengikuti Upacara bendera yang sudah menjadi agenda nasional. Rasa nasioalisme saat ini harus diakui berada di ambang dekadensi. Jangan heran, mulai banyak warga yang mengaku sebagai bangsa Indonesia namun tak menghafal lagu Indonesia Raya. Pancasila pun sama sekali tak lagi jadi pedoman. Upacara bendera yang secara simbolis diharapkan dapat memberikan semangat bagi generasi muda untuk meneruskan perjuangan para heroid bangsa yang wafat di medan tempur...
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau belajar menghargai sejarah panjang bangsanya. Sudah menjadi tugasku, menjadikan mereka berani berteriak “Bangga Aku Jadi Orang Indonesia ”. Bukan MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesia), kumpulan puisi adikarya Taufik Ismail yang mengkritik rezim pemerintahan saat itu yang sarat akan korupsi dan kemiskinan. Pikirku, Optimismelah yang harus dibangun memupus krisis kepercayaan.
Pagi itu, di tengah terik matahari yang mampu membakar kulit peserta upacara, Kepala Sekolah baru yang berpeci hitam itu mengumumkan akan dilaksanakannya lomba cerpen. Tak disampaikannya secara rinci dalam pidato perdananya itu.
“Baiklah, Ketua Panpel Lomba Cerpen adalah Ibu Linda Apriliani Islami, S.Pd”, jelas kepala sekolah yang saat menjadi pimpinan rapat yang digelar usai upacara bendera. Rapat singkat yang boleh dikatakan hanya perpanjangan dari pidatonya tadi hanya berlangsung sekitar 30 menit biar tak mengganggu proses belajar mengajar.
Secara teknis, lomba itu disponsori oleh perusahaan minuman kemasan. Kepala Sekolah yang juga mantan dosen tersebut dikenal memang jago proyek. Proposal yang diajukannya baik pada instansi pemerintah maupun swasta peluang ditolaknya sangat kecil bahkan boleh dikatakan nihil. Kemampuan inilah yang diharapkan dapat memperbaiki citra sekolah. Terobosan yang hampir membuat namanya semakin menggila oleh semua penghuni sekolah
Tak peduli apapun tendensinya, aku telah diembankan sebuah amanah sebagai Ketua Pelaksana Lomba Cerpen. Konsep acara, adalah hal utama yang harus kupecahkan. Pak Fachruddin, kepala sekolah baru itu cukup demokratis. Konsep acara diserahkan sepenuhnya pada saya. Tanggung jawab besar di depan mata, seorang konseptor. Takkan kubuat mereka kecewa.
Aku mengajar di kelas XII IPA 2. Posisi ruang kelas bersebelahan dengan XII IPA 3 dan XII IPA 4. Ruang kelas yang masih satu bangunan tersebut memang sengaja dideret. Begitupun dengan kelas IPS dan Bahasa. Riuh keras terdengar jelas dari kelas XII IPA 1 seperti tak ada yang mengontrol. Teriakan yang saling olok mengolok. Pukulan pada meja dan teriakan jelas terdengar. Sempat mencuri perhatian siswaku. Aku pun keluar menuju ruang kelas tersebut untuk menegur aksi cukup sedikit mengganggu itu.
Alangkah kagetnya diriku. Puluhan siswa mengerumuni kelas itu. Dua orang siswi sedang adu jotos bak lelaki tangguh di ruang kelas. Jiwa keperempuanan yang halus dan lembut pun lenyap. Aksi dorong, menjambak rambut dan menarik pakaian pun menjadi gambaran yang ditonton oleh seluruh kelas. Tak kalah dukungan teman-teman yang ikut menyaksikan membuat demonstrasi itu bak arena tinju.
Kedatanganku tak lantas membuat mereka menghentikan aksi brutalnya. Aku memang guru baru yang masih sangat minim dengan pengalaman.
“Berhenti”, kataku
“Kalian berdua, ikut Ibu”
Kerumunan pun akhirnya surut. Meski puluhan pasang mata itu masih memerhatikan kedua actor yang baru saja menyelesaikan perkelahian. Baju seorang siswi itu tampak sobek. Kancing bajunya pun copot satu bagian atas. untungnya dia masih mengenakan pakaian dalam.
Mereka, kedua gadis itu mengikutiku dari belakang. Aku pun tak berucap sepatah kata pun. Dalam hati, aku bingung mau membawa mereka ke mana. Arahku semakin tak jelas. Mereka pun berpandangan acuh. Ke ruang BP, langkahku menuju ke sana.
Di sana, Guru BP ternyata tak masuk. kabarnya sedang sakit. Raut wajah itu senang, beban bagai berkurang. Hakim di Pengadilan sekolah tak hadir. Sidang pastinya tertunda, pikir keduanya.
Ketidakhadiran Guru BP itu bukan berarti meloloskan mereka yang telah menggegerkan sekelasnya. Aku meminta keduanya menjelaskan pokok permasalahan. Tak ada yang angkat bicara, mereka hanya saling berpandangan sinis setelah itu menunduk. Aku pun mengambil sikap
“Nama kalian siapa?, tanyaku mendadak
Tritss, Handphoneku memanggil. Aku tak peduli. Aku mendengarkan gadis yang bajunya sobek itu mulai berbicara walau hanya menyebutkan nama. Tritsss, Handphone itu belum juga berhenti berdering. Dengan sangat terpaksa aku mengangkatnya.
“ Halo, Assalamualaikum…”
Dari sana terdengar salam balik tapi kurang jelas, samar.
Kuulang lagi “Halo,. Hallo, dengan siapa ya?
Tak ada jawaban, senyap. Ia penelopon yang hanya membuang sisa detikku.
Bu Sartika yang secara tidak sengaja keluar dari ruang Kepala Sekolah menghampiriku, kujelaskan apa yang aku lihat.
“Kalau begitu, Ibu Linda mengajar saja. Biar mereka saya yang handle”, jelasnya tenang
Aku pun mengiyakan. Kasus kedua anak yang berselisih dan sempat adu jotos itu telah membuat aku lupa pada siswa kelas XII IPA 2. Aku masih ada kelas. Aku menyerahkan kasusnya pada guru yang supersenior itu. Meski ada sedikit ragu, ia tidak akan lebih bijak memandang kasus keduanya. Setidaknya, ia lebih banyak pengalaman. Lebih banyak makan asam garam di sekolah ini.
Sementara, di rumah aku pun dilanda kebingungan memikirkan konsep yang pas dengan acara Lomba Cerpen itu. Seorang creator sejati hanyalah Sang Pemilik Alam Semesta. Segera, kutadahkan kedua tangan padanya dalam doa, mengharapkan ide cemerlang akan datang. Hari ini, aku hanya mengajar dua kelas dan semuanya telah usai. Kini gilirannya menunaikan tanggung jawab, secepatnya konsep itu harus ada. Hingga petang menjelang, aku belum juga mendapatkan gambaran yang tepat tentang acara Lomba Cerpen itu.
Internet, kenapa aku tak memanfaatkannya. Di sana mungkin akau akan menemukan artikel atau setidaknya sedikit informasi. Mencuri ide yang ada. Lagi pula sudah saatnya aku juga harus mengecek tugas di emailku. Sambil menyelam, minum air. Sekali gerak dua tiga target tercapai.
Warnet Qta pun menjadi tujuanku. Untunglah, warung penyedia jasa internet tersebut lagi sepi pengunjung. Bukannya aku mendokan tapi kali ini aku merasa lebih butuh. Bagai seorang pecinta yang merindukan kekasih hatinya. Rasa yang tak terbendung lagi.
Aku membuka beberapa artikel. Kucari melalui google, mesin penjelajah yang memiliki kredibilitas tinggi di mata dunia Internasional. Tapi sayang informasi yang kudapatkan sangat minim. Kata kunci yang kumasukkan mungkin kurang mengena. Kali itu kuketikkan kata LOMBA CERPEN. Kemudian kuganti lagi dengan kata kunci yang lain, diantaranya KONSEP CERPEN, ACARA CERPEN, dan Lain-Lain. Hasil yang muncul beragam. Ada gambaran lomba cerpen tingkat SD yang baru saja diselenggarakan di JAWA tapi konsepnya tidak dijelaskan lengkap. Ada juga sekitar sepuluh artikel yang mendeskripsikan lomba cerpen. Selebihnya, artikel yang berada pada peringkat dua puluh ke atas sama sekali justru tidak terkait dengan lomba cerpen. Yang pasti hanya ada kata cerpen dan lomba. Pencarian di dunia maya itu tak memuaskan hati
Sangat minim informasi yang bisa kukorek dari dunia maya itu. Aku semakin risau oleh ketidakmampuanku mendapatkan kisi-kisi model acara. Dunia maya, mengapa aku tak berinteraksi pada dunia nyata saja? Ada dia, kamu dan juga mereka. KALIAN semua bisa membantuku.
Organisasi Siswa Intrasekolah (OSIS). Aku mau tidak mau harus melibatkan mereka dalam acara lomba cerpen. Mereka adalah siswa yang tentunya cekatan dalam mengorganisir suatu kegiatan. Selain itu, ide-ide gila para remaja belasan tahun biasanya lebih fresh. Tapi tetap akulah Sang sutradara. Aku sudah memutuskan bahwa pelaksanaan Lomba tersebut akan dilaksanakan berbarengan dengan Pekan Seni (Pensi) yang dijadwalkan setelah ujian semester nanti. Semuanya sepakat. Sepakat yang mungkin dimotori oleh rasa hormat padaku.
Aku tak ingin salah melangkah. Komunikasi harus tetap jalan. Begitu banyak masalah yang timbul karena tidak adanya komunikasi. Ide dan konsep yang aku gagas harus segera aku utarakan pada pimpinan sekolah. Tapi malam rupanya lebih kuasa menahan tekadku untuk segera mengumbar konsep original yang baru saja aku gagas. Besok saja. Toh, kepala sekolah itu juga takkan kemana. Bukan lagi dosen yang punya proyek sana-sini. Momen tepat yang aku butuhkan.
…………………………………………………………………………
Mentari bersiap naik ke peraduannya. Tapi agak sedikit malu. Perlahan melepas selimut yang menghangatkan dari dinginnya malam. Cahaya kemerahan menyusup masuk ke dalam warna kehitaman yang menghiasi langit. Embun yang beradu dengan kicauan burung pipit membuat panorama indah di kala Fajar menyingsing. Sementara orang-orang masih berlilit di atas kasur.
Aku, bangun pagi sekali. Setelah shalat subuh, aku tak langsung tidur kembali seperti kebiasaan buruk yang sulit ku hindari. Sengaja, Aku duduk di teras perumahan. Udara dingin meresap masuk ke pori-pori. Aku menghirup dan kemudian menghembaskannya. Segar sekali. Sayang, aku baru menyadari keindahan yang disuguhkan Tuhan. Andai aku bisa membangunkan mereka yang masih dimanjakan oleh mimpi itu untuk merasakan pesona alam ini.
Brum, brum… Sebuah sepeda motor melintas tiba-tiba. Melewatiku. Kemudian berhenti di depan warung internet Qta. Biasa saja, tanpa ekspresi dengan helm biasa, ia mengendarai Motor Yamaha ZR. Mungkin Pak Irwan yang baru saja kembali dari masjid, pikirku. Sudah kebiasaan Pak Irwan, shalat berjamaah di mesjid. Aku tak menoleh ke arahnya. Aku pun kembali melakukan meditasi, menghirup udara di Subuh itu. Aku memejamkan mata agar lebih nikmat. Lima menit berlalu. Aku membuka mata.
Aku menoleh ke rumah Pak Irwan. Ia masih disitu, berdiri di depan pintu. Mengetuk pintu sebanyak tiga kali kemudian tak mengetuk lagi.
Pak Irwan, kenapa tidak masuk?, tanyaku pada sosok yang masih mematung di depan pintu warnet yang masih tertutup itu. Aneh juga. Kenapa tidak memiliki kunci rumah.
Ia menoleh ke arahku. Oh bukan, bukan Pak Irwan. Dia orang lain, aku merasa sedikit malu.
“Sepertinya Pak Irwan masih belum buka. Mungkin sebentar lagi”,
Belum buka, kata yang kupilih menggantikan kata belum bangun. Keluarga Pak Irwan bukan pemalas. Baru kali ini mereka telat alias kesiangan. Biasanya tak seperti itu. Tanda-tanda adanya aktivitas dari dalam rumah tersebut jelas belum tampak satu persen pun,
“Oh”, ia kembali membelakangiku. Matanya juga tak klop dengan penglihatanku yang agak kabur disemai kabut pagi.
Sombong sekali pikirku. Bilang terima kasih atau senyum. Komentar sedikit. Aku kembali membuka pembicaraan, memberikan tawaran. Sekedar basa basi yang memang sudah sangat basi.
“Tunggu di sini saja Pak”.
“Iya”
“Di sini saja Pak”, tawaranku agak memaksa
“Iya terima kasih Bu Linda”
Apa? Dia mengenalku. Siapa dia. Dia sama sekali tak familiar. Suaranya meski dengan nada kecil, sama sekali belum pernah menggaung di telingaku. Rasa penasaran pun muncul. Tapi mustahil, aku menanyakan namanya. Aku membuang niatku itu jauh-jauh.
Aku menunggu reaksinya. Eh, dia malah duduk di atas sadel motornya. Memang tak ada bangku di depan warnet tersebut. Setelah bosan menunggunya, aku pun segera masuk tanpa mempedulikan apa reaksi orang asing tersebut terhadap tawaranku. Kurang sopan memang, tapi setimpal lah. Dia juga sepertinya tak begitu menghargai aku dan niat baikku. Toh sekarang, sudah mulai banyak warga kompleks yang mulai beraktivitas. Sudah pagi, mungkin juga Pak Irwan sudah bangun. Jelas mereka kesiangan. Rezeki di patok ayam, tamu mereka terluntah…
Cukup. Udara pagi memberiku semangat untuk segera beraktivitas pagi ini. Agenda pertama. Mandi. Guyuran air yang mengena ke sekujur tubuh. Percikan air dan sedikit busa membasahi lantai. Tak peduli dingin yang mendera karena pelepasan kalor dari tubuh yang telanjang, tanpa busana ini.
Handuk yang menutupi bagian dada hingga lutut itu pun mengena, cepat-cepat aku memilih pakaian yang kurasa cocok. Menarik. Pilihanku jatuh pada kemeja biru. Karena tak mengerti fashion, rok hitam yang dianggap netral itu pun kukhitbahkan sebagai pasangannya. Bukan masalah pemikiran orang tapi nyaman atau tidaknya aku mengenakannya. Pusing amat, amat saja tidak pusing.
Sekejap, aku selesai. Siap berkonsultasi dengan kepala sekolah. Aku telah membuat proposal kegiatan. Semoga disetujui.
Aku memasuki ruang kepala sekolah. Tak ada siapapun di sana. Kulihat jam yang melingkar di tangan kiriku. Jam 06.30. Kepagian. Alam bawah sadarku ternyata membuat aku tak bisa lagi menahan keinginanku. Berargumentasi dengan sejuta kata. Aku pun keluar dan kembali ke ruang guru. Ruang guru memang sudah terbuka. Penjaga sekolah setia setiap hari. Ia menegurku
“Wah Bu Linda, pagi sekali nih”
“Iya, Pak.”
“Kepagian”, sambungku
Setengah jam kemudian. Tepat pukul 07.00.Sebuah mobil Avanza biru memasuki halaman parkir sekolah. Pak Fachruddin turun dari mobil dan memutar membuka pintu mobil sebelahnya. Seorang perempuan yang sepertinya tak asing. Wajah itu sangat familir.Ibu Sartika. Ia datang bersama dengan kepala sekolah baru itu. Arah rumah mereka memang searah.
Tak peduli, yang pasti aku akan segera mendapatkan sanjungan atas kerjaku yang maksimal. Rasa percaya diri adalah modal utamaku. Okey, siap beraksi. Kedatangan Pak Fachruddin dan Bu Sartika diikuti dengan kedatangan penghuni sekolah yang lainnya. Guru dengan sepeda motor berderet mengisi lahan parkir yang semakin sesak oleh kendaraan roda dua tersebut. Memarkir kendaraanya.
Pak Fachruddin dan Bu Sartika berjalan beriringan. Kemudian berpisah di trotoar jalan yang memisahkan ruang guru dan ruang kepala sekolah. Bu Sartika masuk ke ruang guru. Ia meletakkan tasnya kemudian berjalan ke arahku. Ia mengangkat kasus anak kelas XII IPA 1. Flash back.
Aku sama sekali tak tertarik. Tapi untuk menghargainya, aku berpura-pura menjadi pendengar yang baik. Padahal sebaliknya, pikiranku melayang ke ruang kepala sekolah. Menjelaskan konsep yang telah ditemukan.Aku hanya mengiyakan setiap kalimat yang diutarakan oleh mulut perempuan yang berada di hadapanku. Setelah puas, ia pun segera bergeser ke tempatnya kembali.
Syukur, ia tak berlama-lama. Meski aku lega, aku merasa sedikit berdosa. Tak sepantasnya aku membalas kebaikannya dengan sikap seperti itu. Maaf, haturku dalam hati.
Pak fachruddin memberiku kesempatan mendeskripsikan konsep acara yang akan kugurui itu.
“Lomba cerita pendek ini, akan dirangkaiakan dengan kegiatan Pensi. OSIS akan menjadi partner kerja. Adapun konsepnya tak berbeda jauh dengan konsep lomba lainnya. Ada pendaftaran, lomba, seleksi dan terakhir interview.
“Interview, untuk apa?” tanya Pak Fachruddin yang memotong uraian penjelasanku.
“Interview dimaksudkan agar para peserta mampu menjelaskan lebih jauh tentang karyanya. Dengan kata lain, interview dimaksudkan untuk menguji keautentikan suatu karya. Sangat ironi bila pemilik cerita pendek tidak mampu menjelaskan latar belakang, maksud dan aspek lain yang menjadi bagian dari karya originalnya”, jelasku
“Menghindari plagiat ya?”
“Salah satunya Pak. Oh ya ini proposal kegiatannya. Hampir lupa. Bapak bisa melihat konsep kegiatan yang saya maksud tadi”
Pak Fachruddin mengambil proposal yang telah saya jilid rapi. Agak tebal memang sekitar enam belas lembar. Setiap hal yang kuanggap bisa menimbulkan ambiguitas kujelaskan sedetail mungkin. Aku masih berjiwa pemuda. Darahku adalah merah putih, aku harus mampu menunjukkan kekuatan dan kapabilitasku. Aku memang bukan pahlawan yang berjuang dengan bamboo runcing. Aku punya cara lain, berjuang dengan ide dan nalar.
Jantungku berdetak tak biasanya. Detaknya seirama dengan detak jarum jam yang menggantung di dinding. Ia membaca sepintas kemudian membuka halaman-halaman berikutnya. Aku menunggu apa yang akan dikatakannya atas kerja awalku.
“Saya percaya pada Bu Linda. Selamat bekerja”
Tangan kanannya dijulurkan ke arahku.
Segera aku menelungkupkan kedua tangan di dada. Ia mengerti maksudku. Ia kembali menarik tangannya. Ia sama sekali tak tersinggung dengan sikapku. Toleransi, dia mengagungkannya
“Terima kasih Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, ada kelas”, aku menoleh ke arah jam dinding. Pukul 07.20. Jam pertama dimulai pukul 07.30.
“Oh, iya.iya. Silakan Ibu Linda”
Aku mengajar di kelas XII IPA 3. Dua jam pelajaran untuk matematika. Akan berakhir tepat pukul 09.00. Dalam sistem pendidikan, satu jam peljaran setara dengan 45 menit. Jadi dua jam belajar sama dengan dua kali empat puluh lima menit.
Hatiku berbunga dengan ucapan Sang kepala sekolah tadi. Saya percaya pada Bu Linda. Selamat Bekerja. Kalimat itu terus mengiang, berulang. Kalimat itu adalah kalimat apresiatif. Kalimat yang menghargai ideku. Aku tak lagi berkonsentrasi pada tugasku utamaku sebagai seorang guru. Aku hampir lupa.
“Baiklah anak-anak. Kali ini kita akan mempelajari tentang matriks. Tapi sebelumnya Ibu ingin mengetahui sejauh mana pemahaman kalian tentang materi lalu. Volume benda putar dan program linear. Ibu sudah membuka email. Masih banyak diantara kalian yang belum mengirimkan tugas. Terus terang saja, ibu agak kecewa. Kalian itu pemuda yang masih memiliki semangat dan tenaga yang cukup besar. Kalian itu memiliki tanggung jawab yang besar”
Mereka yang kini duduk di hadapanku adalah para pemuda. Mereka harus mengisi kehidupan mereka dengan sebanyak-banyaknya ilmu dan pengalaman. Bukannya bermain dan terus bermain. Aku tak menyalahkan games yang saat ini membanjiri negeri ini. Mulai dari permainan tradisional hingga games modern yang membrudel di telepon gengggam hingga internet. Aku hanya ingin mereka tidak menyia-nyiakan masa muda yang seharusnya diidi dengan belajar
Semua mata tertunduk. Merasa agak salah. Hanya sepasang mata itu menyorot ke arahku. Tajam. Hermanto Saputra rupanya mengikuti kelasku hari ini. Aku menyadarinya. Aku tak akan membuka kekurangajarannya padaku melalui email itu. Kubiarkan. Setidaknya ia sudah masuk ke kelasku. Aku merasa gila rasa. Padahal mungkin saja di hadir ke sekolah untuk memperbaiki citranya, terlebih menjaga image Sang ayah.





LOMBA CERPEN Plus+ 7
Hari itu pun tiba. Semua bergembira. Siswa yang kini didera hedon sindrom pun tak kalah girangnya. Terlepas dari rutinitas proses belajar mengajar. Oh ya, buatku hari ini adalah dimana kepiawaianku akan diuji. Hari aktualisasi diri.
Para organisatoris sekolah telah berkumpul. Ketua OSIS mengarahkan para anggotanya. Sesuai instruksinya, para anggota OSIS memulai perannya masing-masing. Sekolah telah disulap dengan hadirnya panggung yang telah disetting dengan dekorasi indah. Penuh warna, kreasi para siswaku. Bangga, rasanya melihat adikarya mereka.
Sesuai rencana, pentas seni berbarengan dengan kegiatan lomba cerpen. Agar semua siswa memiliki kesempatan untuk mengikuti lomba cerpen, sengaja Lomba cerpen digeser sampai selesainya agenda lomba pensi hari ini. Untuk Pentas seni sendiri, diadakan lomba Mirip Tokoh. Lomba tersebut akan menampilkan aksi para siswa yang merasa memiliki kemiripan dengan seorang tokoh. Tokoh mulai dari negarawan, agamawan hingga selebriti. Tak terbatas. Tokoh mereka bisa dari mana saja, syaratnya hanya satu. POPULER. Lomba cerita pendek sendiri telah membuka pendaftaran sejak sebulan yang lalu. Pendaftaran akan ditutup pada jam 12 siang. Bertepatan dengan lomba dalam pensi tersebut. Hari ini memang adalah hari Jum’at. Waktu akan terpotong untuk menghargai ibadah kaum pria umat muslim.
Meski waktunya singkat, siswa sangat antusias. Mereka penuh semangat. Teriakan membuncah. Dukungan mengalir pada masing-masing kandidat. Berbeda sekali ketika berada di ruang kelas. Bagai terbungkam seribu bahasa. Dasar remaja…
Aku bahkan sempat jadi salah seorang juri di lomba mirip tokoh. Alasannya, aku adalah pemuda yang dianggap mengikuti trend. Pasti mengenal banyak tokoh. Kasihan kan, kalau tokoh yang diperankan tak dikenal oleh juri. Sia-sia kan. Aku pun tak bisa menolak pasalnya tak ada juri cadangan lagi. Lucu dan gemas, aku melihat aksi para peserta.
Semua berlaga di atas panggung. Menganggap diri yang paling mirip dengan tokoh yang diperankannya. Ada yang mirip Pak Harto. Untuk lebih meyakinkan dipasangnya peci hitam khas mantan rang nomor satu orde baru tersebut. Plus pidato kenegaraannya. Ada juga yang mengaku mirip Tukul Arwana, pelawak yang kini banyak menjadi host di berbagai acara. Dengan celutukan dan joke-nya ia beraksi di atas panggung. Tak mau kalah, ada yang mirip dengan Gusdur. Peci dan kacamata serta dialek Bapak Demokrasi ini pun mendapat banyak fans.
Goyang gergaji penyanyi dangdut Dewi Persik pun tak luput dari sorotan para peserta. Untuk yang satu ini, aku kurang suka. Peserta perempuan ini bahkan sampai mempraktikan goyangan yang kuanggap cukup erotis. Bukan Eksotis.
Setelah semua peserta menampilkan aksi dan tokoh yang diperankannya. Saatnya pengumuman juara. Sebagai pemenang pertama, tokoh Barack Obama menjadi juara. Disusul tokoh Gusdur dan Habibie yang masing-masing menjadi juara dua dan tiga.
Pukul 12.00 tepat. Matahari naik. Cukup terik. Acara dihentikan sesaat. Para siwa laki-laki yang berentitas muslim menuju mushallah sekolah. Pak Irwan mengimani para siswa. Mereka sujud dalam ibadah.
Sesuai rencana lomba cerpen akan dimulai pukul 14.00. Bacaan awamnya, pukul dua siang. Ada sekat dua jam untuk mematangkan acara. Kali ini sesuai agenda, para peserta yang telah mendaftar hanya akan berlomba menulis cerpen di ruangan yang telah disiapkan panitia kegiatan. Tema cerpen, sengaja dirahasiakan. Hanya aku dan peserta yang akan tahu. Kerahasiaan tema yang aku jamin tak akan diketahui oleh siapaun karena memang sengaja tak kutuliskan ke dalam kertas manapun.
Besok pagi aku dan beberapa juri akan menyeleksi cerpen tersebut. Lima cerpen yang terpilih akan diumumkan di akhir acara pensi. Selanjutnya, pemilik cerpen akan melalui tahap interview yang tetap disaksikan oleh seluruh pengunjung sekolah. Tapi sehari kemudian. Disinilah, inti dari kegiatan lomba ini. Pemilik cerpen tidak hanya berargumentasi secara skriptualis tapi juga secara lisan.
Dua jam bagiku terasa sangat lama. Ingin segera kuputar jam jarum pada jam dinding. Pihak sponsor pun belum juga muncul. Apakah mereka tak percaya padaku? Aku pun meyakinkan hati.
Seorang siswa yang mengenakan kaos hijau dan kartu panitia yang menggantung di leher menghampiriku. Baju kaos yang bertuliskan Panitia Lomba Cerpen tersebut mengisyaratkan sumbangan pihak sponsor dalam acara ini. Ia menyerahkan kaos yang juga berwarna hijau. Dari sponsor katanya. Segera kuganti kostum. Pas, kain kaos itu juga tak murahan seperti kaos hadiah cat yang umumnya sangat tipis dengan mutu rendahan lainnya. Rupanya, mereka datang juga. Segera aku mengganti kostum. Kali ini aku tampak lebih sporti.
Kertas yang berisi daftar peserta telah terpasang pada dinding tiap kelas. Ada empat ruangan yang dipakai. Jumalah peserta sekitar delapan puluh siswa. Banyak juga. Wajar saja, hadiah yang dijanjikan sponsor adalah beasiswa senilai dua juta rupiah. Tapi kuharap mereka tak hanya tergiur pada hadiah tersebut tapi bagaimana mereka bisa meningkatkan kemampuan dalam merangkai kata, prase, kalimat, paragraph hingga menjadi sebuah cerita yang utuh. Hadiah harus berada pada urutan kesekian dari acara ini.
Semua panitia lomba telah siap. Sebagian panitia yang juga merangkap sebagai panitia pensi tadi jelas tampak lelah. Apalagi, ketua OSIS. Kalau dibilang ia tak henti-hentinya membangun koordinasi dengan teamnya. Bukan pekerjaan mudah. Ada sedikit keluh dan kritik dari pengunjung pensi dan lomba. Tapi menurutku, ketua OSIS itu cukup tangguh. Tak usah menoleh ke arah mereka yang hanya bisa berceloteh tanpa memberikan solusi. Mereka akan semakin merasa di atas bila kita menyerah. Teruslah bergerak. Jangan berlari bila anjing menggonggong sebab ia akan menggigitmu kawan, pepatah bijak yang masih aku pegang hingga detik ini. Meladeni kata-kata dengan kata-kata akan berakhir pada perdebatan panjang yang tak berujung.
Tepat pukul dua siang. Aku dan segenap jajaran kepanitiaan semakin memantapkan diri. Semua peserta memasuki ruangan masing-masing. Bel sekolah yang dibunyikan sebagai tanda dimulainya adu imajinasi tersebut.
Tema Lomba cerpen adalah Menatap Dunia Lewat Jendela Sekolah. Semua peserta lomba harus mampu menulis cerita dengan tema yang telah diusung tersebut. Tak boleh lengser walau sedikit.
Lomba dimulai. Tangan-tangan itu mulai mengukir kisah di atas lembar kertas yang telah diberi stempel. Ada yang ragu namun ada juga yang begitu mantap. Pertarungan ide begitu nyata. Inilah tahap pertama.
Dia, Hermanto Saputra duduk di bangku paling depan di sebuah ruang lomba. Terkejut, ketika aku memasuki ruang itu. Apa yang akan dia tulis. Bisakah ia menulis. Aku ragu dan sangsi 99 persen. Di sebelahnya ada Anna. Siswi favorit para guru dan juga sebagian siswa. Kepala sekolah dan pihak sponsor acara datang mensurvey pelaksanaan. Beragam reaksi muncul dari peserta yang kehadiran peyelenggara acara. Ada yang bergetar. Ada yang keringat dingin hingga membasahi kertas lombanya. Bahkan ada juga yang sampai saat ini belum menuliskan satu huruf pun. Ada-ada saja.
Hanya Hermanto Saputra yang tak terusik oleh kedatangan aku, ayah dan pihak sponsor. Ia nyaris tak pernah menoleh hingga kami meninggalkan ruang itu. Ia terus menulis, menulis dan menulis. Baru kali ini aku melihatnya begitu serius. Ia pun sama sekali tak menyambar makanan dos seperti peserta lainnya. Makanan dos yang berisi teh kotak dan kue lapis. Pihak sponsor begitu mengerti prinsip Logika tanpa logistik sama dengan nol. Memang otak perlu nutrisi.
Lomba berakhir. Dua jam telam berlalu. Panitia mengumpulkan kertas yang berisi serangkaian kisah dan cerita itu. Ada yang penuh, setengah penuh, hinnga ada yang menambahkan kertas lain karena over tulisan. Untuk yang over kisah, harus difikirkan apakah akan didiskualifikasi atau tidak. Perlu pertimbangan.
Tumpukan kertas hasil lomba berada di tanganku. Kini kedua mata berkonsentrasi menjelajahi cerpen para peserta. Aku dan dua juri lainnya. Pak Irwan dan Bu Sartika berada pada suatu ruangan. Terpilih lima cerpen yang akan melalui tahap berikutnya.
Seolah tak percaya, cerpen karya Hermanto Saputra kian menukik tajam diantara cerpen yang ada. Judulnya menarik Kisah dalam Dunia Kotak-Kotak. Namun apa yang ditulisnya, harus bisa dipertanggungjawabkan.
Kisah dalam Dunia Kotak-Kotak
Matahari mulai memercikkan sinarnya pada bumi yang telah dilanda kegelapan malam. Bumi dan segenap penghuni yang berpijak padanya. Sedikit traumatis, ampas yang tertinggal oleh kegelapan malam. Malam, yang membuat mereka hanya bisa menikmati kepekatan dan gelapnya hitam. Tanpa warna. Walau awalnya agak malu-malu, matahari terus bergerak naik. Naik, hingga berada di puncak.
Radiasi cahaya itu, membuat para makhluk penghuni buana dapat merasakan beda terang dan gelap. Menikmati pesona aneka warna. Merah,jingga, kuning hingga ungu. Sinar tampak yang dapat diterima secara visual oleh mata-mata itu. Keindahan yang tak bisa ditakar dengan apapun juga. Akhirnya mereka, para makhluk yang ditakdirkan bertulang lidah itu pun tak sungkan mengujarkan sejuta terima kasih. Bukan sekali tapi berulang kali. Sang surya, mereka menyebutnya. Angkuh pun tak terhindarkan. Puja dan puji yang terus dihaturkan membuat Matahari pun congkak akan keberadaaannya. Rasa sombong yang meruah.
Tak seorang pun tahu tentang rahasia alam itu. Manusia, serigala bahkan lumut pun tak ada yang tahu tentang siapa pahlawan ke-siang-an mereka itu. Dia,hanyalah bintang yang terpaksa melemparkan bola-bola panasnya ke bumi. Tak lebih. Satu tujuan, untuk mereduksi panas yang bisa saja membuatnya meledak. Hancur oleh energy ekstra yang ada pada dirinya. Dia, dan juga mereka tak ada yang tahu. Alasannya satu, tabir. Jarak yang jauh membentang antar kedua materi tersebut. Selama ini tak seorang pun berani menengokkan dan mendongakkan kepalanya ke arah Tuhan sesembahan mereka. Identitas pun tak terkuak.
Mentari sebenarnya sadar akan eksistensinya. Ia tak ada apa-apanya. Ia pun tak sebesar dan sekuat seperti pikiran para makhluk itu. Kontrasnya, ia begitu kerdil. Ia juga bukanlah penyelamat tapi penebar kebohongan yang menyeruak. Langit, bisa saja jadi saksi. Tapi sayang, tak seorang pun yang mau mendengarkannya. Bahkan langit yang menjulang tinggi itu tak mampu menyadarkan para penghuni kampong Boemi yang telah basah kuyup. Basah oleh tangisan langit yang merintih.
Langit ingin sekali meruntuhkan diri yang akan membuat matahari itu musnah. Tapi rasa iba pada makluk lemah itu mengalahkan niat. Akhirnya, keinginannya pun sekedar jadi polemik.
Detik, menit, jam berkumpul menjadi hari. Hari berganti menjadi minggu, bulan dan seterusnya hingga menjadi tahun. Namun, wajah bumi juga belum berubah. Kebodohanlah yang menyebabkan seluruh penghuni negeri Bumi menjadi budak Sang mentari. Budak dari leluhur hingga keturunannya. Lalu Pantaskah mentari disalahkan? Tidak. Justru sebaliknya, merekalah yang kurang pintar, kalau tak ingin disebut tolol. “Biarkan makhluk bumi itu terus menyembahku” Pikir matahari yang kala itu terbuai oleh para fans fanatiknya, the Sun holik.
Sang mentari pun berupaya menutup rapat-rapat rahasia alam itu. Rahasia itu tak boleh terkuak. Kelemahan yang harus ditutupi dengan stigma positif tentangnya. Matahari dengan pancaran sinarnya pun semakin menggila. Gila pujian dari para makhluk. Saking gilanya, Ia berniat menggeser posisi sakral Tuhan. Tuhan yang telah menciptakannya. Dengan retorisnya, matahari berbangga dengan mengulas kebaikan-kebaikannya.
“Kamilah yang menghidupkan suku tanaman, dimana ras hewan dan kingdom manusia mendapatkan energy untuk bertahan hidup. Kamilah Mata Hari. Mata yang melihat kebutuhan kalian di sepanjang Hari”
Decak kagum pun menggema dari seluruh ruang.
Dunia kotak-kotak. Para penghuni bumi pun lupa pada Tuhannya. Lupa pada dunianya. Esensi kehidupan mereka sendiri. Mereka bekerja hanya pada aturan yang telah dibuat oleh matahari. Mereka tak boleh berbelok, tetap mengikuti etape yang telah ditentukan Sang Raja Siang. Karma bila melanggar, katanya. Alhasil, pikiran pun ter-setting sesuai dengan fiksi Sang mentari. Dunia para makhluk pun semakin kaku, penuh kisah tahayyul. Aturan kotak-kotak yang terus berkiblat pada matahari. Dia mendikte kehidupan seluruh manusia dalam kotak-kotak. Kotak dengan kemasan yang cukup menarik. Menggurui kehidupan dengan teori kalor yang kompleks.
Seolah terbuai oleh untaian pujian dari para penggila matahari, matahari sepertinya mulai lupa pada gradasi. Pancarannya semakin melemah seiring dengan perputaran waktu. Tak lagi kuat tapi mulai rapuh. Ia lupa, ia tak kekal. Malam. Belum, baru petang yang ambil bagian. ia langsung bertekuk lutut pada adik malam. Petang menggilasnya. Lalu dimana para pemujanya? Semua pemuja dirinya telah pergi. Cukup, ia mengukuhkan dirinya.
Seorang anak berusia empat tahun tertawa cekikikan di atas ayunan di sebuah Taman Kanak-Kanak. Ia ceria dan tak kunjung pulang ke rumah. Ia asyik menikmati sepotong peristiwa alam. Mentari itu tenggelam juga. Sinarnya padam. Sementara ayah dan ibunya menangisi teori klasik yang telah runtuh, usang oleh pusaran waktu.
Cerita pendek yang hanya tiga lembar ini menurutku bukanlah pikiran seorang siswa berusia tujuh belas tahun. Ini adalah sebuah cerita pendek hasil perenungan para bijak. Aku malu sejadi-jadinya, meragukan kemampuan siswaku sendiri. Anna yang kujagokan ternyata tak ada apa-apanya. Cerpennya sangat hambar. Tanpa karakter. Kurasa, keahliannya bukan dalam bidang sastra.
Jujur, kedua juri yang tadi juga ikut membaca cerpen ini pun kagum. Mereka sangat kaget. Ia lihai memainkan kata, bakat yang sepertinya terpendam. Lomba menulis cerpen ini memang kubuat penuh kejutan. Lima cerita pendek hasil seleksi telah aku buat rangkapnya. Copiannya selanjutnya dipajang di majalah dinding. Tak jauh dari panggung pentas seni. Di situ juga diumumkan schedule pelaksanaan interview cerpen. Lomba cerpen plus-plus, kata sebagian siswa. Secara personal, ini adalah pengakuan tidak langsung padaku. Jadi sombong nih.
Kini tiba juga gilirannya. Hermanto dicecar dengan pertanyaan seputar cerpennya. Pak Irwan, yang juga pembina seni di sekolah ini menguji penalarannya. Tentunya dari segi seni. Sebelumnya, para peserta lainnya telah unjuk aksi. Beradu vocal dengan para juri.
“Menurut Anda, apa yang menarik dari cerita pendek Anda?”
Hermanto diam sejenak. Semua menunggu jawabannya.
“Sebuah cerita yang telah terekspos keluar tentunya diinterpretasikan secara berbeda oleh setiap pembaca. Menarik atau tidaknya sebuah cerita sangat tergantung dari apa yang ditangkap oleh mata pembaca. Apresiasi, itulah yang menurut saya menjadi tingkat ketertarikan pada sebuah karya”
Tak ada ucapan terima kasih di awal atau pun di akhir jawaban. Ia tak suka bertele-tele. Panelis kedua, Bu Sartika. Ia bertanya seputar pendapatnya tentang matahari sebagai tokoh utama dalam cerita pendek tersebut.
“Langsung saja. Apa keterkaitan antara tema lomba dengan matahari yang menjadi tokoh utama dalam cerita Anda?”, tanyanya menguji
“Tema Menatap Dunia Lewat Jendela Sekolah membuat saya berfikir untuk melihat keluar. Jauh di sana. Matahari, ia mengangkuh, merasa diri paling besar dan kuat. Begitu banyak manusia yang selalu mengekang manusia lemah lainnya. ”
“Maksud kamu guru”, nadanya mengejar.
“ Mungkin juga. Seperti itulah yang saya tangkap”
“Keangkuahan apa yang kamu maksud?”
“Jelas sekali. Guru selalu mendikte, mencatut para siswanya untuk mengikuti apa yang para guru inginkan. Padahal, para siswa memiliki blue-print sendiri. Parahnya lagi, mereka ingin disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Sekali lagi pahlawan tanpa tanda Jasa. Padahal tak sedikit diantara mereka yang bermental dagang. Menjual buku dengan keuntungan berlebih. Memaksakan les pada siswa. Plus baanyak guru yang mulai bermain proyek.”
Semua terkuak. Suara Herman saputra yang lantang terdengar jelas melalui microphone. Semuanya tak bisa menepis. Semua adalah fakta. Kini giliranku bertanya.
“Terima kasih semuanya dan Selamat Siang Hermanto Saputra. Pertanyaan saya singkat saja. Apa harapan kamu dari cerpen yang berjudul Kisah dalam Dunia Kotak-Kotak ini?”
“Sederhana saja. Semua orang bisa bersikap dan berfikir secara rasional. memiliki perspektif yang proporsional pada seorang guru. Tak perlu dianggap dewa atau pun Tuhan. Karena pada hakekatnya guru tetaplah manusia biasa. Yang bisa saja hebat, tapi juga bisa salah.”
Jawabannya yang eksplisit atau tidak bertele-tele membuat aku mengerti. Ku tahu dimana arah email yang dikirimkannya dulu. Semua bangga padanya. Di penghujung acara, cerita pendek Kisah dalam Dunia Kotak-Kotak pun keluar sebagai pemenang dan berhak atas uang tunai dua juta rupiah. Pak Fachruddin, mendapatkan ucapan selamat atas kesuksesan putranya itu. Selebrasi yang sudah membudaya.
Diam-diam, penampilan Hermanto Saputra Fachruddin mencuri perhatian seluruh gadis berseragam putih abu-abu di tempat itu. Anna pun hanya melirik. Mengakui kelebihan manusia lainnya.













gRadasi Cinta 8
“Hello, selamat siang dan salam kaula muda Makassar
Buat para pendengar selamat bergabung di Radio VX 202 FM. Radio VX, radio inspirasi buat cita dan cinta.
Iya, kali ini edisi 22 Januari, saya Aurel akan menemani siang Anda selama dua jam ke depan dalam Kontak Cinta, sebuah program dimana Anda bisa say love or sharing tentang kisah kasih dan kasus asmara. Problem cinta, Kontak cinta solusinya. Wow, cinta, hal yang tak bisa ditebak, unik, dan bla bla bla… ,……………
Penyiar radio itu terus melakukan promosi program acara yang dipandunya. Artikulasi khas Barat menjadi modal utama penyiar radio saat ini. Meramu kata jadi andalan.
Anna menikmati siaran audio itu melalui Handphone multimedia. Headset menyumbat kedua telinganya. Kali ini, ia mencoba suasana lain. Membaca sambil mendengarkan broadcast radio. Hari ini tak ada Pekerjaan Rumah. Badannya ia telungkupkan di atas springbed pink yang senantiasa mengeper badannya. Santai.
“Hallo, kontak Cinta”, suara tersambung pada koneksi radio
“Hallo juga. Welcome to Radio VX, ispirasi cita dan cinta. Dengan siapa dan dari mana?”, tanya Aurel manja
“Aku Halim di Jalan Taman Makam Pahlawan”
“TMP, seram dong..Okey, Halim, please say your love”
“Thanks Aurel. Aku mau bilang kalau aku suka sama seorang gadis. Aku sudah menyampaikan isi hatiku kepadanya tapi dia menolakku. Alasannya sepele, aku lebih muda dari padanya. Aku masih SMA kelas dua dan dia sudah kuliah semester akhir. Miss lover, bantu solusinya ya”
“Ow, ow Brondong nih. Halim, kamu sedang mengalami masalah cinta klasik. Usia, masalah utama kamu. Tapi, jangan khawatir, kasus kamu low level kok. Usia biasanya dikaitkan dengan tingkat kedewasaan seseorang. Begitulah pikiran para awam. Untuk meruntuhkan teori ini salah satu caranya adalah bersikap dan bersifatlah secara dewasa. Tunjukkan bahwa cinta tidak ditakar pada umur. Ok Halim selamat mencoba ya ”, Aurel memberi solusi kilat.
Anna, semakin semakin asyik mendengarkan program Kontak Cinta. Bagai magnet, ia tertarik oleh alunan suara Dewi Cinta Aurel, nama siaran dari penyiar professional itu. Dari studio, aurel terus berbagi tips dan trik cinta bagi mereka yang mengalami gap dalam kisah asmara. Di akhir program Aurel terus menggila, terkesan agak gatal bagai ubur-ubur. Aurella memang ubur-ubur.
“Wau, waktu akhirnya harus mengusaikan perjumpaan kita. Terima kasih atas atensi Anda. Tetap semangat dan jaga cinta Anda. Akhir kata, aurel pamit dari ruang audio Anda..Good dye…”
Berakhirnya program tersebut membuat Anna segera mendisconnect media radio. Headset pun segera dicopot. Dalam hati, Anna jujur ingin mengeluhkan nasibnya yang hingga kini, menginjak usia 17 tahun belum memiliki teman dekat. Malu, mengalahkan niat itu. Curhat, akh hal yang tak mungkin dilakukannya. Tak seorang pun yang bisa ia percaya. Semuanya ember, BOCOR. Kontak Cinta, no way…
Diam-diam, sosok Hermanto Saputra menyelinap di benaknya. Teman satu kelasnya itu tampak gagah di atas podium ketika menyampaikan opini di Lomba Cerpen Plus+. Ia begitu menawan, cerdas, berani dan semua itu menggugurkan hal buruk yang pernah dilakukannya. Ia bagai makhluk yang mengalami mutasi. Inikah dirinya yang sesungguhnya? Pikiran ini terlalu jauh, Anna menutup khayalnya. Cukup.
Tanpa pengharapan, seseorang mengontak telepon selularnya. Mama.
Mama mengabarkan keberadaannya yang tak bisa pulang ke rumah karena ada keperluan di luar.
“Anna, mama tidak pulang ke rumah. Kamu beli makan di luar saja”
Suara itu mengalun dengan nada agak sedih. Kedengarannya seperti isak tangis. Dibiarkannya saja berlalu hingga sambungan telepon tersebut putus. Mama adalah orang yang tegar. Masalah bisa dia selesaikan sendiri. Wonder woman.
Sementara dalam perumahan kompleks guru, aku mendendangkan lagu-lagu terkini. Handphone yang baru kubeli memiliki aplikasi mp3. Full music. Telepon genggam jaman dulu yang telah menemaniku selama kurang lebih sepuluh tahun terpaksa kupensiunkan. Termakan usia dia.
Aku merefleksi setiap kegiatan yang telah kulakukan. Harapan dan cita-cita sudah banyak yang kugapai rupanya. Target masalalu, menguruskan badan hingga ideal, memiliki tabungan masa depan hingga target terbesar menjadi seorang guru telah aku capai. Syukur pun mengalun dari lafazku. Kalimat hamdalah.
Dalam perenungan itu, aku masih menganggap bahwa aku belumlah sempurna. Aku belum jadi apa-apa. Aku memang sediki sukses dalam karier keguruan tapi sebagai seorang anak, bagaimana. Ibu, bagaimana kabarmu. Perlahan rasa rindu merasuk dalam relung jiwaku. Tak ada waktuku tuk bersama dengannya. Ibu, rindukan Linda, anakmu.
Sebuah cerita pendek tentang pohon dan seorang anak menemani siangku.
Alkisah di atas sebuah lahan, tumbulah sebuah pohon, pohon yang sangat rindang dengan batang kokoh yang menjulang tinggi. Seorang bocah berusia kira-kira lima tahunan acap kali memanjat pohon dan menikmati manisnya buah. Anak itu sangat senang bermain di bawah pohon ini. Teduh, rasanya. Ia akan terlindung dari terik matahari yang dapat membakar kulitnya yang halus. Ketika turun hujan, Sang anak pun berteduh di bawahnya bersembunyi dari rintik-rintik air.
Sang Pohon sangat senang ketika sang anak bisa bermain bersamanya. Maklum, ia adalah satu-satunya pohon di sana. Setiap permohonan anak itu selalu diturutinya. Dimanjakannya. Ia selalu menjatuhkan buahnya yang segar pada sang anak. Daun-daunnya akan digugurkannya agar sang anak dapat bermain sepuasnya. Senang sekali melihat Sang anak menumbuk daun hijaunya. Batang pohon pun rela menjadi alas ketika sang anak berniat memanjat naik ke atas. Bersedia jadi tempat persembunyiannya, ketika sang bocah mengajak teman-teman sebayanya bermain petak umpet.
Hari berganti minggu. Minggu berkumpul menjadi bulan. Begitupun, bulan tanggal dan akhirnya terhitung tahun. Sang anak perlahan tumbuh dewasa. Begitupun,usia pohon semakin menua. tak lagi sekokoh yang dulu. Daun-daunnya tak lebat lagi, buahnya sudah tak banyak lagi. Sang anak kini mulai jarang berkunjung padanya,apalagi untuk bermain dengannya. Katanya, sudah sangat sibuk. Pohon mengerti keadaannya. Namun ia tak bisa bohong kalau ia sangat rindu. Rindu pada Sang bocah yang sudah beranjak menjadi lelaki dewasa itu. Dimohonnya pada Tuhan. Terkabul, sang anak datang dengan langkah pelan. Pohon segera menyapa hangat.
“Kau kenapa? Ada yang bisa aku bantu”, pohon menawarkan senyum merekah
“Pohon, aku jatuh cinta. Tapi aku tak bisa mengejar cintaku karena aku tak punya apa-apa. Aku tak punya sesuatu yang bisa kuberikan padanya”, sang anak mengeluhkan kisahnya.
Sang Pohon menikmati cerita sang anak. Sedih. Ia pun menawarkan solusi.
“Ambillah sisa buah yang masih menggelantung. Jual dan berikan padanya. Mudah-mudahan engkau akan mendapatkan cinta darinya, tunasku”. Pohonitu, sudah menganggapnya sebagai tunas. Bagian dari kehidupannya sebagai tumbuhan.
Segera anak itu menggoyangkan pohon agar buah-buahnya terjatuh. Didorongnya batang pohon yang sudah rapuh itu sekencang-kencangnya. Beberapa ranting dan daun ikut jatuh ke tanah. Ia pun mengujarkan terima kasih dan langsung beranjak pergi. Tak lagi bermain seperti dulu. Namun, pohon merasa bahagia melihat anak itu terlepas dari masalah yang dihadapinya. Melihatnya kembali.
Sayang, setelah pertemuan itu, anak itu tak muncul-muncul lagi. Pohon yang semakin rapuh dimakan oleh usia. Ingin sekali menatap wajah Sang anak. Bagaimana kabarnya dia? Kabar yang dibawa oleh angin menyebutkan Sang anak telah berhasil meraih cintanya. Ia sekarang sudah berkeluarga.
Tiba-tiba saja, seorang lelaki dengan sebilah parang yang berasah tajam di tangannya berjalan mendekati pohon.Semakin mendekat. Pohon merasa ketakutan. Ia tak mengenal siapa sosok yang akan melintasinya.
“Siapa dia? Tuhan, jangan kau matikan aku. Aku belum bertemu dengan tunasku”
Ternyata Sang pohon mengira, ia adalah penebang pohon, yang akan mengakhiri riwayatnya.
“Pohon”,
Suara lelaki itu menggoyahkan hatinya yang terlanjur dibumbuhi oleh gundah dan rasa takut. Ia, ia, ia
“Tunasku, engkaukah itu”
“Iya pohon”
Dialog pun berlanjut
“Tunasku, kau kini tambah dewasa. Tampan kau. Aku sampai-sampai tak bisa mengenalmu lagi. Apa kabarmu?”
“Pohon, aku mau minta sesuatu”
“Tunasku, aku tak punya apa-apa lagi, buahku sudah habis. Lihatlah tubuhku ini. Sebentar lagi akan…”
“Pohon, tolonglah aku”, pintanya memelas pada pohon
“Jangan bersedih tunasku, ceritakanlah masalahmu!”
“Pohon tahu kan kalau aku sudah berkeluarga. Punya istri dan seorang anak”
“Tentu saja”
“Kami belum memiliki rumah. Aku, Istri, dan putraku sangat kepanasan saat matahari naik dan ketika malam datang, kami pun menggigil kedinginan. Istri dan anakku pohon, mereka tak tahan dengan kondisi seperti ini. Mereka akan meninggalkan aku sendiri bila aku tak bisa mendapatkan tempat berteduh”
Pohon angkat bicara, memotong cerita Sang lelaki.
“Berteduhlah di sini, meski tak begitu rindang tapi aku bisa menaungi kalian”
“Tetap saja pohon. kami butuh rumah bukan pohon untuk berteduh. Pohon, tolonglah aku! kasihanilah aku!”
“Lalu apa maumu tunasku? Apakah kau menginginkan aku jadi rumahmu?”, pohon mengerti maksud dan arah pembicaraan bocah dewasanya itu.
Lelaki itu menganggukkan kepala yang dibalut dengan topi hitam. Segera, dihantamkannya parang itu ke arah pohon. Tepat di batangnya. Seketika pohon itu roboh dengan patahan-patahannya. Asa bocah itu tergapai dengan kematian pohon.
Pohon, kasihan kau
Analisis cerita. Aku mengakhiri bacaanku. Bacaan yang selayakya dikonsumsi oleh anak kecil. Apa yang aku dapatkan dari cerita ini. Nilai yang kudefinisikan secara subjektif dengan kacamata pembaca. Tiba-tiba udara panas yang masuk dari luar rumah mengusikku. Ibu, apa kabarmu hari ini???
……………………………………………………………………………………....
Kembali ke Anna. Sore menjelang. Seorang tamu datang. Dibukanya pintu rumahnya. Seorang remaja laki-laki berjalan santai.
“Hai, selamat sore”
“ss so, re”, Anna tampak gugup
“Boleh masuk?”
“Iya tentu” , stop bervokal lalu dengan agak tersipu malu ia melanjutkan obrolan
“masuklah!”
Jantung Anna berdegup kencang. Hatinya dilanda rasa aneh yang tak biasa. Bahkan luar biasa. Panah dewa cinta mengena tepat di hatinya. Sosok yang berada di sampingnya begitu menarik perhatiannya. Bagai magnet saja. Pandangan. Kedua mata itu pun sempat berpapasan namun segera dialihkan. Sungguh pesonanya indah Tuhan. Decak keduanya. Hermanto sedikit melirik ke arah Anna ketika Anna bercuap-cuap menyambutnya. Sebaliknya, Anna mencuri-curi kesempatan untuk memandangi idola hatinya. Kedua remaja ini pun saling mengagumi. Tak terbantahkan lagi, kasmaran.
Hermanto Saputra menjelaskan maksud kedatangannya ke rumah itu. Ingin bertemu dengan Bu Sartika. Ia berbicara lantang tapi dengan sangat sopan, bukan seperti seorang kawan satu sekolahan. Lebih jauh lagi rekan satu kelas.
“Anna”
Vokal Hermanto semakin menumpahkan rasa pada hati gadis yang ada di hadapannya itu. Namanya disebut dengan pelan seakan penuh kasih. Tuhan tolong kami. Kasih itu meluap,..
“Bu Sartikanya ada?”
Ia menoleh pada Anna yang tampil biasa. Baju kaos oblong putih dan celana pendek selutut membalut tubuhnya yang tinggi kurus.
“Duduk dululah”, Anna masuk ke dalam
Ia mengingatkan Hermanto yang kedatangannya baru sekitar lima menitan. Terlalu cepat masuk inti pembicaraan. Tak ada intermesso. Hermanto sadar. Ia segera duduk manis di atas sofa hijau. Dilepasnya sweater kulit berwarna hitam dan ia sandarkan pada badan sofa. Namun Matanya liar menjelajahi ruangan itu. Foto-foto Anna dan keluarga terpajang anggun di atas almari kecil yang menempel di dinding. Ia pun mendekat, tak puas. Lebih dekat lebih baik. Kini ia bisa puas menatap wajah gadis itu tanpa ragu. Wajah pada medium kertas itu takkan menolak. Di samping foto itu, berderet piagam dan piala penghargaan. Apresiasi terhadap kapabilitas seorang Anna yang tak diragukan oleh dunia akademik.
“Mau minum apa?”, teriak Anna dari dalam
“Terserah, apa saja deh An”
“Okey”, jawab Anna manja
Hermanto merasa asing. Suara itu bukan Anna yang ia kenal di sekolah. Bisa juga ia bersikap santai. Tak kaku rupanya karakter seorang Anna Chaerunnisa. Ia baik dan ramah, seindah namanya. Inikah dia yang asli. Berkepribadian ganda. Ataukah dialah yang justru tidak mengenal Anna lebih dalam.
Di dapur, Anna asyik meramu minuman yang akan diberikan pada tamunaya. Adukan sendok yang mengenai dinding gelas kaca yang berisi air dingin terdengar agak ribut sekitar 20 desibel. Sirup orange dituang ke dalam gelas. Bongkahan es, kemudian tercelup masuk. Dinding luar gelas mulai basah. Minuman pun siap dihidangkan.
Ia melangkah ke luar. Kedua tangannya menggenggam leher gelas. Ia tak menemukan loyan. Sedang Hermanto masih asyik menikmati pesona Anna pada kertas berbingkai itu.
“wah, foto jelek kok diliat trus sih”
“Anna. Wah makasih ya”,spontan ia melihat gelas yang berisi minuman rasa jeruk berdiri di atas meja kaca.
“Oh ya Ibu, lagi tidak di rumah. Tadi siang menelpon sih. Katanya ada urusan di luar”
“ooo”, Hermanto mengiyakan
“Memangnya, kamu mau apa? Ada tugas sekolah ya?
“Ya, gitu deh”
Hermanto balik menatap Anna dengan tajam. Agak lama. Anna tak bisa menghindar. Mata itu menyorot penuh rasa.
“Berhentilah, dan katakana sesuatu!!”, harap Anna dalam hati. Menggema.
Ditahannya pandangan itu tapi kalah, Taklid. Anna menyerah pada sorot mata itu. Ia jatuh hati. Jatuh, kondisi yang tak ideal alias tak terduga. Hatinya terporsir dengan sosok Pria dewasa, bukan Hermanto Saputra yang dikenalnya. Untunglah, kata dan kalimat puji yang menggebu di dada tak terucap pada sosok itu.
Setelah meneguk minuman yang melegakan dahaga yang didera karena radiasi panas yang mengguyur bumi di siang itu, Hermanto pamit pulang. Di akhir jumpanya, mereka sempat saling tukar nomor telepon. Aneh memang sudah satu setengah tahun belajar di kelas yang sama namun belum juga memiliki nomor kontak. Pantaslah, Anna kutu buku dan Hermanto super cuek. Tapi kini semua telah berubah. Mereka berhubungan intim. Semakin dekat. Benci dan cinta memang beda tipis. Hati mudah goyah dan berbalik. Siapa sangka dan bisa menebak.
Hermanto semakin akrab dengan Anna. Mereka sering jalan keluar bersama. Cinta memang mengandung sejuta misteri. Yang jelas dengan cinta kita mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman hati yang selanjutnya kan menjadikan kita berada pada taraf tertinggi sebagai manusia yang sempurana.



Kamboja di Akhir Maret 9
Manusia adalah makhluk yang tak akan lepas dari kisah dan cerita. Kisah yang terekam dalam cerita. Cerita, bagian yang akan memosisikan kita sebagai pelakon dalam setiap sesi cerita. Citra, sensasi dan stigma adalah hasil akhir dari sebuah cerita yang telah diinterpreasikan oleh para pendengar dan pembuat cerita.
Kali ini, sebuah cerita tak mengenakkan berkembang di sekolah. Berita percintaan antara kepala sekolah, Pak Fachruddin dan Ibu Sartika berhempas. Sumbernya entah dari mulut siapa, yang jelas issue kalau bisa disebut demikian sangat mengudara di lingkungan sekolah. Agak risih.
Para siswa, pegawai sekolah hingga sebagian para guru mulai ambil peran dalam mengemboskan gossip kedekatan petinggi sekolah tersebut. Aku mulai terpengaruh. Pak Fachruddin dan Bu Sartika sering datang dan pulang bersama. Mereka tampak sangat dekat. Stigma negative agak menyelinap masuk. Tapi benarkah sejauh itu hubungan mereka seperti yang diisukan. Ah, biarkan waku yang akan menjawab. Tak boleh berperasangka jelek tanpa landasan yang jelas.
Pagi ini, sekitar pukul tujuh lewat tiga puluh menit, aku memasuki ruang guru. Seperti biasanya, hanya Nampak beberapa guru. Ada Pak Irwan dan beberapa guru lainnya. Topik pembicaraan hari ini masih seputar issue itu, tapi kulihat Pak Irwan tak angkat bicara. Ia tetap diam dan tak berkomentar sedikitpun tentang berita yang dianggap setengah benar oleh sebagian besar guru dan mungkin juga aku. Pribadi yang tak mudah goyah oleh issue. Apa untungnya juga.
Issue itu berhembus di telinga para siswa. Sebuah kisah yang tak layak jadi berita bagi para pelajar. Beragam tanggapan pun bermunculan. Mulai dari sekedar opini hingga spekulasi negative. Sayang, berita tak layak konsumsi itu beredar juga pada anak-anak. Semua seakan memeriahkan gemerlap issue yang kebenarannya juga tak bisa yakini seratus persen.
Pak Fachruddin dan Bu Sartika yang jadi objek cerita tak berkomentar seputar desas desus yang cukup menghebohkan sekolah dan para penghuninya. Banyak yang mengatakan bahwa Pak Fachruddin dan Bu Sartika pacaran. Lebih, ekstrem lagi, kabar angin mengudara telah terjadi perkawinan, hal yang biasa dalam hubungan pasangan yang dimabuk asmara. Bahkan ada juga yang antusias bermain pada wilayah pendugaan, Bu Sartika hamil. Berita yang awalnya biasa saja telah dibumbuhi dengan bahan pedas yang membuat telinga memerah. Pak Fachruddin selalu tampak biasa saja. Apakah dia tak sadar dengan gossip atau sekedar pura-pura tuli. Itu urusan dia,..
Sudah lama aku tak mendegar kabar dari ibu. Aku mulai jarang memberikan kabar. Kontak terakhir adalah sebulan setelah aku mengunjungi ibu. Memang saat ini aku sangat sibuk. Mulai dari mengajar di kelas, jam mengajar tambahan, hingga mengurusi kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. Sejak perlombaan cerpen itu, antusiasme para siswa dalam meluapkan ide lewat goresan tinta itu begitu tinggi. Aku pun tentu tak melewatkan kesempatan ini. segera kubentuk klub penulis. Media blog pada internet menjadi jaringan kami dalam dunia penulisan. Kini, aku dan mereka intens sebagai blogger.
Lanjut, Ibu, kufikir baik-baik saja di sana. Aku sama sekali tak pernah lupa mengirimkan seperempat dari gajiku. Sekitar tiga ratus lima puluh ribu perbulan. Meski kutahu ibu sama sekali tak pernah kekurangan secara materi. Sebelum ayah meninggal, beliau mewariskan sebuah kapal motor yang menjadi sumber penghidupan keluarga kami.
Sekarang akhir Maret, 31 Maret. Sebentar lagi bulan April. Bulan dimana Usia akan membawaku ke penghujung kematangan usia. Usia 24 tahun. Hari-hari semakin cepat rasanya. Sempat tak percaya, rasanya baru saja lulus SMA, kuliah dan akhirnya jadi seorang guru. Waktu berputar terlalu cepat. Kuharap Tuhan memebrikan aku kado istimewa buatku. Jodoh kali ya. Aku menggelitik diri sendiri.
Ibu, sekali lagi Linda minta maaf. Di hari tuamu, Linda yang sudah dewasa ini belum bisa mengabdikan diri. Tak ada waktu untukmu. Tapi mau diapakan lagi, itulah konsekuensi atas pilihan hidupku. Atas cita-citaku. Tapi aku yakin Ibu bangga dengan putrinya Linda Apriliani Islami, S. Pd.
Telepon genggem, satu-satunya media instan untuk berkomunikasi dengan ibu saat ini. Di mana dia? Mata ini menyorot ke seluruh isi kamar. Tak kutemukan ia. Linglung, penyakit alzaimer kini sering melandaku. Aku lupa dimana aku meletakkannya.
Aku mulai kelabakan, kusingkirkan semua peralatan dalam kamar untk menemukan Handphone itu yang bagai bermain petak umpet denganku. Sial, aku belum juga menemukannya. Tindakan tak rasional pun sempat kulakukan, mencari di bawah kasur. Tuhan, mudahkan aku berbincang dengan ibu
Trittts, suara itu meandering. Itu adalah ring tone handphoneku. Bedering semakin kencang. Kuselidiki sumber suara, semakin dekat dan kutemukan ia bawah bantal. Terlihat pada layar, K’ Fachri calling
Kabar apa yang dibawanya. Suara serak dari ujung telepon terdengar jelas. Suara itu suara kakakku, Facri. Kenapa dia kedengarannya seperti seorang yang berduka dan diiringi isak tangis. Suara itu berat.
“Linda, ibu meninggal”, isak tangis kembali terdengar pecah melalui telepon.
Aku tak tahu harus bereaksi seperti apa. Handphone itu jatuh bebas ke lantai. Brukk, seketika cashing dan komponennya terpisah. Aku diam seribu bahasa. Langit, mengapa kau meruntuhi aku dengan berita ini.
Energiku terserap keluar. Aku lemas, seketika tersungkur di lantai. Aku menangis sekencang-kencangnya. Ibu pergi, aku kini yatim piatu. Ibu, menghadap ayah. Dan kini aku hanya tinggal dengan Kak fachri.
Tuhan biarkan aku mengerutu. Izinkan aku memaki diri ini, Aku benci pada diriku. Penyesalan, mengapa selalu saja hadir belakangan. Mengapa dulu aku tak mendengar kata-kata Kak Fachri. Aku menjaga ibu saja. Benar aku sangat egois. Aku narsistik, cinta pada diri sendiri. Cinta pada obsesiku. Ibu, jangan pergi.
Untain kamboja ternyata jadi kado ulang tahun kelahiranku. Sepuluh hari lagi usiaku genap 24 tahun. Tapi hari ini, aku harus merayakannya lebih awal tanpa tepuk tangan dan ucapan selamat. Aku dan semua orang turut berduka. Untaian doa dan linangan air mata menghantarkan jenasah ibu ke liang lahat. Aku begitu sial. Ingin rasanya aku masuk ke lubang pemakaman bersama jasad ibu. Aku ingin bersamanya.
Aku pingsan berkali-kali. Aku tak dapat menyaksikan upacara pemakaman ibu. Walau begitu, ibu masih tampak tersenyum pada jasad yang sudah kaku itu. Senyumnya yang khas seolah menjadi kenangan terakhir untukku. Ibu, pergilah dengan tenang.
Aku tergoncang. Terus terang aku belum siap. Kak Fachri lebih terpukul lagi. Ia hanya terdiam walau matanya terus memerah mengeluarkan tetesan air duka. Dua hari sudah, perutnya tak berisi dengan sesuap makanan. Hati kami rapuh dengan kepergian belahan jiwa kami. Kami saling memeluk erat, tak ingin bercerai lagi. Cinta kami sebagai satu keluarga cukup terkikis oleh kepergian ibu. Jiwa kami seolah menyertai roh yang meninggalkan raga ibu.
…………………………………………………………………………..
Aku tak masuk mengajar. Sudah tiga hari, aku hanya berdiam diri di rumah. Kepala sekolah masih memeberikan toleransi padaku yang masih berkabung. Semua rekan guru dan sebagian siswa turut berempati padaku. Silih berganti mereka menyampaikan bela sungkawa, baik lisan maupun melalui pesan singkat. Namun, kehadiran mereka tak membuatku lebih baik. Justru sebaliknya, aku semakin terpuruk dan semakin menyesal. Sia-sia seluruh hidupku. Aku melewatkannya tanpa penyaluran cinta pada ibu. Aku merasa orang yang paling sial sedunia dengan memenangkan ego atas cita-cita. Dan kini, aku nelangsa seumur hidup, tanpa cinta orangtua.
Dua minngu berlalu, aku belum juga masuk mengajar. Aku depresi berat. Aku lebih banyak melamun. Semuanya suram. Harapan itu sudah pupus. Aku merasa berdosa. Kesalahan hidup terbesar yang akan terus membayangi jejak langkahku. Orang-orang disekelilingku mulai khawatir aku menderita tekanan mental, terlebih aku adalah seorang perempuan.
Kak fachri, entah karena kedekatan emosiaonal atau faktor apa segera datang mengunjungiku di kompleks guru. Ia prihatin dengan kondisiku. Aku berusaha menjelaskan bahwa kondisiku baik-baik saja. Namun, aku tetap saja tak bisa membohonginya. Ia saudaraku yang lahir dari rahim yang sama. Darah kami pun sama, darah ayah dan ibu. Ia bisa membaca pikiranku, bagai cenayang saja. Sebuah surat di atas meja ternyata jadi sumber petaka. Surat teguran dari kepala sekolah.
“Aku baik-baik saja kok Kak. Lihat aku tak pucat kan”
“Kakak tahu kalau kamu bersedih, tapi bukan begini caranya Linda”
Aku menyimak kata-kata yang bersifat nasehat itu. Tanpa respon.
“Dulu, ini kan yang kamu perjuangkan. Guru. Lalu mengapa sekarang kamu seperti ini. Lihat itu, surat teguran. Linda, kakak kecewa pada kamu.”
Aku tak kuasa, kuteteskan air mata dan berucap dengan terbata-bata.
“Semua ini salahku. Aku egois, aku yang membuat ibu meninggal Kak”, segera kupukuli dadaku dengan kedua tangan. Kutempa berulangkali hingga dadaku terasa semakin sesak. Ia tak menahanku untuk menayakiti diriku. Dibiarkannya hingga aku puas.
“Lalu, kau fikir Ibu akan senang melihatmu seperti ini. Tidak, Linda. Ibu akan kecewa karena kau tak bisa memegang kata-katamu bahwa kau akan menggapai harapan itu. Kau kini sudah jadi guru. Buktikan pada ibu” Ia berhenti sejenak, menghapus tetesan air yang mengucur di kelopak matanya.
“ Biarkan Ibu pergi dengan tenang. Lanjutkan hidup dan asamu adikku”
Dia merangkulku, hangat. Saudaraku itu pun meneteskan air mata. Menenangkan jiwaku yang kosong akan cinta. Kini kutahu, dia begitu baik. Dia adalah saudaraku. Aku salah kaprah. Kufikir dia itu egois dan kaku. Keliru, jelas aku salah menilai perangainya selama ini. Kini aku hanya memiliki dia. Dialah kini satu-satunya orang yang aku tuakan sebagai pelindung
“Maafkan Linda kak”
Kami menyatu dalam tangis. Ipar dan dua kemanakanku itu hanya menyaksikan adegan kesedihan dari luar. Tampak mereka juga meneteskan air mata. Mereka ikut dalam duka yang baru saja menghadang keluarga kami. Kak Fachri cukup meneguhkanku. Luka hatiku mulai agak mengiring, tertutup oleh benang-benang fibrinogen yang dijahitkan oleh keluarga kecilku itu.
Kak Fachri pamit setelah melihat kondisi ku sudah agak lumayan. Ia akan transit ke Jakarta dan kemudian akan bertolak ke Thailand. Mereka, kakakku, istrinya dan kedua anaknya yang masih kecil akan tinggal di sana. Perusahan tempatnya bekerja menempatkannya di sana. Ia berpesan agar aku menjaga diri baik-baik. Perpisahan pun akhirnya mngakhiri perjumpaan kami. Aku akan merindukanmu saudaraku. Terima kasih dan selamat jalan. Kini, aku tak lagi jadi mayat hidup.
Sebuah pelajaran hidup yang aku dapatkan. Kuharap akan menambah kedewasaanku dalam hidup. Tak perlu kutangisi apa yang telah terjadi. Semuanya takkan kembali. Cukup jadi pelajaran di hari esok.
Rasa cinta itu memang kadang muncul ketika hal itu pergi. Hal itulah yang kini aku rasakan. Aku baru merasakan betapa berartinya seorang ibu setelah ia tertidur selama ini. Juga, aku baru merasakan indahnya persaudaraan ketika Kak Fachri harus hidup jauh dariku.
















Aku pun Khilaf 10
Heboh, sekolah gempar oleh suatu peristiwa. Peristiwa yang tak sempat kusaksikan karena keabsenanku selama dua minggu terakhir ini. Para siswa tampak berkumpul di teras kelas. Sebagiannya masih asyik duduk DPR (Di bawah Pohon Rindang). Topik pembicaraan tak jelas, tokoh sentral tak juga muncul. Tak ada proses belajar mengajar di sini. Aku bingung dengan kondisi yang ada. Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 WITA.
Sama, para guru jua masih berkumpul di markas besar, ruang guru. Kutemukan mereka saling mengocehkan informasi yang mengerucut pada aktor Pak Fachruddin. Aku masuk ke ruang guru. Mata-mata itu tampak menjurus ke arahku. Mereka semua menebarkan senyum hangat untukku. Aku membalas serupa
Aku sudah ketinggalan kelas. Kasihan mereka para siswa yang aku ajar. Kuharap mereka mampu menyiasati ketidakhadiranku dengan kegiatan akademik lain yang jauh lebih bermanfaat. Hari ini pendidikan memang tak seharusnya hanya berkutat dan diekspos oleh guru. Siswa harus lebih aktif. Tapi bukan berarti aku membenarkan perilakuku yang agak keliru dengan meninggalkan kelas. Aku janji, akan segera berbenah diri.
Kuharap atau tidak, cukup kusayangkan juga mengapa hari ini kecenderungan para siswa sangat tidak sensitive/peka terhadap permasalahan pendidikan. Mereka lebih aktif pada demonstrasi yang berbau politik praktis. Isu-isu politik lebih banyak menyita perhatian mereka. Beda sekali, fakta pendidikan sama sekali tak menarik minat mereka untuk melakukan aksi. Bisa saja mereka menuntutku karena tak masuk mengajar.
Pak Fachruddin masuk rumah sakit. Begitulah informasi yang aku dengar dari mulut para guru. Tapi hala yang membuatku masih cukup bingung adalah mengapa mereka masih saja berdiam dan tak segera melangkahkan kaki menuju ruang kelas. Aku sungguh ketinggalan informasi. Nama bu Sartika pun kembali mengudara. Ada apa? Kurenungkan kembali. Issue perselingkuhan itu, seberapa kuatkah hingga bertahan selama ini? Bagaimanakah perkembangannya. Sayang, traumatikku, tak membuat aku berniat untuk menggali lebih banyak tentangnya.
Waktuku habis hanya untuk mendengarkan perdebatan dalam rapat yang berlangsung dalam ruang dewan guru tersebut. Semua peserta rapat saling adu argumentasi. Aku tak banyak bicara, karena memang bahanku nol besar. Hari ini dibicarakan tentang persiapan menghadapi Ujian Nasional. Rata-rata, para peserta rapat berdebat bukan berdiskusi. Mereka berdebat untuk menunjukkan eksistensi mereka yang dibangun dengan kalimat-kalimat argumentative. Sebaliknya diskusi untuk mencari solusi sangat jauh dari permukaan rapat. Terlalu panjang. Pimpinan rapat yang dimabil alih oleh wakasek sama sekali tak memiliki kecakapan dalam memimpin rapat. Ia tak mampu mengendalikan dan mengerem suara-suara sumbang yang mengganggu kelancaran rapat. Di akhir rapat, tidak dihasilkan apa-apa. Rapat diskors sampai kepala sekolah sembuh dan akan memimpin rapat selanjutnya.
Agenda di luar rapat justru berkembang. Issue persalingkuhan Pak Facruddin dan Bu Sartika terkuak. Peristiwa tersebutlah yang mengantarkan kepala sekolah itu harus menginap di rumah sakit untuk beberapa hari ini. Namun, kronologi peristiwanya masih simpang siur. Kami para guru sepakat akan menjenguk Pak Fachruddin usai jam sekolah.
…………………………………………………………………………….
Dengan mengendarai mobil baru Pak Irwan, aku dan beberapa guru perempuan lainnya menuju ke rumah sakit. Jaraknya kira-kira sepuluh kilometer dari sekolah. Dengan kendaraan baru APV ini, mobil melaju dengan keepatan standar 80 km/jam. Maklum, Pak Irwan belum lihai mengendarainya. Harus hati-hati. Kami terseok ke kanan dan ke kiri bila tiba-tiba Pak Irwan menginjak rem mobil. Sial, kepala seorang ibu guru yang dibungkus dengan jilbab biru terpelanting hingga membentur kaca mobil. Pak Irwan buru-buru meminta maaf. Kami para penumpang pun hanya tertawa terpingkal-pingkal.
“Bu Irwan, Mungkin Pak Sopirnya tidak ikhlas kali antar kita ke rumah sakit” guru yang berjilbab hijau itu menegur sapa.
“Aduh, Ibu-ibu ini jangan begitu dong. Maaf deh, saya bukan sopir professional. Masih amatiranlah”
“Grogi kali, naik mobil baru. Iya kan Bu Irwan?”
Ibu Irwan kini jadi objek pembicaraannya. Menyadari dirinya jadi bahan fokus, ia pun tersipu malu. Pak Irwan kelihatan masih sulit mengengendarai mobil apalagi kondisi jalan yang rusak total. Aspal di jalan berlubang. Lubang itu terenang air. Dinas Pekerjaan Umum belum berinisiatif melakukan tindakan darurat. Warga pun kesal. Jalan yang berlubang ditanami pohon pisang sebagai aksi protes. Ada-ada saja. Pesan tersirat, mereka butuh perhatian pemerintah daerah dan pusat.
Satu jam berlalu. Mobil itu akhirnya terparkir di halaman depan rumah sakit. Mobil-mobil high class pun turut berderet menyesaki halaman parkir rumah sakit. Mobil-mobil yang boleh jadi menunjukkan prestise pemiliknya.
Aku, Bu Irwan, beserta guru perempuan lainnya kemudian disusul belakangan oleh Pak Irwan sudah berhasil memarkir kendaraan roda empatnya tersebut meskipun masih agak keteteran. Sekali lagi, bukan pengendara professional.
Kami berjalan melewati ruang koridor rumah sakit. Pak Fachruddin yang dirawat di ruang 106. Berbagai kejadian klasik terjadi di rumah sakit. Terlihat para pasien rawat jalan menunggu antrean panjang untuk sekedar mendapatkan giliran “healt service”. Tak ketinggalan, perdebatan sengit antara keluarga pasien yang hanya bermodalkan kartu JAMKESMAS dengan petugas Rumah Sakit terlihat di bagian administrasi. Mereka ditolak dengan sejuta alasan. Mulai dari kamar penuh, fasilitas kesehatan kurang lengkap hingga alasan yang tak bisa dibenarkan logika di tengah rumah sakit megah ini. Kondisi layanan kesehatan yang merepresentasikan masih bobroknya sistem pelayanan public di negeri ini. Tentu, pembenahan di sana sini harus segera dilakukan..
Jauh di pojok sana, di ruang kamar kelas 1. Pak Fachruddin berbaring lemah. Kondisi fisik yang kontras seminggu yang lalu saat ia mengirimkan surat teguran kepadaku. Aku tak sakit hati. Kami memasuki ruang itu, membuka pintu pelan-pelan. Wajahnya menoleh ke arah kami, diusahakannya menyambut kami dengan senyum. Di dalam sana, tampak beberapa orang sedang menjenguknya. Mereka adalah orang-orang berjas dengan dasi yang menyekik leher. Bisa ditebak, orang-orang dengan jabatan tinggi. Mungkin para pejabat atupun kolega bisnis Pak Fachruddin. Tak banyak yang tahu, Pak fachruddin pun ternyata seorang bisnisman. Ia sempat merambah dunia agroindustri.
Kami yang berjumlah tujuh orang pun sungkan masuk ke dalam. Hanya Pak Irwan dan istrinya yang masuk duluan, aku dan lainnya menunggu di luar sementara. Kali ini menunggu para tamu itu keluar.
Sejurus kemudian, sekitar lima menit, orang-orang itu membuka pintu dan melangkah keluar. Segera, aku berbalik masuk. Di ruangan itu, seorang yang tak kami kenal masih duduk di sebuah sofa yang menempel di dinding ruang ber-AC itu. Dia perempuan. Dari matanya, terlihat di habis menangis. Kulit wajahnya yang putih bersih memerah. Ada guratan kesedihan di dalamnya. Aku tak berani mengusiknya. Kubiarkan di duduk menyepi di sana. Seorang gadis kecil ikut merengek padanya. Mungkin anaknya.
Kami focus ke arah Sang Pasien. Cairan infuse yang menggantung di tiang besi mengalir ke tubuh itu melalui kabel infuse. Tubuh Pak Fachruddin lemas, dan semakin kurus. Makanan cair dalam bentuk infuse tak memenuhi asupan gizi untuknya.
Perbincangan awal dimulai. Aku tak angkat bicara. Pak Irwan memulai bicara. Pak fachruddin menjawab sebisanya. Mereka saling menghibur satu sama lain. Awalnya, tema kondisi sekolah lebih banyak diangkat. Setelah bahan pembicaraan habis, tak ada suara. Biarkan ia rehat sejenak.
Aku terpaku pada wanita itu. Perhatianku tertancap padanya. Siapa dia? Aku tak pernah melihatnya sebelumnya. Apakah dia istrinya? Entahlah. Dia tersedu di sana. Air matanya merembes membasahi sofa. Sofa itu lembab jadinya. Tetesan demi tetesan jatuh. Tak bisa ditahannya lagi rasa itu. Suasana semakin gamang.
Detak langkah