Pukul 19.20 WITA, 10 Agustus 2010
Nasi goreng. Menu sederhana yang menjadi santapanku di awal malam, Menu yang terbilang tak begitu istimewa, nasi plus telur goreng dan sedikit taburan bakso lengkapnya, akhirnya menjadi pilihan pas untuk mengisi perut yang sejak pagi hanya terisi oleh nasi dengan lauk seadanya, itupun sisa makan semalam, tempe 2 iris yang masih layak konsumsi versi mahasiwa kost-kostan. Tiga bungkusan kecil yang masing-masing berisi enam roti kering dan satu teh gelas terakumulasi seharga empat ribu rupiah pun ikut menjadi pangan di sore tadi. Energi yang membuatku dapat bertahan dengan aktivitasku seharian. Browsing internet di kampus dan pelatihan di Politeknik Negeri Ujung Pandang. Oh bukan pelatihan tapi up grading buat para tentor baru. Maklum, aku baru saja dilantik sebagai tentor baru fisika di salah satu lembaga bimbingan belajar di Makassar.
Hasil up grading yang dilaksanakan kurang lebih dua jam itu boleh dikatakan masih mengecewakan. Harus kuakui penampilanku belum maksimal. Perlu banyak koreksi untuk diriku, jangan gugup dan irama pengajaran harus lebih diatur lagi. Koreksi dari tentor senior yang harus menjadi fokus ku sebelum melangkah ke up grading berikutnya yang diagendakan rabu depan.
Malam ini, menjadi noktah ramadhan tahun ini. Kehidupan sebagai mahasiswa rantau pun harus dijalani. Aku tak sendiri. Setidaknya, Yani, teman satu pondokanku pun menjalani rute hidup yang beda tipis denganku. Kondisi keuangan yang pas-pasan tak mendukung kami untuk bisa sedikit menikmati aneka hidangan lezat di awal puasa. Jelasnya lembaran rupiah yang terselip dalam dompetku tak lagi melebihi 250.000. Rupiah yang harus mencukupi kebutuhanku minimal sampai akhir bulan ini, sekitar 20 hari ke depan. Harus lebih irit.
Subuh, 11 Agustus 2010
Gema Ramadhan mulai terasa. Atmosfir kehangatan mulai menyelubungi bumi yang beku oleh dinginnya sisa-sisa udara malam. Sahur, momen kebersamaan yang tak dapat kucapai di awal ramadhan ini. Jawabannya satu, jarak yang memisahkan aku dari keluarga. Syukur, di hari yang masih gelap ini, aku mendapatkan reski yang luarbiasa, apalagi kalau bukan sahur gratis. Hufft, sepiring nasi dan ayam goreng yang diracik spesial oleh kakak penjaga toko, Kak Nani dan Kak Sri menjadi santapan sahur kami. Oo bukan Kak Sri, tapi lebih tepatnya Sri. Usianya sebaya denganku. Jujur, aku agak malu. Malu dengan semuanya. Kak Nani yang dulunya kuanggap berwajah kurang ramah itulah yang justru menjadi malaikatku di subuh ini. Malaikat yang sudi menyiapkan makanan untukku dan Yani. Kami yang mungkin hanya berelasi sebagai penyewa pondok “Yayang”, tak lebih. Belum lagi, tawaran kami untuk mencuci piring sebagai balasan ditolak halus olehnya. Kulihat tumpukan piring dan panci kotor memenuhi seperempat dapur di rumah sekaligus toko itu. Akh, benar kalam-Mu Tuhan Engkau Maha membolak-balikkan hati-hati kami.
Handphone pun tak kalah riangnya menyambut datangnya bulan kasih ini. Untaian salam dan ucapan maaf menyambut Ramadhan lewat pesan singkat seolah tak pernah henti. Deretan kata yang termuntahkan dari pesan elektronik itu seolah tak bermakna lagi. Tapi setidaknya, dari nomor-nomor telepon itu kudapati bahwa teman SMA, sebagian teman kuliah, keluarga dan teman baru plus teman “asing”, masih ingin berbagi kehangatan bersamaku. Bahkan, Wana teman satu pondokan yang kini menikmati santap sahur bersama keluarganya masih menyempatkan masa-masa indahnya dengan menghubungiku via telpon, meskipun akhirnya putus setelah kuangkat. Bisa ditebak, niatnya hanya ingin membangunkan sahur. Thanks sahabat. Andai ramadhan tak pernah usai.
Mesjid mulai mendendangkan ayat-ayat Tuhan. Namun, kakiku belum juga melangkah ke arahnya hingga Adzan pun akhirnya berkumandang. Allahu Akbar-Allahu Akbar.
Pukul 19.27 WITA, 11 Agustus 2010
Adzan mulai menggemakan asma Sang Maha Besar. Seruan agar para jemaah yang baru saja menggugurkan puasa lantas bersegera menunaikan ibadah pada-Nya yang Agung. Tuhan, terima kasih atas reski yang kau berikan padaku untuk bisa kembali memasukkan makanan ke dalam mulut ini. Kue olahan yang dibuat dengan campuran tepung merk Hunk kwee dengan gula pasir akhirnya menjadi menu buka puasa yang lezat di tenggorokan. Apalagi, kue tersebut disuguhkan dengan es, sagu mutiara, sirup sachet rasa strowberry dan susu coklat. Mantap, enaknya tak kalah dengan es buah yang mungkin jadi suguhan utama menu berbuka puasa.
Pukul 22.50 WiTA, 12 Agustus 2010
Malam, kepalaku terasa diremas. Pusing yang teramat sangat. Makanan saat buka puasa yang over quota jadi biang kerok. Terlalu banyak minum sirup sachet pun membuat perutku mual, serasa ingin mengeluarkan seluruh isinya. Bah, parah. Jadwal shalat tarwih pun akhirnya kebobolan. Shalat isya kulakukan sempoyongan serasa ingin jatuh terkulai rasanya. Tak lagi-lagi deh. Ampun.
Aktivitasku di kampus tadi juga masih sama seperti biasanya. Browsing internet dari sekitar pukul 11.00 sampai pukul 16.00. Bedanya dari kemarin-kemarin, sekarang aku nongkrong di kampus tak sendiri lagi tapi dengan teman-teman seangkatanku lainnya. Maklum, pengurusan Kartu Rencana Studi (KRS) akan berakhir. Saking dahsyatnya, kami mensearch video Keong Racun ala Sinta dan Jojo yang memang lagi naik daun di Internet. Video yang merekam aksi lipsing dua cowok gokil asal Filipina yang menirukan lagu “Marimar” juga ikut mengocok tawa. Tentunya ala youtube.
Rezki baru juga datang hari ini, sebuah kaos putih bertuliskan Jakarta kudapatkan dari temanku, Fikri dan Inun sebagai ole-ole dari Sail Banda. Fikri yang membawanya ke pondokan sesuai janjinya. Sail Banda, Even besar yang tak sempat aku ikuti lantaran aku lebih memilih bergabung di Bimbingan Belajar. Akh, sedikit iri rasanya mendengar mereka berbagi pengalaman tapi sudahlah ini pun jadi pilihan dan keputusanku. Kuingat, beberapa minggu lalu pegawai Bidang Kemahasiswaan mengabarkan kelulusanku di event tersebut via telpon yang kemudian kutolak karena beberapa alasan. Tuhan, mungkin belum saatnya masaku. Tapi tetap Selamat ya teman-teman. Aku ikut bahagia.
Kabar kurang sedap pun mengudara di hari ini. Tanteku, Puang Nurung aku memanggilnya jatuh sakit. Info yang kuterima tadi siang dari kakakku. Ia memang sudah cukup tua, saudara sulung ibuku. Semua keluargaku pun sudah berkumpul di kediamannya dan itu tentu mengindikasikan betapa buruknya kondisi kesehatan beliau. Putri sulungnya, Kak Mia yang kini berdomisili di Nunukan pun segera mendarat di Bandar Udara Hasanuddin sore tadi dan seketika meluncur ke sana. Puang Nurung, mama kedua buatku dan juga sepupu “yatim” ku yang lain, moga cepat membaik. Amin.
Hari ini, aku tak lagi tidur di kamar Yani. Tenri, teman satu pondokan sekaligus teman satu kuliahku akhirnya tiba di rumah sewa ini pagi tadi. Aku memilih ikut menginap di kamarnya. Kami tak berdua. Ada Devi, juga teman satu kuliah kami. Mereka kini tidur pulas, kelelahan terlihat jelas-tergambar di wajah mereka yang telah meretas perjalanan jauh. Tenri yang menempuh perjalanan hampir 11 jam dari Kota Palopo ke kota Daeng. Selamat beristirahat kawan.
Sabtu, 14 Agustus 2010 pukul 21.15 Wita
Tak ada yang istimewa hari ini. Semua jadwal kegiatan (planning) terbengkalai. Agenda utama, mencuci pakaian molor hingga waktu yang tak ditentukan. Pakaian kotor menumpuk. Jari tengahku yang terluka oleh cutter semakin menumbuhkembangkan kuman-kuman yang siap bercokol di baju-baju itu yang akhirnya akan menyebarkan aroma kurang sedap di kamarku. Tidur, kegiatan yang kurasa menjadi pengisi setengah dari waktuku hari ini ternyata menjadi pemicu awal kekurangdisiplinanku saat ini. Be Procrastinator.
Kamar Yani. Dialog anatara Yani dan seorang karib namapak jelas terdengar. Suara Adzan yang berdendang seirama dengan detak langkah kakiku di loteng kamar memecah alur pembicaraan mereka. Pintu kamar terbuka. Kulihat, seorang yang tak asing, Kak Kiki. Mimik muka mereka yang ramah menyambutku. Topik pembicaraan saat ini adalah seputar ole-ole. Kak Kiki yang masih mengenakan busana muslim merah hati rupanya sedang bingung memilih ole-ole yang pas untuk keluarganya. Rencananya, dia akan pulang ke Kendari, kediaman orangtuanya sekitar awal September nanti. Pembicaraan pun melebar ke mana-mana, mulai dari ole-ole markisa khas Malino, kue tradisional bagea, jam tangan hingga modem. Satu hal yang kutangkap darinya, kerinduan luarbiasa. Empat tahun, waktu yang tidak sebentar untuk menimba ilmu Kedokteran di kota Daeng. Empat tahun pula lamanya, raga tak bersua dengan keluarga. Beda dengan aku dan rata-rata mahasiswa daerah lainnya yang bisa pulang kampung dua tiga kali dalam satu semester. Tapi saat ini semua impas, Kak Kiki sudah menyelesaikan pendidikan dan meraih gelar sarjana Kedokteran Unhas. Sebuah hasil yang maksimal. Usianya yang sebaya dengan kami menjadi semangatku untuk lebih giat belajar dan menyelesaikan kuliah lebih dini. Amin,.
Telepon selulerku berdering. Nomor telepon yang tak berinisial. Pun tak ada nada di balik Sang Penelepon. Orang iseng, pikirku. Kuangkat, Halo dan salam yang menjadi kata pembuka andalan tak terjawab. Lama, panggilan yang juga belum terputus. Kubiarkan telepon itu bermain dengan lagu “Hurt” yang sedang diputar oleh laptopku. Putus. Sekian detik kemudian, nomor yang sama memanggil. Kini, sudah ada suara. Kak Abdillah, Ketua Umum Himpunan mahasiswa Jurusanku,HIMATEPA yang baru saja dilantik itulah yang menelponku. Memintaku untuk menjadi moderator pada acara Penerimaan Mahasiswa Baru yang akan diadakan siang besok, sekitar jam 13.00 menurut agenda acara. Tapi dimintanya aku hadir pukul 10.00. Singkatnya, aku harus memandu kegiatan yang akan membahas materi Keorganisasian. Kunyatakan kebersediaanku. Lumayan, menambah softskill berbicara di depan umum.
Unhas, 15 Agustus 2010 pukul 12.31 WITA
Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) 2010 berlangsung cukup antusias. Wajah-wajah merekalah yang selanjutnya akan menghiasi kampus ke depannya. Polos, teringat pada masa itu. Meski berlangsung dalam bulan puasa, semangat itu terasa. Aku menjadi MC (Master of Ceremony) yang memandu kegiatan PMB Tingkat jurusan. Kalau boleh dibilang jadi MC dadakan. Tak ada persiapan. Ketua Himpunan menelpon jam delapan ketika aku masih asyik menikmati empuknya kasur busa di kamar Yani. Akh, planning dirubah total. Job hanya sebagai moderator pada agenda acara Pengenalan Orientasi dan Kegiatan Kemahasiswaan Jurusan yang rencananya berlangsung pukul 13.00 Wita justru berputar 180 derajat. Aku harus jadi, sekali lagi pemandu acara sepanjang hari ini. Persiapan instan pun kulakukan. Untung, baju kemeja putih telah aku setrika dari dulu. So, hanya menyetrika rok hitam kucel yang tinggal satu-satunya. Rok hitam andalanku belum dikembalikan oleh temanku.
Rasa deg-degan mungkin terasa olehku dan mungkin juga oleh mereka saat harus memberikan secuap kata pembuka di tiap agenda acara. Tapi perlahan kurasakan suasana santai, sesaat setelah bercakap dengan satu dua mahasiswa baru itu. Jelasnya, ini adalah saat berharga buatku. Ruang PB 523 menjadi saksi dari setiap aksiku kali ini. Selembar kertas berisi susunan acara dari panitia yang juga dosen menjadi pelampungku dalam mengorganisasi kegiatan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.45, aku masih berada di ruangan ini. Mereka yang tak menjalankan puasa, kuizinkan untuk menikmati nasi dos yang telah disiapkan oleh panitia. Selebihnya, sedang mendirikan shalat di surau Firdaus, mushallah kecil yang masih menyatu dengan kampus Fakultas Pertanian.
Pukul 16.22 WITA, 16 Agustus 2010
Surau Firdaus. Aku masih asyik untuk berinteraksi dengan dunia maya- internet. Situs jejaring sosial Facebook tetap jadi yang terTop. Kudapati berbagai komentar dari berbagai pemilik akun. Komentar yang tak lebih dari tiga kalimat panjang pun lalu ku post-kan pada dinding meraka yang menjadi temanku. Akh, aktivitas yang sudah menjadi favorit bagi para mahasiswa kini. Aktivitas yang kurang produktif mungkin tapi tak ada salahnya untuk mengisi waktu. Toh Facebook bagiku sama seperti game yang mungkin jadi opsi bagi mereka yang lelah atau bosan dengan aktivitas kesehariaannya. Aku kurang suka dengan aneka game yang ada di komputer. Sharing apalagi, No one can keep my secret…..
Berita gembira hari ini bahwa aku telah mendapatkan jam mengajar di Lembaga Bimbingan Belajar. Selasa selama dua jam dan kamis selama tiga jam. Itulah jadwal yang kuketahui dari info dinding dan via sms dari manager LBB tersebut. Lumayan, sebagai tentor baru. Tapi yang jadi perhatianku tertuju pada kelas yang akan aku hadapi. Kelas IV SD, Kelas I dan III SMP. Heran juga, teman-temanku para tentor baru tak ada satupun yang mendapat kelas selain SD. Sudah menjadi habituasi di lembaga tersebut, para tentor harus mampu beradaptasi dengan lingkungan anak-anak terlebih dahulu. Entahlah, pertimbangan mereka yang jelas sebuah tanggung jawab nyata kini siap untuk aku pikul. Materi pembelajaran telah aku siapkan. Besok adalah waktu dimana aku harus bersiap menjadi mahasiswa++.
Waktu hampir menunjukkan pukul 16.40. Aku masih berkutak-atik dengan keypad laptopku. Sementara Tenri, masih berbaring di atas lantai yang dingin. Sengaja kami bertahan di sini. Satu alasan, udara luar yang jauh lebih panas. Tak usah disebut lagi, pondokan AC/DC ( Atap Seng, Dinding Seng) tentunya akan membuat kami jauh lebih uring-urigan karena panas. Meskipun memiliki Kipas angin tapi kuyakin tak akan banyak menolong. Udara panas yang berputar akan tetap menghasilkan udara panas, tak banyak berubah. Setidaknya, di sini jauh lebih dingin karena bangunan berbahan dasar campuran semen dan tegel. Apalagi, kipas berukuran besar yang menggantung pada plafon cukup memberikan udara segar pada kami yang hanya berdua.
Pukul 12.51 WITA, 17 Agustus 2010
Dirgahayu Republik Indonesia. 65 tahun, usia yang tak bisa dibilang muda lagi bagi suatu bangsa yang telah memproklamirkan diri sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Makna kebebasan yang kini lebih pantas disebut sebagai perginya mereka kaum penjajah di bumi pertiwi. Kemerdekaan sebatas pada berkibarnya merah putih pada tiang-tiang, tak lebih. Setidaknya, begitu komplit problematika di negeri ini sebagai sebuah bangsa. Kecewa rasanya melihat gap-jurang pemisah yang terlalu rentan antara Sang proletar dan Sang Borjuis, kaum elit yang justru terus diberi ruang dan kesempatan yang lebih besar untuk semakin berkembang. Sebaliknya, mereka- golongan bawah lah yang terpojokkan_terdiskreditkan. Birokrasi yang bobrok dan mental KKN yang membudaya boleh dikatakan adalah biang kerok dari kemelaratan anak-anak bangsa. Cukup malu bila kita merayakan kemerdekaan hari ini. Fatamorgana Kemerdekaan. Secercah asa terbersit, aku sebagai anak bangsa bisa berbenah diri lebih dini untuk memberikan perubahan kecil bagi diriku, keluarga, daerah dan kuharap juga berarti bagi negeri yang miris ini. Tak usah berbicara perubahan bila kita hanya bisa diam, tanpa aktualisasi dalam sederet aksi. Satu lagi, ketulusan dan akhlak yang seakan tergerus oleh dekadensi moral.
Telepon genggam milikku bergetar, sebuah pesan singkat dari Manager Pengajaran di Bimbingan Bellajar, Kak Rahmat Ali yang lebih akrab dipanggil Kak Rahal. Isinya, permohonan maaf karena jadwal pengajaran di Mappaoddang hari ini dibatalkan. Awalnya, kecewa juga. Persiapanku amat matang, mendekati 99 persen. Apalagi kemarin, aku berkonsultasi dengan Kak Adjie yang boleh disebut tentor fisika senior. Konsultasi singkat yang bagaimanapun hanya bisa lewat Short Message Service. Games dan cerita lucu ala vivin telah aku siapkan sebagaimana saran dari Kak Adjie. Materi pelajaran apalagi, aku bahkan sampai ke warnet untuk menambah wawasan baru. Layanan internet gratis kampus kuacuhkan di tengah teriknya mentari yang mulai meninggi. Tapi terobati juga dengan tawaran mengajar di BTP kelas 4 SD. Tawaran itu dari tentor sedikit senior yang secara akademik seangkatan denganku, Fauzan. OK lah. Jadwal Upgrading pun ditunda hingga Sabtu ini.
Hampir terlewatkan, pisang ijo menu berbuka puasa kemarin yang cukup enak datang dari Kak Nani dan Sri. Berbagi menu buka puasa yang saat ini mungkin bisa aku rasakan di tengah kehidupan perkotaan yang identik dengan keegoisan warganya. Apalagi, es batu digratiskan bagi penghuni pondok selama bulan Ramadhan. Lumayan penghematan sekitar 15.000. Dua tahun sudah aku hidup di kota ini. Kota yang berciri kehidupan keras warganya. Kuingat, ketika tinggal di rumah sepupuku sejak awal kuliah hingga awal semster dua, tak sekalipun meraka para tetangga itu ingin berbagai dengan kami. Apalagi, ketika pindah ke rumah kontrakan sepupuku, lebih parah. Tak sekalipun, para tetangga berbagi ketika mendapatkan nikmat rezeki berlebih dari Sang Pemurah. Komunikasi yang terjalin antara kami dan pemilik kontrakan pun hanya sekali sebulan yaitu ketika menagih uang listrik yang jujur menjadi satu dari beberapa alasan (baca: setelah jarak kontrakan-kampus yang cukup jauh, Lab dan praktikum yang padat pada semester tiga, jam tutup gerbang yang hanya sampai pukul 23.00); untuk mencari pondokan di kampus. 90 ribu perbulan, bukan biaya yang sedikit apalagi ditambah dengan uang transport ke kampus. Belum lagi, ketidakramahan pemilik Pondokan yang memang asli orang sini, maaf tak bermaksud meng-generalisasikan semakin membuat aku tak betah. Tersentak hatiku Tuhan,.. Berkah Ramadhan yang kuharap tak berhenti sampai hari ini.
Scheduleku yang batal hari ini harus aku ganti dengan kegiatan yang lebih produktif lagi. Menulis, kemarin lomba menulis dengan tema keislaman terinformasikan lewat pamflet yang ditempel pada papan Jurusan. Tak ada salahnya mencoba. Literatur yang berkaitan dengan tema telah aku searching di internet, ada beberapa artikel yang dapat menjadi referensi penulisan. Semangat, Vivin you can be a winner. Setidaknya, menang untuk menetaskan ide lewat rangkaian kata….
Pukul 01.03 Wita, 19 Agustus 2010
Kamar Tenri. Malam, udara dingin menyelimuti tubuh-tubuh kami. Bumi kini dilanda kegelapan malam, namun ragaku masih tak bisa melepaskan lelahku di malam ini. Aku tak dapat tidur. Insomnia ringan sepertinya kembali menyerangku. Penyakit susah tidur ini sudah kualami sejak semester tiga lalu, dimana jumlah tugas kuliah dan praktikum yang berjubel. Mau tak mau memaksaku untuk menahan kantuk dan begadang seharian. Mata ini seperti tak ingin menutup.
Baru saja aku memperbaiki berkas beasiswa yang besok kuharap dapat mendapatkan tanda tangan penasehat akademik dan ketua jurusan. Beasiswa, yang sungguh sangat aku butuhkan saat ini. Fajar, teman satu kuliahku pun sempat datang ke kost sekitar pukul 22.00 tadi sekedar untuk meng-copy file berkas beasiswa yang tersimpan pada laptopku. Katanya, ibunyalah yang mendesak untuk mengurus beasiswa. Fajar yang pada akhir semester dua lalu telah menjadi seorang yatim setelah ayahnya yang mengidap penyakit diabetes tinggi wafat; kutahu begitu memahami kondisi keluarganya namun sayang pergaulan kampus membuatnya seperti sekarang ini. Tak lagi fokus pada kuliah. Tapi kuyakin semangat itu masih ada. Semangat untuk berubah demi keluarga. Kutahu semua itu setelah sempat beberapa kali berbicara dengannya. Selamat berjuang Kawan. Biarkan waktu yang buat kita belajar lebih.
Tak bercerita tentang kuliner pun rasanya tak sempurna. Hujan yang terus turun mengguyur daerah kampus dan sekitarnya memaksa aku dan Tenri untuk berlama-lama di kampus. Setidaknya, satu jam lebih kami berteduh di Fakultas Kedokteran Gigi Unhas, jalan pintas menuju pondokan. Tepat pukul 18.00, hujan mulai reda dan itulah kesempatan terbaik kami untuk segera melangkahkan kaki menuju pondokan apalagi waktu berbuka yang tersisa beberapa menit lagi. Satu porsi es buah seharga empat ribu rupiah menjadi pilihanku. Sementara Tenri lebih tertarik pada bakso 5000 langganan kami. Adzan berkumandang, kami pun menyantap makanan kami masing-masing. Tahu isi dan somay beberapa saat setelah shalat maghrib pun menjadi pengisi perut kami yang seharian menahan rasa lapar dan haus.
Deretan sejarah hari ini yang sedikit menaikkan semangatku adalah tawaran menjadi notulen pada kegiatan workshop yang akan diikuti oleh para elite kampus. Seorang dosen, Pak Suhardi yang pada saat Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) tingkat Jurusan adalah panitia menelponku pagi tadi ketika aku berada di Jalan Pongtiku. Aktualisasi diri yang akhirnya berbuah manis, pikirku. Aksiku bercuap-cuap di PMB lalu kuyakin jadi pertimbangan tersendiri bagi beliau. Tapi sungguh beribu sayang, dengan alasan jadwal mengajar perdana, tawaran itu pun aku tolak secara lebih halus dan sekali lagi Fikri lah yang akhirnya mendapatkan tawaran itu meskipun sebelumnya aku sudah merekomendasikan Nesha, mahasiswa bermarga Sitompul yang sudah dikenal dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Fikri, sekali lagi mendapatkan kesempatan, kesempatan yang selalu aku abaikan. Sail Banda dan Panitia kegiatan Dosen. Tuhan, kuyakin Kau sediakan aku yang lebih dari itu. Jangan biarkan hati ini menyimpan bongkahan rasa iri pada saudaraku. Sabarkan dan teguhkan hatiku atas pilihan-pilihanku.
Semangat untuk mengajar besok rasanya melemah. Tak sekuat kemarin yang akhirnya batal dengan sendirinya oleh informasi Kak Rahal. Kak Adjie yang sempat kutemui saat pengecekan jadwal mengajar tadi membagi ilmu tentang cara menghafal cepat besaran pokok yang menjadi materi siswa SMP kelas I. “Masa Paling Indah Waktu Ku Jumpa Siti”, ujarnya. Tujuh jam pengajaran yang dijatahkan padaku, bertambah satu jam dari jadwal sebelum revisi. Alhamdulillah.
Isya, Pukul 20.00 pada 20 Agustus 2010
Bertiga. Aku, Tenri, dan Wawan, mahasiswa baru Jurusan Ilmu Ekonomi yang juga merupakan sepupu Tenri duduk saling berbagi informasi tentang dunia kampus. Tak ada kegiatan lain setelah berbuka puasa dengan menu aneka kue dan tak ketinggalan es buah.
Rasa bangga menghampiriku saat mengajar di hari keduaku. Setelah kemarin di cabang Antang, kini aku beraksi di Gadjahmada BTP. Adik-adik kelas VI SD menambah semangatku yang telah loyo oleh teriknya matahari siang tadi. Serasa adik-adikku sendiri. Fokusku tertuju pada Khautsar dan Oceng, siswa yang lebih menonjol dari yang lain. Oceng, siswi yang kuanggap ber-IQ di atas rata-rata. Lain lagi, khautsar siswa yang telah aku kenal sebelum jam mengajar. Di front office tepatnya, sempat kuajak bercanda sebelumnya. Aku memang datang satu jam sebelum jam pengajaran. Anak itu kuanggap ber-ESQ baik. Sedikit banyak, anak itu membangun semangat belajar teman-temannya saat aku masuk kelas. Kutahu, terima kasih malaikat kecilku. Satu jam pengajaran yang berarti 45 menit berlalu, aku menyelesaikan pengajaran dengan games dan tebak-tebakan. Berbeda dengan siswa SD yang antusias, kini aku menghadapi siswa SMP kelas 3. Kecewa, sedikit evaluasi yang kulakukan, pengetahuan dasar Fisika mereka jauh di bawah rata-rata. Entah, karena pengaruh lingkungan belajar perkotaan yang mulai bergeser dari belajar ke arah budaya hedonis. Beberapa diantara mereka kutahu, hanya ingin bermain. Kurang serius. Andai mereka tahu betapa berharganya waktu dan materi itu. Betapa banyaknya anak-anak desa yang harus putus sekolah karena keterbatasan kesempatan dan kesulitan ekonomi. Sebaliknya, mereka tak perlu kuuraikan. Satu kata, Miris. Di akhir pertemuan di tempat itu, beberapa diantara mereka siswa SD yang sempat kuajar tadi berderet mencium tanganku yang masih basah oleh air wudhu. Kutinggalkan tempat itu setelah mendirikan shalat Ashar yang kukhawatirkan akan lewat waktunya. Tuhan, terima kasih kau pertemukan aku dengan malaikat-malaikat mungil itu.
Pukul 23.54 WITA, 20 Agustus 2010
Pesan singkat dari Fua, rekan tentor baru. Lewat beberapa kalimat yang dikirimkan lewat telepon genggamnya dapat kutarik benang merahnya. Bantuan untuk membuat tugas paper yang selanjutnya akan dia presentasikan pada rapat tentor yang dijadwalakan besok pukul 10.00 Wita. Jujur, aku agak sangat lelah setelah rentetan aktivitasku siang tadi, tapi mengingat kebaikannya yang telah membantuku menyelesaikan tugas kunjungan cabang pengajaran, kata tidak kuunduhkan. Sekitar satu jam yang lalu dia meninggalkan kamar kost ini setelah mencetak 3 lembar dokument paper yang telah kami buat bersama tak lebih dari satu jam. Paper yang tak begitu sulit untuk aku rangkai dengan sejumlah kata. Kata dengan sejuta makna yang sedikit menjilat. Tendensi yang menurutku sudah menjadi kebiasaan yang telah membudaya. Paper nonilmiah yang sudah sering aku buat. Jujur agak sedikit basi.
SMS dari adik kelasku di SMA dulu beberapa hari ini pun semakin banyak. Menanyakan kabar dan seputar kegiatanku tiap hari. Terakhir, ketika Fua datang, Kukirimkan sms balasan yang sedikit to the point “maaf adik, sedang sibuk. Lain kali….”. Ternyata masih ada yang peduli padaku yang selama ini terasa miskin oleh kasih sayang. Tuhan, terima kasih atas cintamu di bulan Ramadhan ini.
Sore, pukul lima lewat enam detik.23 Agustus 2010
Kuliah perdana. Aku dan juga beribu mahasiswa kampus merah lainnya begitu antusias mengikuti aktivitas akademik hari ini. Kuliah perdana setelah kurang lebih tiga bulan kampus ini diliburkan. Kini, para mahasiswa daerah telah kembali ke kampus. Saatnya belajar kembali, saatnya bersua kembali bersama kawan. Selamat datang, selamat menimbah ilmu di semester awal tahun ajaran 2010/2011.
Awal hari yang kurang baik, catatan jadwal kuliah yang tak lagi tertangkap oleh sorotan mata_hilang, maka aku pun hanya menduga-duga jadwal kuliah hari ini. Bermodal insting, binatang kali, Mata kuliah Tenaga Pertanian dimulai 07.10, ingatku. Akhirnya aku pun berangkat pukul 08.20 setelah sekian menit sebelumnya linglung karena bangun kesiangan. Waktu, setidaknya sudah menunjukkan pukul 07.30.
Kuliah hari ini dibuka dengan mata kuliah Tenaga Pertanian oleh dosen Ibu Haerani,STP cukup itu saja karena tak ku tahu gelar akademik S2 yang disandangnya kini. Tempat perkuliahan yang dipindahkan dari yang semestinya, ruang seminar penelitian pun menjadi tempat belajar yang cukup menyegarkan di tengah panas matahari yang sudah meninggi di pukul 11.15. Kuliah awal yang hanya diisi dengan tes kemampuan tentang matakuliah ini setelah sebelumnya dijelaskan kontrak perkuliahan. Kuliah ini pun akhirnya berakhir pukul 12.30. Saatnya shalat Dzuhur. Pengisian energi keimananan yang begitu mengental di semua kalangan di tengah Ramadhan.
Pungurusan beasiswa pun berakhir di Bagian kemahasiswaan. Menyerahkan fotokopi kartu kemahasiswaan dan bukti pembayaran spp terakhir. Tak cukup rumit ternyata. Mudah-mudahan goal. Amin.
Mata kuliah baru, Perancangan teknik I atau Engineering Design menjadi Mata kuliah keduaku hari ini. Cukup menarik dengan dosen yang menurutku begitu kaya akan pengalaman. Pengalaman di dalam dan luar negeri, begitulah secara umum dosen Program Studi Teknik Pertanian. Dosen yang terkenal sibuk ini, memulai materi dengan menjelaskan sedikit tentang rancangan design yang harus menjadi tugas akhir perkuliahan Perancangan Teknik I ini. Di akhir pertemuannya, jadwal Mata kuliahnya akan diatur ulang. Betul-betul sibuk dosen yang kutahu sebagai supervisor DIKTI.
Pengaturan waktu ternyata tak hanya dihadapi oleh Pak Junaedi, begitu kami menyapanya. Masalah manajemen itu pun menyudutkanku. Kini setidaknya itulah yang kurasakan, bukan kurasakan tapi kualami. Agenda rapat organisasi Kohati pun terpaksa dibatalkan hari ini karena aku tak bisa hadir lantaran bertepatan dengan perkuliahan Pak Junaedi. SMS dari Fauzan, agenda upgrading kubalas dengan ketidaksmpatanku mengikuti jadwal yang ditentukan. Alasan yang sama, bertepatan dengan jadwal kuliah. Belum lagi, permintaan untuk mengecek jadwal pengajaran yang sesuai rencana dilakukan pukul 10 besok pun segera kukonfirmasikan ke Kak Rahal. Sekali lagi, ada kuliah pagi. Syukur, ia pun sedikit memaklumi setelah kuyakinkan bahwa akan ada rekan tentor lain yang mengecek jamku. Kak Adjie, jadi penolongku.
Jum’at, 27 Agustus, ketika Fajar menyingsing pukul 5.21
Kondisi kurang fit kurasakan sejak sore kemarin. Virus influensa kurasa sedang berkembang dan berusaha merobohkanku dengan menyerang sistem kekebalan tubuhku (sebut saja sistem imun). Obat generik yang kubeli di toko seharga tak lebih dari 1000 rupiah itu pun kupilih untuk membantu menyelesaikan kekurangnyamanan kondisi fisikku. Segera kupejamkan mata ini setelah menelan obat flu tersebut.
Sedikit cerita tentang kegiatanku kemarin. Macet, kondisi yang rupanya tidak hanya dialami oleh kota padat Jakarta. Makassar dengan perkembangan kotanya pun tak bisa mengelak ketidakseimbangan jumlah kendaraan dengan luas jalan kota itu. Aku yang kini berada di dalamnya pun tak bisa mengatakan semuanya baik-baik saja. Setelah kuniatkan membolos kuliah perdana Mata Kuliah Pengantar Analisa Teknik karena alasan mengajar, segera kumelaju ke tempat pengajaran setelah bersujud pada ia yang Maha Tinggi. Antang, yang biasanya memakan waktu empat puluh lima menit saja, kemarin berlipat menjadi hampir dua kali. Satu jam tujuh menit. Semua karena macet.
Kuinjakkan kedua kaki ini di tempat itu, kulihat di sana Sang Kepala Cabang, Kak Emha akrabnya sedang bersama dengan seorang bocah kecil yang nampaknya sedang latihan menulis. Anak itu, berkulit agak sedikit sawo matang. Rini, ia memperkenalkan diriku padanya. Kak Emha memintaku, memberikan tantangan baru padaku untuk memberikan bimbingan khusus pada anak ini setelah sebelumnya ada keluhan orang tua terhadap pengajaran yang diperoleh anaknya ini. Setidaknya aku dan Kak Emha memperhatikan dengan seksama catatan orang tua yang dituliskan pada buku catatan Rini, “Tolong, kalau mengajar sesuaikan dengan modul pengajaran kelas I SD, jangan asal mengajar saja, khususnya Matematika” Bah, tamparan kecil buat para tentor sebagai pengajar. Tapi sungguh aku bangga, di tengah budaya perkotaan yang super cuek, masih ada orang tua yang menaruh sedikit perhatian pada perkembangan pendidikan anaknya. Pendidikan yang seharusnya tak hanya diserahkan semata pada guru di sekolah maupun pada tentor di bimbingan belajar. Orang tua, setidaknya harus mengawasi dan melakukan kontrol. Tanggung jawab sebagai orang tua, sebuah nilai yang kini sudah mulai memudar. Luntur oleh debu-debu yang mengatasnamakan kesibukan. Aku yang sebenarnya tentor fisika dengan jadwal kelas VI SD, berbalik harus menjadi guru Sang Bocah. Menyalahi koridor pengajaran memang tapi Tak apalah, akan kucoba les privat ini.
Kugunakan metode pendekatan anak-anak. Gambar layang-layang, bunga, bola dan permen “lolipop” membantuku untuk menjelaskan konsep penjumlahan. Akhirnya, ia pun mengalir, bibir mungil itu pun mulai membuka dan mendendangkan celoteh tentang ini dan itu. Prediksiku pun tak meleset, anak ini sesungguhnya cerdas, hanya perlu sedikit polesan. Ia belajar dengan gembira, berbeda di awal perjumpaanku tadi. Setelah bel listrik tanda istirahat berbunyi, bimbingan Rini kuakhiri. Kak Emha tampak superfokus pada anak itu, dilihatnya catatan pembelajaran tadi. Sama seperti kamis sebelumnya, kuajari siswa kelas IX dan VI. Namun, aku kini masih kurang “clop” alias “chemistry” yang belum terjalin dengan mereka yang sedang menginjak usia remaja. Setidaknya, apapun yang yang aku dan mereka rasakan, mereka masih bisa menerima kehadiranku di sana. Sedikit egois memang diriku tapi tunggulah sampai aku bisa beradaptasi dengan jiwa-jiwa kalian.
Syukur yang teriring bersama dengan sedikit kekecewaan kuujarkan dalam hati setelah kutahu bahwa dosen MK Pengantar Analisa Sistem yang kutinggalkan tak masuk. Syukur karena aku tak ketinggalan kuliah. Sebelumnya, Mata Kuliah Hidrologi pun tak masuk. Sedihnya, kami, para pencari ilmu yang telah berkorban waktu dan uang tak mendapatkan apa yang seharusnya kami dapatkan. Tak ada titik impas di sana. Semua seolah tertiup oleh angin kesibukan luar Sang Guru Besar. Kami pun terhempas, semakin jauh dari titik itu.
Akh, waktu kini sudah menunjukkan pukul 06.16 Am, kupersiapkan pundi-pundiku yang kuharap akan terisi dengan khasanah pengetahuan. Udara ilmu yang akan membuatku terbang melihat keindahan Sang Khalik. Pukul 08.50 besok, mata kuliah Teknik Pengolahan Hasil Pertanian akan dimulai. Asaku, mereka yang telah digelari Orang-orang terhormat hadir dengan Cara yang terhormat.
Dalam kegelapan Malam, 11.40 pM, 27 Agustus 2010
Kebersamaan di tengah malam. Semua berkumpul di kamar Tenri. Membincangkan seputar pondok Yayang yang mulai kehilangan para penghuninya. Terakhir, Murni pindah ke pondok lain yang jauh lebih murah, 1,2 juta rupiah pertahun. Ancang-ancang, Yani pun berencana angkat barang ke pondokan lain. Satu alasan, kenaikan sewa pondokan. Dasar Mahasiswa, uang adalah hal yang sangat sensitif. Logistik yang tentunya diharapkan dapat membangun logika berfikir Sang calon Intelektual.
Bayang cerita tadi bermula dari perkuliahan satu-satunya hari ini. Mata kuliah Teknik Pengolahan Hasil Pertanian yang digawangi oleh dosen supersenior Helmi A. Koto, dosen asal Pulau Sumatera. Satu hal yang cukup kami banggakan dari kesderhanaanya, “logika berfikir “ yang mungkin mulai ditinggalkan oleh orang-orang sekaliber profesor atau guru besar. Segala sesuatu yang kita lakukan harus mengikuti logika, pesannya di awal perkuliahan yang molor setengah jam dari jadwal perkuliahan yang sesungguhnya. Kalau boleh sedikit memuji, aku akan memberikan rasa hormat itu pada beliau. Selama kuliah di kampus merah ini, belum ada dosen sepertinya, yang betul-betul menjadi “pelayan” mahasiswa dalam hal akademik. Hampir setiap hari, beliau ada di kampus. Tak sekalipun beliau membolos. Bahkan, pernah sekali saat beliau harus dioperasi pada sore hari, beliau masih menyempatkan menyuguhkan perkuliahan pada kami di pagi hari itu. Belum lagi, ketika perban bekas operasi yang masih menempel pada bagian wajahnya, ia justru menolak saran dokter untuk tidak banyak beraktivitas apalagi memberikan perkuliahan. Jiwa besar Sang Guru tanpa gelar kehormatan Professor. Mahasiswa bimbingan beliau pun mendapatkan kesempatan untuk berkonsultasi lebih padanya yang telah kaya Pengalaman. Fikri, salah satunya menjadi mahasiswa yang mendapatkan kemudahan pengurusan beasiswa karena beliau yang dapat ditemui kapanpun selama jam perkuliahan kampus. Beda tentunya dengan mahasiswa bimbingan Doktor ini dan prof itu yang sering kudengar sendiri dari mulut mereka sangat sulit berkonsultasi dengan dosen pembimbing mereka yang lebih suka dengan dunia non kampus_proyek. Rasa sedikit stress pun tak bisa dielak lagi oleh para kanda senior yang sudah memasuki tahun ke lima studi atau lebih lantaran tak ada komunikasi yang terjalin antara mereka. Penelitian buntu. Satu kata yang buatku tersentuh, syukur. “ Syukurilah nikmat yang telah kalian dapatkan hari ini, apa pun itu, Nikmati kehidupan ini”. Sekali lagi, syukur. Tapi tak bisa aku berargumentasi subjektiv, beliau juga sering mendapatkan cuap-cuap dari para penghuni kampus yang hampir semua mata kuliah yang beliau ajarkan nyaris tanpa nilai A. Seolah sekte, Nilai A adalah nilai Tuhan, B nilai dosen, C dan E nilai mahasiswa. Kuingat, nilai Matematika Teknik I pada semester dua menjadi nilai terburukku, B. Parahnya, hampir semua mahasiswa satu angkatan di atasku, mendapatkan nilai E. Nilai yang harus diulang setahun berikutnya karena penghapusan semester pendek. Tapi, kini kusadar nilai bukan apa-apa lagi. Kata-kata beliau, kalian dapat menjawab soal pada saat ujian karena yang ditanyakan kepada kalian hanyalah apa yang kalian ketahui. Coba, kalau kalian ditanya mengenai hal-hal yang lebih dari itu, kalian belum tentu bisa menjawab. Intinya, pengetahuan kita masih terbatas. Mungkin itulah alasan mengapa pada seluruh mata kuliah beliau, nilai A bagai melihat bulan di siang hari. Malu jadinya diriku,.Thanks My great teacher.
Keterlambatan beliau masuk ke kelas membuat agenda up grading tentor Fisika yang dilaksanakan hari ini sekitar pukul sepuluh tadi pun membuatku hadir off time. Sekitar pukul dua belas siang aku baru tiba di Pongtiku. Jatah pengetahuan pun nyaris tak kudapatkan di akhir kegiatan. Cara pengajaranku di beberapa cabang pun ternyata telah sampai ke telinga para tentor. Motivasi dari para senior pun mengalir. Kak Indra, yang menjadi favorit para siswa putri itu hanya mengatakan ini sebuah tantangan, sekeras apapun batu bila terus menerus ditetesi air juga akan retak. Pribahasa kuno yang masih Cukup bijak.
Kreativitas memang sangat dibutuhkan ketika brcengkerama dengan dunia anak dan remaja yang berbeda grade dengan dunia orang dewasa. Setidaknya tadi, kegagalan awal dalam pengajaran sempat menyalamiku. Games yang kubuat kurang menarik buat kelas VI SD. Tapi, semuanya berlalu setelah sekian menit kemudian aku me-launching games baru. Kali ini, hampir semua siswaku ikut. Ah, akhirnya….
Sabtu sore, pukul 5.52, 28 Agustus 2010
Mulutmu harimaumu, peribahasa klasik yang kugunakan untuk menceritakan kisahku hari ini. Awal hari, sekitar pukul 08.00 aku berangkat ke kampus, menemani Tenri yang memang menjadi panitia pesantren kilat yang menurut rencana dilaksanakan dua hari, hari ini dan besok. Hari ini agendaku hanyalah rapat kohati yang akhirnya tak kuhadiri karena bertepatan dengan rapat tentor. Ketua organisasi keagamaan, Dhyla pun kukonfirmasi lewat sms subuh tadi. Ia mengerti, terima kasih kawand. Sebuah kebijaksanaan yang mungkin tak bisa aku dapatkan dari orang lain, termasuk dari mereka yang mengaku lebih dekat dengan Sang Khalik.
Hari ini waktu mengajariku untuk tidak menghargai seseorang dari apa yang melekat padanya. Jilbab besar bukanlah ukuran atau parameter untuk mengetahui baik buruknya seseorang. Kutemukan ia yang sedikit menggores hatiku pagi tadi, ketika mulut itu menegurku di depan teman-temanku atas pekerjaanku yang dianggapnya kurang rapi. Emosi yang hampir membuatku menggerutu di hadapannya. Untunglah, jiwaku masih menghargaimu. Dasar…., tak perlu kulanjutkan pada ia yang kuanggap hanya menguasai teori agama tapi tak mampu mengaplikasikan nilai-nilai keagamaan. Lain lagi, masih rekan mereka yang seolah merasa diri paling suci itu kutemukan saling membentak di surau firdaus. Nilai yang kukira tak sesuai dengan apa yang selalu mereka lontarkan di setiap ceramah keagamaan. Inikah mereka yang sesungguhnya, Entahlah, Bersembunyi di balik simbol-simbol agama. Malu deh. Salut buat penulis buku “Tuhan, Ijinkan Aku Jadi Pelacur” yang mampu membongkar mereka yang berjubah palsu, mereka yang selama ini kita anggap sebagai dewa, malaikat, bahkan penyelamat.
Syukur, aku bisa mengenal HmI, wadah dimana aku dan juga teman-teman yang lain tidak terjebak pada Agama semu. Keislaman yang seharusnya dilandasi kepercayaan, bukan dogma. Kepercayaan dan logika yang terbangun untuk memperkuat keimanan pada Ia yang Agung. Walaupun kini, aku sadar organisasi ini mendapatkan sedikit banyak kritik tentang aktivitas orang-orang di dalamnya yang dianggap Islam liberal. Ketidaktahuan yang membuat sebagian dari mereka terus mencela. Setahuku, generasi Islam kini bobrok karena tak mengetahui esensi dari agamanya. Oleh karena itu, penguatan nilai-nilai keislaman yang dilandasi pada keimanan yang “sesungguhnya” adalah hal yang harus segera dibenahi. Kalaupun dalam proses tersebut, ada pihak yang sedikit melanggar aturan Tuhan, kukatakan itu Oknum, bukan tujuan organisasi. Terserahlah, perdebatan sampai pada wilayah mana yang pasti “Setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru”, pegangan hidup yang terus buatku belajar. Semangat. INgat! Tak ada organisasi yang paling hebat diantara organisasi lainnya. Busyrit mereka yang terus menuhankan organisasi yang dihimpunnya.
Sore, Jam menunjukkan digit 5:44 pm Tanggal 29 Agustus 2010
Terbitnya fajar hari ini diikuti dengan suhu udara yang sangat tinggi. Panas, membuatku tak bisa bergerak walau hanya ke kampus. Tiga kali sudah aku mandi hingga sore ini dan semua karena panas. Hujan yang turun pukul dua tadi hanyalah hujan gerimis yang membuat tanah beraroma. Sebentar sekali. Lalu panas kembali menyerang. Untungnya, aku sempat tidur selama dua jam ketika awal hujan sehingga mereduksi panas yang tak kurasakan di alam bawah sadarku.
Pun, tak ada cerita atau kisah unik yang terjadi hari ini. Satu-satunya sumber kisahku hari ini adalah telepon genggam. Undangan buka puasa via sms datang dari Nika, sahabatku. Undangan khusus katanya. Buka puasa yang awalnya kukira hanya makan bersama di kost, ternyata adalah buka puasa bersama di asrama mahasiswa Bantaeng. Ehm, tapi kutolak setelah kutahu itu sebenarnya bukan undangan darinya tapi dari seniornya yang kutahu ingin berkenalan denganku. Aku bukan congkak, tapi sedikit sungkan saudara. Kuyakin akan ada masanya. Lagipula, aku bukan mahasiswa asal kota tersebut, bisa menimbulkan kegunjingan nanti. Organisasi daerah yang disingkat organda merupakan organisasi yang mungkin tidak pernah aku ikuti. La Tenritatta, organda Bone saja tak sekalipun aku bergabung di dalamnya. Kekhawatiran yang menurutku sangat wajar. Tapi, tetap makasih ya atas undangannya.
Tak terasa juga ya hari ini sudah masuk 18 Ramadhan. Artinya, aku dan juga muslim lainnya telah menunaikan ibadah puasa selama 18 hari. Alhamdulillah, belum ada yang bolong. Tapi kalau shalat ya jangan ditanya, setidaknya selama Ramadhan ini sudah dua kali aku tak shalat subuh dan juga pernah sekali tak shalat Isya karena ketiduran. Waw, kacau juga. Hubungan vertikal yang harus aku benahi di tengah usia yang kupercaya semakin mendekat padaNya.
Sekian Menit setelah berbuka, masih 29 Agustus 2010
Adzan yang kudengar lewat radio, menyegerakanku untuk segera menutup ibadah puasa hari ini. Akhirnya, sampai juga. Segelas susu putih dan tiga potong roti susu menjadi makanan pembuka puasa. Setelah perut cukup terisi, ibadah shalat maghrib kutunaikan. Cukup singkat, tak sampai sepuluh menit. Waktu yang mungkin paling sering membuat kita lalai mengingat Ia yang maha Tinggi. Mbak penjual gorengan yang biasanya menjajakan dagangannya setiap pagi dan sehabis shalat Maghrib tak juga menampakkan diri. Khusus bulan puasa, mbak yang belum kutahu nama aslinya itu hanya berjualan sehabis maghrib saja. Mbak tak kunjung datang. Sedangkan perut ini rasanya tak lagi bisa berkompromi untuk menikmati tahu isi buatan wanita bersuku Jawa tulen itu. Kutunggu dan akhirnya terselesaikan pukul 19.00. Ia datang telat dari biasanya, tapi tak jadi masalah. Seperti biasa aku membeli enam tahu isi yang harga perbijinya lima ratus rupiah. Harga yang cukup terjangkau bila tak bisa dikatakan pas dengan dompet mahasiswa. Segera kulahap tahu goreng isi sayur itu sebagai cemilan di hari yang mulai gelap. Pesan singkat mengucapkan selamat brbuka puasa kukirimkan kepada tanteku yang kini ada di kampung. Kekhawatiran terbesarku hari ini menyerempet soal uang. Biasa mahasiswa, hal paling sensitif. Uang kiriman tanteku 400 ribu rupiah yang aku ambil emapat hari yang lalu, kini tersisa 310 ribu. Over boros. Seingatku, aku mentraktir sepupuku makan 20 ribu, beli pulsa 6500, transport mengajar 22 ribu, es buah 3X3 ribu dan makan bakso 5000, serta gorengan 4X3 ribu. Juga semalam beli roti dan obat 10 ribu. Wajar, kalau dikalkulasikan sekitar 84500. Terdapat selisih 5500, pengeluaran yang luput dari ingatanku. Sialnya, kupon tentor belum bisa aku cairkan jumat kemarin lantaran info tentang grade alias gaji para tentor dari pusat belum sampai ke cabang. Katanya, minggu ini baru bisa diacirkan. Sabar ki’ hati,..
Senin pagi, pukul 08.27 Tanggal 30 Agustus 2010
Lumrah. Jam karet superelastis milik Mahasiswa. Aku sedang duduk di sebuah kursi yang ditata mirip bioskop, kerennya Lecture Theatre (LT) 6 Universitas Hasanuddin yang menjadi kebanggaan Fakultas Pertanian karena terletak di dalam kampusnya. Pagi ini, aku sengaja datang pagi setelah subuh tadi pesan singkat dari panitia pelaksana Lomba Cerpen Ramadhan menginformasikan pembukaan lomba pada Senin, 30 Agustus 2010 pukul 08.00 pagi di LT 6. Sangat memprihatinkan, aku datang pukul 08.07 di tempat ini tapi tempat ini masih kosong, hanya ada bangku dan papan tulis besar yang terpajang. Tak satupun panitia yang aku dapati di sana. Sementara pintu LT terbuka begitu lebar seolah menunggu para panitia yang seharusnya datang on time. Air conditioner yang terpasang di kelas besar ini pun seolah mengusikku untuk melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat. Mengetik pada laptop menjadi opsi tepatku saat ini. Sampai jam menunjukkan angka 08.37, tak jelas keberadaan para panitia acara. Oh, generasi Islam yang kukira harus segera menyadari betapa pentingnya waktu dan manajemen. Nilai-nilai Islam yang kuyakini sangat menghargai kedisiplinan. Beberapa saat setelahnya, kulihat satu dua panitia yang datang. Hasil yang buruk, mereka kelabakan tak tahu harus berbuat apa. Satu pelajaran, persiapan berbanding lurus dengan hasil yang akan dicapai. Tak bermaksud mencela kawan, tapi jadilah panitia yang sedikit bertanggungjawab. Kata-kata seorang dosen tiba-tiba saja mengiang di telingaku “Jangan terlalu cepat mengakui diri sebagai seorang pengurus apalagi organisatoris bila mengatur diri sendiri tak becus”. Sekali lagi, hati-hati kawan, kita bermain dengan kredibilitas kita sebagai Mahasiswa Muslim. Jangan jatuhkan tapi kokohkan. Jujur, sedikit kecewa.
Perkuliahanku hari ini akan dimulai pukul 10.30. Itu artinya aku harus meninggalkan tempat ini satu jam lewat tiga puluh empat menit ke depan setelah jam kini memperlihatkan waktu 08.56. Namun, hingga acara juga belum dibuka, satu kata KEBABLASAN. Contok kegiatan yang kuharap tak akan terulang pada acara buka yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusanku hari ini. Sebelum meninggalkan tempat itu, ketua panitia pelaksana menyapaku, segera aku pun melakukan registrasi peserta. Kulihat, ia tampak malu.
Malam, pukul 08.20 pm, 30 Agustus 2010
Langkah kaki kami, tepatnya Aku dan Tenri melintasi koridor Fakultas Kedokteran Gigi. Pekat Kegelapan malam perlahan kami pudarkan dengan cahaya senter dari Handphoneku. Satu teriakan, sukses. Panitia peskil sekaligus buka puasa bersama yang dirangkaikan dengan sahur on the road subuh nanti yang diketuai Haidar, nyaris sempurna. Pesantren kilat dengan jumlah peserta terbanyak, dan juga buka puasa yang hampir tanpa masalah. Salut, kerja tim yang betul-betul berhasil. Buka puasa tadi, dihadiri cukup banyak warga Himpunan yang disebut dengan KMJ TP UH. Es buah, dan aneka kue ditambah dengan nasi dos menjadi makanan pembuka puasa. Semua berkumpul dalam satu kebersamaan. Kebersamaan dalam bingkai Keluarga Mahasiswa Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Hasanuddin.
Kini kerja mereka tersisa 20 persen lagi. Sahur on the road yang rencananya akan berbagi dengan anak-anak panti. Kegiatan akhir dari seluruh proker Himpunan di bulan Ramadhan. Tapi kuyakin jika mereka semua tetap solid seperti ini, yakin dan percaya hasil kerja yang baik juga akan mereka dapatkan. Good Luck.
Kegiatan lain yang turut menyita sekian menit dari waktuku hari ini adalah membuat tulisan untuk mading Kohati. Sebuah puisi dan essay yang bertemakan Ramadhan yang telah aku cetak pada kertas berwarna biru pagi tadi menghiasi majalah dinding yang kami namai Melati, singkatan dari Media Eksistensi dan Aktualisasi Kohati. Resensi buku yang ditulis oleh Dhyla dan juga tips-tips berbuka puasa akhirnya turut menghiasi edisi kedua Melati. Agenda mading yang sementara kami rancang adalah membuat email dan blog Melati Corner…
Oh ya, ini nih essay yang telah kubuat dengan sedikit terburu-buru.
REAKTUALISASI NILAI-NILAI KEISLAMAN:
KEKUATAN SPIRITUAL CUKUPKAH DI RAMADHAN SAJA?
Oleh : Vivin Suryati
Ramadhan, bulan dalam Kalender Tahun Hijriah yang selalu diidentikkan dengan ibadah puasa kini tiba. Awal Ramadhan yang bertepatan dengan 11 Agustus 2010 Masehi versi pemerintah Indonesia yang secara formal didelegasikan majelis ulama akhirnya menetapkan tanggal tersebut sebagai puasa pertama bagi masyarakat muslim Indonesia yang mayoritas penduduknya memang memeluk agama Islam. Kebahagiaan tak dirasakan muslim Indonesia sendiri, setidaknya lebih dari seperempat milyar penduduk dunia yang beragama Islam saat ini juga tengah merayakan datangnya bulan suci umat muslim dengan suka cita. Meski tak bisa dipungkiri, pelaksaanan ibadah puasa kadang tak serempak secara temporar. Semuanya tergantung pada pedoman dan sekte masing-masing pemeluknya. Perbedaan dalam satu keyakinan, sebuah realita yang diharapkan tidak memutuskan ikatan ke-Islaman diantara para penganutnya. Bukankah Tuhan memang telah menegaskan adanya “sunnatullah perbedaan” dalam lembaran kitab-Nya.
Bulan Ramadhan memang cukup istimewa dan sangat sakral, seperti yang tersirat pada kitab suci Al-Quran, kalam - kalam Tuhan yang tentu menjadi pedoman hidup para muslim dan muslimah di buana ini. Surat Al-Baqarah ayat 183 sampai dengan 185 secara berturut-turut mendeskripsikan landasan, waktu, dan aturan main ibadah puasa di bulan Ramadhan. Pun, secara eksplisit Tuhan menyebutkan esensi dari puasa ramadhan yaitu menjadi manusia yang bertakwa. Takwa, yang mungkin ditafsirkan secara berbeda oleh setiap muslim. Tak heran, selebrasi menyambut datangnya bulan Ramadhan ini pun beragam. Kekuatan spiritual yang seolah terbangun secara spontan.
Mengintip berbagai kegiatan yang mungkin berulang dari tahun ke tahun. Dari Ramadhan ke Ramadhan. Sudah menjadi habituasi, terjadi peningkatan kualitas keimanan para Muslim. Ramadhan, seolah menjadi titik puncak ibadah ekstra para muslim. Ibadah ekstra, baik yang bersifat vertikal ( baca: pada Tuhan) maupun ibadah horizontal (baca: pada sesama manusia dan alam). Setidaknya itu terlihat dari berbagai ibadah spiritual yang marak dilakukan di bulan Puasa. Pertama, masjid-masjid kini dimakmurkan oleh para jemaah yang biasanya sepi oleh barisan mukmin. Kedua, minat baca AlQur’an yang melonjak secara signifikan yang pada hari-hari biasanya hanya menjadi kitab usang dan berdebu. Ketiga, shalat sunnah yang mulai didirikan bergandengan dengan shalat wajib fardhu yang diluar Ramadhan berdiri otonom. Ketiga jenis ibadah yang sebut saja ibadah vertikal ini menggembleng umat untuk lebih meluangkan waktu pada Sang Pemilik Waktu. Tak kalah, titik maksimum dari parabola yang menggambarkan ibadah horizontal pun tercapai di bulan ini. Zakat dan sedekah, sedikit berbagi dengan mereka yang terdiskreditkan secara sosial ekonomi menjadi pemandangan klasik. Kebersamaan keluarga dengan sahur dan buka puasa bersama, plus budaya mudik adalah contoh lain dari kegiatan yang semakin menjaga tali kasih sayang yang tentunya dirindukan oleh bumi dan seluruh makhluk yang berpijak di dalamnya. Rahasia yang mungkin berada di balik ajaran-ajaran Islam yang bersifat universal itu. Lantas, apakah keseluruhan cinta spiritual tersebut mampu mencetak manusia-manusia bertakwa seperti yang diinginkan Sang Khalik?
Secara tekstual, batasan “manusia yang bertakwa” yang didefenisikan pada beberapa ayat awal Surah Al-Baqarah adalah mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur’’an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat (QS. Al-Baqarah:3-4). Bila dianalisis, capaian akhir takwa yang dicita-citakan oleh para muslim telah tercapai. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa generasi Islam hari ini membagi cinta spiritualnya secara tak proposional. Ramadhan menjadi skala utama, sedangkan bulan di luarnya justru terjadi dekadensi ibadah yang luarbisa. Gelar sebagai muslim Ramadhan boleh jadi sebuah apresiasi bagi para muslim yang hanya menunjukkan kemusliman pada Ramadhan. Terlalu instan untuk mencapai takwa yang jangkauannya tak seumur Ramadhan saja. Sekali lagi, manusia-manusia bertakwa yang mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam kesehariannya, tak terbatas pada momen indah Ramadhan saja.
Sebuah ironi memang, tapi jika kita mampu berfikir secara bijak, Ramadhan bisa dianalogikan sebagai sebuah bengkel diri. Memperbaiki dan mengapik diri sebelum melaju ke etape pertandingan yang sesungguhnya. Fase latihan dan fase lomba, jelaslah berbeda namun terintegritas sebagai sebuah kekuatan. Fase latihan adalah masa pembekalan untuk menghadapi pertandingan yang penuh dengan sejuta tantangan dan kejutan. Semakin mantap kita dalam fase latihan maka peluang untuk memenangkan pertandingan semakin besar. Evaluasi hasil pertandingan pun akan berujung pada latihan dan latihan. Oleh karena itu, Ramadhan pada hakikatnya merupakan permulaan, bukan akhir yang ditutup dengan degradasi keimanan. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa memang tingkat keimanan seseorang bersifat fluktuatif. Setidaknya, Ramadhan tak lagi di-adi-kan sebagai satu-satunya ladang untuk menabur benih-benih kebaikan dan keislaman.
Kekonsistensian diri sebagai muslim tentunya akan menghidupkan semangat keislaman yang tidak dirasakan secara parsialialistik oleh kaum Muslim. Kaum nonmuslim pun pada akhirnya dapat melihat kemurnian Islam yang merupakan rahmat bagi seluruh alam. Ajaran-ajaran Islam seharusnya menjadi pegangan seorang muslim kapanpun dan dimanapun. Penafsiran kembali yang selanjutnya disebut reinterpretasi merupakan celah untuk meneropong keindahan nilai-nilai Islam yang kita anut. Namun, masalah baru akan muncul. Bagaimanakah cara menginterpretasi nilai-nilai keislaman bila generasi Islam kini tak lagi mengenal Al-Quran, sumber ajaran dan nilai-nilai yang hakiki? Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pada Tahun 1998, sekitar 48 % mahasiwa Universitas Hasanuddin tidak dapat membaca Al-Qur’an. Demikian juga, siswa SD, SMP, SMA/SMK Kota Madya Bandung lebih dari 60 % belum dapat membaca Al-Qur’an (Udin Supriadi, 1998). Namun, hasil penelitian ini tentunya tak bisa lagi digunakan dalam konteks kekinian mengingat adanya upaya kampus Unhas dalam memberantas tuna aksara Al-Qur’an seperti kegiatan Study Al-Qur’an Intensif (Sains) yang digalakkan mulai tahun 2008.
Ramadhan ini boleh jadi adalah solusi ruang untuk memperdalam kajian keilmuan tentang nilai-nilai Islam. Al-Quran pun seharusnya menjadi fokus para muslim untuk semakin berbenah. Introspeksi diri dan usaha konstruktif dari semua pihak termasuk ulama, pemerintah dan masyarakat muslim sendiri untuk kembali menggali nilai-nilai keislaman lewat Kitab Al-Qur’an. Akhirnya, kredibilitas kita sebagai muslim pun tidak akan dipertanyakan lagi. Menjadi muslim secara kaffah, bukan muslim Ramadhan saja. Kekuatan spiritual akan terbangun secara lebih continue (terus-menerus).
Selasa, 21 Ramadhan pukul 06.59 maghrib WITA
Low batteray. Rencanaku yang berakhir ketika handphoneku kehilangan energinya. Melemah, dan akhirnya mati. Aku kehilangan kontak. Kuputuskan untuk kembali ke pondokan setelah sebelumnya mengambil janji dengan temanku Anto untuk buka bersama angkatan di rumah seorang karib di Daya. Rencananya, aku akan ikut dengannya yang mengemudikan mobil. Aku menunggu di depan jalan Parumpa Daya, dekat dengan tempat bimbingan belajar yang hari itu aku mengajar di sana. Pukul 17.00, aku selesai mengajar. Handphone itu, langsung mati. Akh, jalan terakhir kuputuskan pulang ke pondokan. Sesampainya di pondok, charger langsung aku sambungkan dengan telepon yang telah sekarat itu. Seketika, sms kubuka. Semua dari Anto dan menanyakan posisiku sekarang. Oo ujaran Maaf lewat sms balasan pun terkirim. Maaf kawand, aku buat kalian menunggu. Buka puasa pun aku rasakan dengan kehangatan warga pondok Yayang. Es buah yang kubeli seharga empat ribu rupiah kemudian kuracik kembali dengan penambahan susu, air, dan gula serta es. Nikmat.
Mendekat Subuh, Di Awal September pukul 04.52 aM dan Kulanjutkan.
Menu sahur, tak jauh dari biasanya. Mie instan. Mie goreng yang selanjutnya aku campur dengan nasi sebagai cadangan energi. Analisis gizi jelas, karbohidrat + karbohidrat =….? Untungnya, beberapa saat yang lalau segelas susu putih yang mengandung protein telah dicerna oleh lambungku. Menu tak seimbang, tapi tak ada pilihan lain. Nikmati saja toh inilah memang realita kehidupan mahasiswa kost-kosan. Serba pas-pasan. Pas ada mie, ya makan mie, pas ada nasi ya makannya nasi. Kata mereka, diasyikin aja boz.
Adzan mulai berkumandang. Saatnya bersujud pada Ia yang maha Agung. Allah, Engkau begitu indah. Segar, keimanan yang kuharap menjadikanku semakin bisa memaknai hidup ini.
Cerita yang hampir terlewatkan, semalam aku, Tenri, Wana, dan Wawan menikmati terang bulan coklat keju. Nikmat Tuhan, meskipun sebenarnya masih kurang, kurang banyak maksudnya. Terang bulan coklat yang kami beli dengan mengumpulkan uang dari saku masing-masing. Buatku tersadar, sebuah soft file yang aku temukan di laptop. Kubuka, sebuah puisi yang dibuat oleh tenri, entah kapan. Tapi disitu tertulis 31 Agustus 2010, mungkin ditulisnya ketika aku tertidur. Ini dia copiannya,
Untuk temanku tersayang……..
Teman…hari ini ku sakit karena mu teman….
yach sakit itu sungguh begitu memiluhkan bagiku…bagaikan di iris sembiluh
ku tak tahu bagaimana lagi ku harus membendungnya…
teman apa kah kau tahu sakit yang telah kau torehkan pada hati ini
mungkin kau tidak menyadarinya hal itu teman tapi aku tak bisa mengungkapkan rasa sakit itu, padamu teman hanya dengan sikapku yang diam ku harap
kau mengerti keadaanku teman…
yach karena kita teman ku rasa kau tahu kenapa sikapku berubah padamu teman…
tapi kenapa teman kau tidak mengerti sakit hatiku, kenapa…
atau kah aku terlalu sensitif…ataukah kau terlalu peka untuk merasakan apa yang telah kamu lakukan…
achhh teman, ku harap kita dapat saling membantu, saling menjaga saling menghibur teman….
tapi apa yang telah kau lakukan teman kau membuat goresan hitam di kertas putih perjalanan pertemanan indah ini hingga ku tak dapat lagi membuka lembaran kertas itu atau ku tak dapat lagi membedakan warna merah, hitam, ungu
pada kertas yang dulu kita ukir bersama….
mungkin bagiku itu hitam tapi bagimu itu abu-abu atau putih,
entahlah yang aku tahu aku tak dapat membedakan kertas itu teman…
teman apakah kau tahu? hati ini tergores karena tuturmu teman….
kuharap kau bisa menjaga tuturmu agar kau tidak membuka goresan hitam yang baru pada kertas putih yang baru ku ukir dengan penuh keikhlsan teman….
semoga di kertas yang baru ini tidak kudapatkan lagi goresan-goresan yang membuat kertasku tak mampu ku baca teman….
ku harap kau mngerti karena kita
TEMAN….
Andi Tenri Were Sidra
31/08/2010
Estetik, dan kutahu itu jujur dari dirinya. Kawand, jika memang aku adalah orang, bukan tapi teman yang kau maksud, aku takkan bertutur “maaf” yang kukira tak pada tempatnya; tapi kuharap ada komunikasi dua arah yang terbangun diantara aku dan dirimu. Kuingat kata sang Bijak, Luka itu bagai paku yang ditancapakan pada sebuah kayu. Maaf hanya akan membuat paku tercabut dari kayu. Terlepas, tapi tetap saja kayu tak akan utuh lagi. Lobang bekas dudukan paku akan tetap ada. Tak mungkin seperti bentuk kayu semula. Begitulah analogi singkat tentang hati yang terluka oleh kata dan tingkah laku. Biarkan waktu yang mengajari kita untuk bisa saling memahami dan bisa semakin dewasa.
Undangan buka puasa hari ini kembali terbuka untukku. Panitia lomba Essay Surau Firdaus akan mengadakan buka puasa yang dirangkaikan dengan kajian ramadhan dengan tema ”Momentum ramadhan awal perbaikan kualitas diri menuju peradaban”. Pengumuman pemenang lomba pun akan diumumkan setelahnya. Jadwal yang kukira telah diatur sedemikian rupa oleh panitia.
Kak Mia pun rencananya hari ini akan mengunjungiku di pondok. It means that I have to make all better. Kamar yang selama Ramadhan tak pernah aku tinggali lantaran terus menjadi benalu di kamar-kamar yang lain harus segera aku benahi. Aku memang terkesan cuek. “Rantasa”, kata mereka. Kutahu betul Kak Mia, orang yang sangat rapi. Kuharus menyulap kamar itu instan seinstan mungkin. Minimal sedikit bersih. Untungnya kuliahku hari ini dimulai pukul 10.30 pagi.
Malam pukul 09.00, masih 2 September 2010
Kak Mia dan Ayu, sepupu kecilku kini tengah keluar. Mereka kini sedang berbelanja baju lebaran. Dua hari sudah mereka ada di Makassar. Berkeliling kota Makassar untuk mencari pakaian pesanan keluarga. Repot juga. Baju agak feminis dan satu celana jeans kemarin aku beli di sebuah toko sebagai baju lebaran. Baju dan celana dengan warna sepadan itu bertotal 112 ribu rupiah, dibayarkan oleh Kak Mia. Sisanya, sendal akan kucari sendiri.
Lebaran dan pakaian baru memang sulit untuk dipisahkan. Sudah jadi tradisi, pakaian baru di hari yang amat sakral. Bukan esensi memang, tapi setidaknya memberi warna baru di hari itu. Hari yang kuharap tidak hanya terjadi di setiap awal Syawal tapi di setiap gerak jarum detik jam. Manusia tempaan Ramadhan yang selanjutnya akan berproses, berperang di luar masa itu. Sujud-sujud detik ini kuharap tetap ditegakkan di luar nanti. Tangan-tangan itu, kuharap masih mengulur pada mereka yang papa. Kuharap sama pada bait-bait puisiku. Amin.
Ramadhan Tak Berjudul
Kutemukan secercah kasih itu menyela
dalam deretan masa yang kusebut itu
Ramadhan,
Tangan-tangan itu begitu mudah mengulur,
menebar rasa yang buat kita kuat
Kaki-kaki itu tak begitu sulit melangkah,
menyimpan jejak yang buat kita mengerti
siapa aku, dia, dan juga mereka.
Bibir itu begitu anggun dengan muntahan kata,
merajut asa yang buat kita bertahan
Tuhan, dengarlah nada indah di ujung sana
Tertawa melihat rumahMu yang kini tak lagi sepi
Jiwa spiritual yang kuanggap mencapai puncak
Ada mereka yang berulang menyebut asma-Mu
Ada mereka yang bersujud pada-Mu lebih
Pun, ada mereka yang terus menoleh ke arah-Mu
Tuhan, pandanglah di sudut sana
Menungging senyum melihat makhluk-Mu yang kini tak lagi mengagungkan ego
Jiwa sosial yang kuanggap mencapai titik maksimum
Ada mereka yang bertutur salam
Ada mereka yang bersua dalam kebersamaan
Juga, ada mereka yang berbagi logam untuk Sang fakir
Detik yang kuharap jadi awal, bukan akhir Tuhan
Kasih yang kuharap menjadi garis, bukan titik Tuhan
Nilai yang kuingin ia abadi, bukan pupus di sini Tuhan
Malaikat yang kuingin ia datang, bukan pergi
Pintaku,
Oleh : Vivin Suryati
Untaian syukur yang buatku mengenalMu Agung
Agenda buka puasa bersama Tentor di Bimbingan Belajar akan dilaksanakan besok. Berat untuk meninggalkan kedua sepupuku itu buka puasa berdua. Sudah kukatakan pada Kak Mia kalau besok sore setelah kuliah, aku akan mengajar di Bumi Tamalanrea Permai yang berlokasi tak jauh dari kampus. Tapi tak kuinfokan agenda buka puasa itu. Kak Mia, sebelumnya mengajakku buka puasa di salah satu mall di Makassar. Aku tak menolak, tapi belum mengatakan iya. Kesempatan langka untuk merajut kebersamaan dengan Kak Mia yang kini menetap di Pulau Borneo. Hidup adalah pilihan dan setiap pilihan memiliki konsekuensi logis. Jadi bingung juga pilih yang mana.
Kegiatan perkuliahan tadi berjalan seperti biasanya, tak ada yang istimewa. Dosen telat, masalah klasik yang seolah tanpa solusi. Beda jika mahasiswa yang secara struktural lebih rendah (baca: objek pengajaran) akan mendapatkan “sedikit pelajaran” dengan sejuta kalimat introgatif ataupun penyelesaian dengan “salam lewat, silahkan menunggu di luar”. Tak berimbang, jelas. Sekali lagi komitmen kami dan Anda sebagai manusia yang menghargai waktu patut diberi tanda tanya, kenapa?
Pendaftaran asisten laboratorium dan praktikum beberapa mata kuliah telah dibuka. Bahkan tes calon asisten mata kuliah pengantar komputer telah dilaksanakan pukul 14.00 tadi. Semua antusias, berbondong-bondong mendaftar dengan tendensi yang berbeda. Ajang unjuk gigi, pengisi waktu, dan tidak bisa dipungkiri ajang balas dendam adalah sedikit motivator bagi mereka. Busyrit bila dibantah. Satu hal yang kuharap rekanku itu para asisten yang nantinya terpilih betul-betul memiliki grade kapabilitas yang pantas bukan dipaksakan karena faktor X. Sangat kusayangkan, si sangkar emas Unhi tak mendaftarkan dirinya padahal semua tahu dialah yang terCerdas dari semuanya. Satu alasan, gap. Gap antara dirinya dengan atmosfir kampus. Aku sendiri tak mendaftarkan karena kurang tertarik pada praktikum ini yang hanya mempraktikkan penggunaan Microsoft Word, Excel, dan Power Point yang jujur juga bisa dipraktikkan sendiri oleh siswa Sekolah Dasar dengan berbekal komputer. Sampai saat ini, belum kulihat nilai plus pada asisten praktikum ini. Selain itu, praktikum ini juga menuntut asisten untuk siap sedia setiap minggunya yang tentunya tak bisa kupenuhi lagi. Aku, ingin memperbanyak jam terbangku di bimbingan belajar nantinya. Minat asisten pendamping kutujukan pada Mata Kuliah Ekonomi Teknik, Mekanika Fluida, dan Rangkaian Listrik dan Elektronika. Jalan kita berbeda namun kuyakin satu muara, Ilmu…
RumahKu, 7 September 2010
Lama kisahku tak lagi kutuliskan dalam cerita. Bahagiaku kini memuncak, berada di kampung halaman. Dua hari yang lalu aku mudik bersama sepupuku, Kak Rijal dari Kota Makassar memasuki daerah Kabupaten Bone. Lappariaja, Bone bagian Barat yang merupakan asalku. Sepeda motor, kendaraan yang membawa kami melaju meninggalkan Makassar dan kota Maros. 2 hari sudah aku berada di graha keluarga ini.
Awalnya, niat mudikku hari minggu terbentur dengan jadwal mengajarku di Daya pada selasa ini. Padahal aku sudah merengek pada kakak sepupuku untuk nebeng pulang kampung. Kukirimkan pesan singkat berisi permohonan mengisi jadwal pada Kak Adjie, tapi sayang tak seperti apa mauku. Ia telah diminta untuk mengisi jadwal di tempat lain pada hari yang sama. Mati aku. Sekian detik kemudian, sms kak Adjie kembali masuk. Isinya, Jadwal Fauzan kosong hari selasa, coba saja. Secepat kilat, aku mengirimkan pesan yang sama. Tapi hasilnya sama, “tidak bisa karna hari itu saya juga mau mudik”. Uh, hatiku bimbang jadinya. Kalimat terakhir di smsnya membuatku lega, pengajaran di Daya kayaknya sudah diliburkan. Alhamdulillah, berangkat…
Isi Dompetku kini masih mendukung untuk membeli Oleh-oleh buat keluarga di kampung. 3 Kupon mengajar di BTP dan 1 kupon Di Daya telah aku cairkan. Lumayan, seratus ribu lebih sedikit. Sebelum melaju ke luar kota, aku dan Kak Rijal berbelanja di pusat pertokoan Tamalanrea. Satu tas untuk tanteku. Setelahnya, carefour jadi tempat belanja kedua sebelum pulkam. Buah pir, apel, dan satu teh kemasan botol jadi bahan belanjaan. Shampoo antiketombe pesanan kak Rijal pun jadi daftar berikutnya
Senangnya, udara di perjalanan begitu sejuk. Semua karena hijaunya alam pedesaan, beda dengan kota makassar yang waw panas karena polusi industri dan kendaraan yang tak lagi ramah pada lingkungan. Aku menghirup udara Ale kappang dan sekitarnya sepuasnya. Ingin rasanya berlama-lama di daerah yang tak berpenduduk itu. Segar Tuhan, keindahan berbalut kesejukan yang mungkin buat mereka kelompok pecinta alam “betah” bertahan di hutan rimba ataupun di puncak gunung yang tak terjamah teknologi. Kutemukan Engkau di sana Tuhan.
Pukul 13.00 lewat, aku tiba di rumah. Dua setengah jam lama perjanan yang kami tempuh. Lebih lama setengah jam dari biasanya karena jari kelingking Kakakku yang masih luka, katanya kena gear. Perjalananku pun berakhir, tapi Kakakku itu belum. Ia masih harus melanjutkan perjalanan satu setengah jam ke arah selatan, Kecamatan Salomekko. Sejenak rehat. Tanteku memintanya buka di rumah saja namun ditolaknya dengan alasan tak bisa mengemudi malam. Akhirnya, setelah udara tak lagi mengamuk karena panas, sekitar Pukul 16.00, ia kembali harus berkonsentrasi mengemudi. Estimasi waktu yang memungkinkan ia buka di rumahnya. Ia tak sendiri, Wiwie sepupuku yang lain menggantikan posisiku, “nebenger”. Okay, thanks dah..
Sahur, 9 September 2010
Tiba di rumah para tante, kediaman tante Muli dan puang Nurung yang serupa dan tak terpisah satu sama lain. Rumah unik, dengan design arsitektur khusus yang dibuat oleh om Iwan yang juga seorang arsitek profesional. Bagaimana kabar beliau ya? Entahlah. Terakhir aku kontak dengan beliau saat ujian final. Telepon yang akhirnya kuputuskan setelah ujian dimulai. SMS pun akhirnya jadi pengganti. Ia menuliskan, uang seratus ribu rupiah untukku dititipkan ke kakaku yang ia jumpai di hotel di Makassar.
Aku, dan sepupuku yang baru saja tiba dari negeri Jiran tiba di Salomekko, tanah kelahiran mama-mama kami. Mereka, Enal dan Suradi, anak kedua dan ketiga puang Nurung yang memang menetap dan merupakan warga negara Malaysia, bukan TKI. Puang Nurung yang katanya dulu sempat mengadu nasib di negeri tetangga itu melahirkan Suradi di sana. Anaknya yang lain, Kak Mia dan Rijal pun sempat menikmati udara negeri Menara Petronas tersebut namun kemudian kembali ke tanah Bugis.
Oleh-oleh lebaran pun dibawanya buat para penghuni rumah. MP4 untukku, kompor gas teknologi terbaru untuk Puang Nurung, blender untuk tante. Sepupu-sepupu kecilku pun kebagian rezeki. Pakaian-pakaian baru pun mengena di tubuh-tubuh mungil itu. Ceria menikmati coklat batang. Minuman khas negeri jiran, Milo dan Nescafe tak ketinggalan. Minuman yang seharusnya menjadi icon Sulawesi Selatan yang daerahnya kaya akan kakao, bahan utama minuman coklat tersebut. Potensi yang tak termanfaatkan. Okedah, Selamat datang Kakak-kakakku.
Ied Fitri, 10 September 2010
Kemenangan kini seolah diraih milyaran penduduk muslim di seluruh dunia. Aku dan segenap keluarga berangkat menuju masjid untuk mendirikan sholat ied. Pakaian baru dengan seperangkat semangat baru kini menghiasi diri. Hari fitri untuk diri yang fitri, Amin. Semangat spiritual yang kuharap tak beakhir di awal Syawal.
Sore menjelang, sesaat setelah shalat ashar yang kudirikan agak telat, aku dan beberapa keluarga menyempatkan diri untuk berziarah ke makam keluarga. Ada makam mama, om, tante, kakek, nenek, serta buyut. Seluruh tempat peristirahatan terakhir itu saling berdampingan. Doa pun kupanjatkan, semoga ibu tenang dan terjaga di sisi Tuhan. Rinduku mama. Kunjungan yang kuharapkan akan menjadi pelajaran bagiku bahwa semua akan kembali kepada-Nya. Semua yanga ada di dunia ini termasuk raga ini adalah milik-Nya. Ia bisa mengambilnya kapan dan dimana saja. Mama yang meninggal pada saat usiaku akan beranjak sembilan tahun, 19 September 1999. Tak terasa, kini usiaku akan menginjak 20 tahun. 11 tahun, waktu yang mengajariku tuk mengenal hidup tanpa mama dan juga bapak. Putaran detik yang buatku sedikit mengerti.
Bapak. Sosok yang mungkin kukenal hanya sampai usia prasekolah, tahun 1995 aku dan dua orang saudaraku telah menyandang gelar “Sang Yatim” ketika bapak pergi dengan kanker ganas yang menyerang otaknya. Sama seperti halnya ibu yang dimakamkan bersama dengan keluarganya, bapak pun ditidurkan bersama dengan keluarga besarnya. Ayah dimakamkan dekat dengan rumahku sedangkan mama dimakamkan di kampung kelahirannya, Salomekko. Sedihnya, jarak yang dekat tak membuatku untuk sering berkunjung ke makam bapak. Terakhir, kelas tiga SMP aku ziarah ke sana. Kalau mama, hampir tiap tahun aku berziarah ke sana karena memang aku selalu berlebaran di kampung mama. Niatku untuk pergi ke makam bapak kuharap tegak setelah kakak sulungku mengajakku pergi sebelum berangkat ke Makassar nantinya.
11 September 2010, pukul 11.57 am
Keriangan dan kehangatan keluarga masih terasa. Hidangan makanan dan minuman khas Idhul Fitri terus saja mengisi lambung. Adik-adik kecilku, Ival, Ayu, Ikki, Rahmat, terus menemani masa-masa rehatku. Canda dan tawa mereka seolah mengisi kantong kerinduanku. Tuhan, andai masa ini tak berbatas, tak ada tanda titik di sini. Saling bersilaturrahmi, saling berbagi, dan saling berjabat tangan memohon maaf secara simbolik. Semua itu kulihat beberapa hari ini.
SMS ucapan selamat hari raya id Fitri yang identik dengan kata maaf pun mengisi telepon selulerku.
13 September 2010 pukul 2.26 pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar