I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah memiliki beberapa sifat-sifat fisik. Salah satunya adalah struktur tanah. Struktur tanah merupakan salah satu sifat morfologi tanah yang dapat diamati secara langsung. Morfologi tanah adalah deskripsi tubuh tanah yang menunjukkan kenampakan-kenampakan, ciri-ciri dan sifat-sifat umum dalam suatu profil tanah.
Ciri-ciri morfologi tanah merupakan petunjuk dari proses-proses yang pernah dialami sesuatu jenis tanah selama pelapukan, pembentukan dan perkembangannya. Perbedaan faktor-faktor pembentuk tanah, akan meninggalkan ciri dan sifat tanah yang berbeda pula pada suatu profil tanah.
Struktur tanah adalah susunan butir-butir primer tanah dan agregat-agregat primer tanah secara alami menjadi bentuk tertentu yang dibatasi oleh bidang-bidang yang disebut agregat. Struktur tanah merupakan sifat fisik tanah yang menggambarkan susunan ruangan partikel-partikel tanah yang bergabung satu dengan yang lain membentuk agregat dari hasil proses pedogenesis. Struktur tanah berhubungan dengan cara di mana, partikel pasir, debu dan liat relatif disusun satu sama lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukanlah praktikum struktur tanah yang akan menganalisis bentuk, ukuran, perkembangan struktur tanah dan juga kemantapan tanah.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan praktikum struktur tanah adalah untuk mengetahui bentuk struktur tanah, ukuran tanah, dan tingkat perkembangan struktur tanah. Selain itu, praktikum ini juga bertujuan untuk mengetahui kemantapan struktur tanah dari sampel lapisan-lapisan tanah ultisol.
Kegunaan praktikum struktur tanah adalah menjadi bahan analisis dalam memberikan tekanan pada tanah (bangunan pertanian atau pertumbuhan vegetasi tanaman) berdasarkan tingkat atau derajat kemantapannya sehingga akan diperoleh hasil kerja yang lebih efektif dan efisien.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Struktur Tanah
Struktur tanah dapat dibagi dalam struktur makro dan mikro. Struktur makro/struktur lapisan bawah tanah adalah penyusunan agregat-agregat tanah satu dengan yang lainnya sedangkan struktur mikro adalah penyusunan butir-butir primer tanah ke dalam butir-butir majemuk/agregat-agregat yang satu sama lain dibatasi oleh bidang-bidang belah alami.
Struktur tanah menggambarkan cara bersatunya partikel-partikel primer tanah (pasir, debu dan liat) menjadi butir-butir (agregat) tanah. Agregat yang terbentuk secara alami dinamakan ped. Struktur tanah dijelaskan dalam bentuk ukuran dan tingkatan perkembangan ped (Tim Asisten, 2010).
Menurut bentuk ped, struktur tanah dapat digolongkan dalam bentuk lempeng (platy), prismatik, kolumnar, kubus menyudut, kubus membulat (subangular blocky), kersay (granular), dan remah (crumb). Tanah yang tidak membentuk struktur dapat berupa butiran tunggal (single grain) atau massif (massa tanah tidak tidak menunjukkan bidang-bidang pemisah) (Tim Asisten, 2010).
Klasifikasi struktur tanah (bukan klasifikasi tanah yang cocok untuk usaha pertanian) sangat berkaitan dengan klasifikasi lapangan yang digunakan bagi peelaahan morfologi tanah. Secara umum komponen pengklasifikasian tanah meliputi (Kartaspoetra dan Mulyani, 1987):
1. Tipe struktur meliputi bentuk dan susunan agregat.
2. Kelas struktur meliputi ukuran
3. Derajat struktur yaitu kemantapan atau kekuatan agregat.
Terdapat beberapa bentuk struktur tanah diantaranya adalah (Tim Asisten, 2010):
• Granular
• Platy
• Wedge
• Blocky (sub angular dan angular)
• Prismatic
• Columnar
Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur ini terjadi karena butir-butir pasir, debu dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi dan lain-lain. Gumpalan-gumpalan kecil ini mempunyai bentuk, ukuran, dan kemantapan (ketahanan yang berbeda-beda. Terdapat beberapa bentuk struktur tanah yaitu (Hardjowigeno, 1987):
1. Bentuk lempeng (platy)
Sumbu vertikal < sumbu horizontal. Ditemukan di horizon E atau pada lapisan padas liat.
2. Prisma
Sumbu vertikal > sumbu horizontal, bagian atasnya rata. Ditemukan di horizon B pada tanah daerah iklim kering.
3. Gumpal bersudut
Bentuknya menyerupai kubus dengan sudut-sudut tajam. Sumbu vertikal = sumbu horizontal. Ditemukan di horizon B pada tanah daerah iklim basah.
4. Gumpal membulat
Bentuknya menyerupai kubus dengan sudut-sudut membulat. Sumbu vertikal = sumbu horizontal. Terdapat pada tanah horizon B umumnya tanah pada daerah iklim basah.
5. Granuler
Berbentuk bulat dengan porous.
6. Remah
Berbentuk bulat dengan sangat porous.
Struktur lempeng mempunyai ketebalan kurang dari 1 mm sampai lebih dari 10 mm. Prisma dan tiang antara kurang dari 10 mm sampai lebih dari 100 mm. Gumpal antara kurang dari 100 mm sampai lebih dari 50 mm. Granuler kurang dari 5 mm sampai lebih dari 50 mm. Granuler kurang dari 1 mm sampai lebih dari 10 mm. Remah kurang dari 1 mm sampai lebih dari 5 mm (Hardjowigeno, 1987).
Tingkat perkembangan struktur ditentukan berdasar atas kemantapan atau ketahanan bentuk struktur tanah tersebut terhadap tekanan. Ketahanan struktur tanah dibedakan menjadi tingkat perkembangan lemah (butir-butir struktur tanah mudah hancur), tingkat perkembangan sedang (butir-butir struktur tanah agak sukar hancur), dan tingkat perkembangan kuat (butir-butir struktur tanah sukar hancur). Hal ini sesuai dengan jenis tanah dan tingkat kelembaban tanah. Tanah-tanah permukaan yang banyak mengandung humus biasanya mempunyai tingkat perkembangan yang kuat. Tanah yang kering umumnya mempunyai kemantapan yang lebih tinggi daripada tanah basah. Jika dalam mennetukan kemantapan struktur tidak disebutkan kelembabannya, biasanya dianggap tanah dianggap dalam keadaan mendekati kering atau sedikit lembab, karena dalam keadaan tersebut struktur tanah dalam keadaan yang paling baik (Hardjowigeno, 1987).
Derajat struktur tanah dapat dibedakan menjadi (Kartaspoetra dan Mulyani, 1987) :
1. Yang tidak beragregat, yaitu pejal (jika berkoherensi dan butir tunggal) lepas-lepas (jika tidak berkoherensi).
2. Yang derajat strukturnya lemah, jika tersentuh akan mudah hancur, derajatnya dapat dibedakan lagi menjadi sangat lemah dan agak lemah.
3. Yang derajat strukturnya cukup, dalam hal ini agregatnya sudah jelas terbentuk dan masih dapat dipecah-pecah
4. Yang derajat strukturnya kokoh, agregatnya mantap dan jika dipecahkan (dipecah-pecah) agak liat (terasa ada ketahanannya), derajatnya dapat dibedakan lagi menjadi yang sangat kokoh dan yang cukup kokoh.
Tanah dikatakan tidak berstruktur bila butir-butir tanah tidak melekat satu sama lain (disebut lepas, misalnya tanah pasir) atau saling melekat menjadi satu satuan yang padu (kompak) dan disebut massive atau pejal (Hardjowigeno, 1987).
Tanah dengan struktur baik (granuler dan remah) mempunyai tata udara yang baik, unsur-unsur hara lebih mudah tersedia dan mudah diolah. Struktur tanah yang baik adalah yang bentuknya membulat sehingga tidak dapat saling betsinggungan dengan rapat. Akibatnya pori-pori tanah banyak yang terbentuk. Di samping itu, struktur tanah harus tidak mudah rusak (mantap) sehingga pori-pori tanah tidak cepat tertutup bila terjadi hujan (Hardjowigeno, 1987).
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Struktur Tanah
Faktor-faktor yang mempengaruhi struktur tanah antara lain adalah (Ariyanto, 2010):
1. Lempung dan ion tertukar
2. Perekat-perekat organik
3. Tanaman dan sisa tanaman
4. Senyawa organik dan perekat
5. Mikrobia
6. Binatang dan udara
Tanah harus stabil, yakni agregat-agregatnya harus cukup tahan terhadap benturan tetesan hujan dan air, kalau tidak demikan tanah akan menjadi hancur dan kompak, kurang dapat melalukan air, menyebabkan tanah cepat jenuh air (Tim Asisten, 2010).
Komponen-komponen tanah yang mengikat fraksi pasir dan debu membentuk struktur yang tersusun adalah liat, bahan organik, dan seskuioksida. Bila ikatan antara partikel-partikel tanah lemah, tenaga mekanik akan mudah menceraiberaikan partikel-partikel tanah dan akibatnya pori-pori tanah tertutup dan kontinuitas pori-pori tanah terganggu (Tim Asisten, 2010).
Tanah yang hancur menutupi pori-pori pada lapisan atas tanah akan mengurangi kapasitas infiltrasi air pada tanah tersebut. Tanah yang kompak pada lapisan paling atas tanah menyebabkan aerasi memburuk dan menimbulakan aliran permukaan yang lebih besar sehingga resiko aerasi tanah menjadi lebih serius (Tim Asisten, 2010).
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Tempat dan Waktu
Praktikum struktur tanah dilakukan pada Senin, 11 Oktober 2010 pukul 09.20 sampai dengan 10.45 WITA di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum struktur tanah adalah buret, pipet tetes, cawan petridish, sprayer, saringan dan gelas piala.
Bahan yang digunakan dalam praktikum struktur tanah adalah air, sampel tanah ultisol lapisan I dan II, dan kertas.
3.3 Prosedur Kerja
Praktik 1. Mengenai bentuk, ukuran dan tingkat perkembangan struktur
1. Meletakkan sampel tanah ultisol lapisan 1 pada kertas
2. Mengamati agregat-agregat tanah
3. Mengukur ukuran struktur tanah
4. Mengulangi langkah 1 sampai 3 untuk sampel tanah ultisol lapisan 2
Praktik 2. Kemantapan struktur dalam air
1. Meletakkan air destilasi dalam cawan petridish
2. Memilih agregat tanah pada sampel tanah ultisol lapisan 1 yang berukuran < 2 mm
3. Memasukkan ke dalam air pada cawan petridish
4. Mengamati keutuhan tanah setelah beberapa lama
5. Mengulangi langkah 2 sampai 4 untuk sampel tanah ultisol lapisan 2
Praktek 3. Kemantapan agregat terhadap tetesan air
1. Meletakkan 3 butir sampel tanah ultisol lapisan 1 berukuran sekitar 1 sampai 2 mm di atas saringan dari kawat yang ditaruh di atas gelas piala. Membasahi agregat-agregat dengan air dengan menggunakan pipet tetes agar pembasahan merata
2. Menetesi agregat-agregat tersebut dengan air dari buret yang dipasang 20 cm di atas saringan
3. Menghitung jumlah tetesan yang diperlukan untuk menghancurkan agregat-agregat tanah tersebut
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Berdasarkan praktikum struktur tanah yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Bentuk, Ukuran dan Tingkat Perkembangan Struktur
No Sampel Sampel Tanah Bentuk Struktur Ukuran Agregat Tingkat Perkembangan Struktur
1 Lapisan 1 tanah ultisol Prismatik Medium
(30 mm) Mantap
2 Lapisan 2 tanah ultisol Kubus bersudut Kasar (40 mm) Mantap
Sumber : Data Primer, Dasar-Dasar Ilmu Tanah, 2010.
Tabel 2. Kemantapan Struktur dalam Air
No Sampel Sampel Tanah Keutuhan Agregat Tanah
1 Lapisan 1 tanah ultisol Stabil
2 Lapisan 2 tanah ultisol Stabil
Sumber : Data Primer, Dasar-Dasar Ilmu tanah, 2010.
Tabel 3. Kemantapan Agregat Terhadap Tetesan Air
No Sampel Sampel Tanah Jumlah Air Untuk Menghancurkan tanah
(tetesan)
1 Lapisan 1 tanah ultisol 305
2 Lapisan 2 tanah ultisol 567
Sumber : Data Primer, Dasar-Dasar Ilmu tanah, 2010.
4.2 Pembahasan
Dalam pengamatan ukuran, bentuk struktur dan tingkat perkembangan struktur tidak digunakan kaca pembesar. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mata. Secara fisik, terlihat bahwa sampel tanah ultisol lapisan 1 berbentuk prismatik dengan ukuran 30 mm (medium) sedangkan pada sampel tanah ultisol lapisan 2 agregat tanah berbentuk kubus bersudut dengan ukuran 40 mm (kasar). Kedua sampel tanah tersebut juga menunjukkan ped yang jelas sehingga dapat diketahui bahwa kedua sampel memiliki tingkat perkembangan struktur yang mantap. Hal ini sesuai dengan Kartasapoetra dan Mulyani (1987) yang menyatakan bahwa yang derajat strukturnya kokoh, agregatnya mantap dan jika dipecahkan (dipecah-pecah) agak liat (terasa ada ketahanannya), derajatnya dapat dibedakan lagi menjadi yang sangat kokoh dan yang cukup kokoh.
Kemantapan struktur diamati dengan meletakkan sampel agregat tanah pada air. Terlihat bahwa setelah beberapa detik, agregat tanah ultisol lapisan 1 tidak terurai secara langsung. Keadaan yang sama juga terjadi pada sampel tanah ultisol lapisan 2 sehingga dapat dikatakan bahwa agregat tanah ultisol lapisan 1 dan lapisan 2 memiliki kemantapan stabil. Hal ini didukung oleh Kartasapoetra dan Mulyani (1987) yang menunjukkan bahwa tanah memiliki kemantapan struktur yang stabil apabila derajat strukturnya kokoh dan agregatnya mantap.
Tetesan air hujan untuk memisahkan agregat-agregat tanah berbeda antara sampel tanah ultisol lapisan 1 dan lapisan 2. Pada lapisan 1 tanah ultisol dibutuhkan 305 tetesan air sedangkan pada lapisan 2 tanah ultisol jumlah tetesan air yang dibutuhkan lebih banyak yaitu 567 tetesan. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan 2 lebih mantap dibandingkan dengan lapisan 1. Dengan demikian, tanah ultisol lapisan 1 dan lapisan 2 ini merupakan tanah stabil yakni agregat-agregatnya harus cukup tahan terhadap benturan tetesan hujan dan air, kalau tidak demikan tanah akan menjadi hancur dan kompak, kurang dapat melalukan air, menyebabkan tanah cepat jenuh air. Hal ini sesuai dengan Tim Asisten (2010).
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Sampel tanah ultisol lapisan 1 bestruktur prismatik sedangkan sampel tanah 2 berstruktur kubus menyudut.
2. Tingkat perkembangan struktur tanah ultisol lapisan 1 dan lapisan 2 mantap. Hal ini dapat terlihat dari agregat tanah yang memiliki struktur yang jelas.
3. Tanah lapisan 1 dan lapisan 2 memiliki keutuhan agregat tanah yang relatif stabil.
4. Setiap lapisan tanah memiliki perbedaaan kemantapan agregat terhadap tetesan air
5.2 Saran
Dalam melaksanakan praktikum struktur tanah terdapat beberapa kekurangan yang disebabkan oleh tidak tersedianya alat laboratorium yang sangat urgen. Pengamatan struktur tanah tidak menggunakan kaca pembesar (lup) sebaliknya menggunakan mata indera penglihatan praktikan yang memiliki tingkat akomodasi mata yang relatif. Akibatnya, praktikan kurang dapat melihat jelas bentuk struktur tanah, begitupun dengan ukuran dan tingkat perkembangannya. Hasil pengamatan bentuk struktur dan ukuran tanah pun hanyalah pendekatan yang memiliki nilai bias yang besar. Oleh karena itu, praktikan menyarankan agar dalam laboratorium tersedia alat dan bahan yang dapat menunjang praktikum. Asisten praktikum pun diharapkan dapat menjadi fasilitator dalam penyediaan alat.
DAFTAR PUSTAKA
Ariyanto, Dwi. 2010. Struktur Tanah. Http://ariyanto_staff.pertanian.uns.ac.id//
Diakses pada Selasa, 12 Oktober 2010 pukul 20.00 WITA.
Hardjowigeno, Sarwono. 1987. Ilmu Tanah. Jakarta. Rineka Cipta.
Kartasapoetra dan Mulyani Sutedjo. 1987. Pengantar Ilmu Tanah. Jakarta. Rineka Cipta.
Kartasapoetra, dkk. 1985. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Jakarta. Rineka Cipta.
Tim Asisten dan Dosen. 2010. Penuntun Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin.
\
Tidak ada komentar:
Posting Komentar