Senin, 10 Mei 2010

MENYIMAK TARIAN MAHASISWA

Oleh : Vivin Suryati
Mahasiswa, gelar tertinggi dalam kasta pendidikan dunia, apresiasi edukatif yang juga diamini oleh sistem pendidikan di Indonesia. Mereka yang duduk di bangku perkuliahan sebuah Perguruan Tinggi, baik swasta maupun negeri secara administratif tercatat sebagai mahasiswa. Mahasiswa, siswa yang seharusnya tidak hanya berbangga akan prestise gelar agung, Maha yang disandangnya. Sebaliknya, pelajar tingkat tinggi tersebut seharusnya mengapik diri menjadi orang –orang pintar yang menjunjung tinggi nilai intelektual dalam setiap aksi dan pikir-eksistensi. Akhirnya, para mahasiswa akan mampu mengimbangi gelar yang melekat pada diri mereka.
Bagaimanapun, mahasiswa adalah mereka kaum yang sedikit lebih beruntung bila dibandingkan dengan anak bangsa lainnya yang tak sempat mengecam indahnya dunia akademis formal karena kondisi yang serba terbatas. Sekolah, asa yang hanya akan terus menggantung. Keterpurukan ekonomi merupakan faktor utama yang menyebabkan jutaan anak hidup di jalan. Kebijakan pendidikan nasional yang digalakkan pemerintah ternyata tak sempat menjaring mereka kaum kurang beruntung untuk menyabet almamater perguruan tinggi. Sebut saja, mereka (mahasiswa) kaum terpilih. Tanggung jawab pun seakan meretas atas kesempatan menduduki posisi yang kuotanya sekali lagi tak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk di negeri ini.
Tanggung jawab sosial pun menjadi konsekuensi, suatu hal yang mutlak dimiliki oleh seorang mahasiswa yang memang selalu identik dengan idealisme. Perubahan dan perlawanan selalu saja menjadi icon dalam setiap pergerakan mereka atas segala bentuk ketidakadilan. Mereka adalah bagian dari masyarakat. Sedikit menengok ke belakang. Kilas sejarah negeri ini, peran mahasiswa sama sekali tidak dapat dipinggirkan. Praproklamasi, peran mahasiswa kedokteran STOVIA dalam membentuk Budi Utomo, sebuah organisasi kepemudaan pertama yang menjadi promotor organisasi perjuangan di era penjajahan. Soekarno, Sang proklamator notabene merupakan mahasiswa yang akhirnya menggawani bangsa ini dalam rezim pemerintahan Orde Lama. Pun, ketika kekacauan politik di Tahun 1966, mahasiswa sekali lagi tampil elegan menyuarakan Tritura yang berakhir dengan pemerintahan Orde Baru. Di akhir Tahun 1998, mahasiswa mengambil langkah reformasi atas pemerintahan Orde Baru yang dianggap sarat akan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Lalu, bagaimanakah pergerakan mahasiswa dalam menghadapi suasana reformasi saat ini? Apakah aksi massa turun ke jalan, berkoar-koar, plus bakar ban, dan lebih ekstrim lagi penyanderaan fasilitas negara (mobil dinas, kantor,dll) yang ditunjukkan pada beberapa demonstrasi akhir-akhir ini masih menjadi tren dan solusi yang tepat di era demokrasi hari ini? Apakah tindakan tidak berkelas-anarki sudah menjadi citra mahasiswa?
Korupsi yang berasal dari Bahasa Latin corruptio dari kata kerja corrumpere berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Adapun definisi korupsi menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dengan demikian, korupsi dapat diinterpretasikan sebagai bentuk ketidakadilan, penyelewengan kekuasaan, tindakan melawan hukum dan tentunya berimbas negatif terhadap masyarakat luas. Mahasiswa sebagai agen kontrol masyarakat merasa memiliki andil yang cukup besar untuk mengawal pemerintahan yang akan selalu memberikan ruang gerak bagi pelaku korupsi karena sudah menjadi teori klasik, korupsi sulit terlepas dari kekuasaan.
Saat ini, di tengah pergolakan situasi politik, sosial dan ekonomi nasional yang cenderung bergerak turun (destruktif) ternyata menarik perhatian mahasiswa. Hasil dan kajian mereka, kebobrokan yang terjadi hari ini berada pada tali yang sama, korupsi. Korupsi di Indonesia adalah sebuah fakta, bukan cerita. Hal ini diperkuat oleh survey persepsi oleh Transparansi Internasional di tahun 2001, Indonesia merupakan satu dari 12 negara terkorup di dunia. Akibatnya, dekadensi demokrasi berupa rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah terjadi pula di negeri ini. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Tak heran, issue korupsi menjadi begitu hangat di tengah perbincangan para penghuni kampus. Konstruksi pemerintahan ideal pun banyak digandrungi.
Semangat mahasiswa untuk mengusut tuntas kasus korupsi nasional yang banyak diekspos media ternyata mengundang sebuah tanya. Apakah mereka (baca: aktivis antikorupsi) benar-benar telah memahami korupsi sebelum bergerak keluar ke lingkup eksternal? Ataukah mereka hanyalah korban media yang hanya menggembar-gemborkan issu dengan tendensi tertentu? Secuil tanya cukup menggelitik, bagaimanakah kondisi internal (kampus) para mahasiswa tersebut dididik?
Dengan membangun sebuah asumsi dasar bahwa para pemimpin negeri saat ini adalah eks-mahasiswa, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa para pemimpin negara adalah orang-orang yang secara kapasitas intelektual tidak diragukan lagi . Lulusan dari berbagai universitas terkemuka di nusantara, bahkan jebolan luar negeri. Lantas hal apa yang membuat mereka yang dulunya sangat idealis sebagai pribadi bersih di kampus itu justru berbalik menjadi koruptor ketika menjadi abdi negara? Singh dalam Revida (2003) menemukan dalam penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di India adalah kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2%), hambatan struktur sosial (7,08%). Untuk kasus di dalam negeri sendiri, kelemahan moral para pejabat negara juga dapat dianggap sebagai faktor utama di atas fakta bahwa mereka adalah para mantan mahasiswa yang dalam karir akademiknya, tidak hanya cakap dalam teori dan postulat tetapi juga bergelut dalam bejibun kegiatan sosial kemasyarakatan.
Pada dasarnya, kasus korupsi berpeluang terjadi di mana saja dan pada siapa saja, tak terkecuali internal kampus. Oleh karena itu, pembenahan personal dan internal kampus merupakan prasyarat untuk membongkar kasus korupsi tingkat atas. Mahasiswa harus menunjukkan sikap antikorupsi pada pribadinya. Hal ini ditunjukkan misalnya, dengan tidak menggunakan trik curang untuk mendapatkan nilai akademik A, menerapakan sikap jujur dan transparan dalam mengelola kegiatan kampus, dan tentunya tidak mengorupsi jam kuliah untuk berdemonstrasi yang tak jelas. Pun, mereka seharusnya lebih kritis terhadap sistem yang ada di internal perguruan tinggi. Kebijakan yang dalam internal kampus seringkali berindikasi korupsi. Keadaan administratif, pengelolaan dana dan birokrasi kampus layaknya menjadi sorotan mahasiswa. Mereka harus meyakinkan bahwa diri dan lingkungan terdekatanya-kampus mereka sendiri benar-benar bebas korupsi. Dengan begitu, langkah mantap untuk membangun negeri tak akan menimbulkan skeptisme dari seluruh kalangan. Begitupun ketika menjadi pemimpin kelak dengan sejuta satu kebijakan dan masalah.
Hal yang aneh bila mahasiswa hari ini lebih banyak menghabiskan energi untuk kasus yang mereka tidak pahami secara komprehensif (menyeluruh). Cukup- headline surat kabar dan top news di TV. Kasus yang mem-booming di media seakan membawa mahasiswa ikut bereuforia di dalamnya. Kasus Century dan setelahnya penggemplangan pajak yang lebih popular dengan kasus Gayus misalnya, hanyalah segelintir kasus yang me-ranking di berbagai media yang juga menomori deret aksi demonstrasi mahasiswa. Kalau tak bisa disebut korban media, aksi antikorupsi yang mereka galakkan terbilang terburu-buru. Kini mahasiswa harus menjadi sosok yang lebih dewasa, cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual. Perlu banyak intropeksi diri dan internal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar