Senin, 12 September 2011

Detak KKN ala LASKAR MERAK

KKN Laskar Merak

_Bersama Mereka_
Pattuku Limpoe, desa yang kini dan sebulan berikutnya akan menjadi ruang bagi aku dan mereka untuk melukiskan kisah. Mereka, rekan KKN di tempat dan waktu yang sama. Baiklah, kuperkenalkan mereka yang masih satu bendera denganku, mahasiswa fakultas pertanian. Bukan baru, tapi keegoisan jurusan yang membuat kami tak sempat saling mengenal nama di megagriya belajar yang sama, Universitas Hasanuddin di awal waktu. Isra, mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah, Nunu dan Reni mahasisawa proteksi dan Adi, Kak Adi lebih pantas bagi mahasiswa Agronomi yang satu tingkat di atas kami. Selebihnya, Rizal dan Fitri masih satu program studi denganku, Teknik pertanian. Hal tersebutlah yang menjadi informasi awal bagiku untuk berinteraksi dengan dia yang jamak. Perpaduan yang kuharap akan membuat kami tetap akur sebagai mitra dalam KKN Profesi ini setidaknya hingga akhir penarikan Kuliah Kerja Nyata ini. Amin, asaku.
Ini ceritaku bersama mereka, Sang Merak.
Hujan, tetesan air yang mengguyur tanah kampung yang mahasubur. Kesegaran yang bersumber dari campuran udara dan air pedesaan yang mendingin. Aku dan mereka puas. Terdamparnya kami di kediaman pemimpin desa_Kades tak lepas dari komando kepala kecamatan Lappariaja. Suasana kurang bersahabat menjadi panorama di awal kedatangan kami di desa ini_di kampung yang banyak ditumbuhi kelapa dan kakao. Bu Desa, yang selanjutnya kusebut BuDe bagiku dan mungkin bagi sebagian yang lain mulanya menunjukkan sifat kekurangramahannya pada kami, persis seperti alur cerita KKN yang kami tahu betul berasal dari mulut mereka, para veteran KKN. Entah, sifat atau memang pembawaannya seperti itu. Namun sepertinya, angin segar mulai menyapa. Sehari di sini, aura keramahan mulai meluap. Begitulah, kepribadian seorang wanita desa.
Tujuh gelas teh terhidang di atas meja. Air berwarna, aku istilahkan. Habituasi masyarakat desa untuk menyambut para tamu. Penyesuaian diri, inilah hal yang harus aku dan mereka lakukan segera. Shock terapy bagi kami yang memang dianggap tak menguntungkan sama sekali.
Sore menghilang. Langit memerah menyisakan cahaya yang sebentar lagi akan ditelan oleh kegelapan malam. Magrib, masa yang berada di antara siang dan malam. Allahu Akbar Allahu Akbar. Adzan melantun indah, menegaskan keesaan Tuhan. Momen terindah untuk bercinta dengan Sang Terkasih. Shalat, ibadah yang akan segera membangun komunikasi umat muslim dengan untaian rasa syukur. Air wudhu segera membasahi wajahku. Kerudung shalat yang masih bersembunyi di dalam koperku segera kubidik. Kuambil segera di detik-detik akhir sore itu.
Khusuk, shalat berjamaah kini aku dirikan di rumah tuhan. Kegiatan spiritual yang sempat terlalaikan olehku di masa-masa kuliah. Lama tak ke mesjid rasanya. Di sana, kembali kulihat tarian manusia yang memuji Sang Tuhan. Sejenak melupakan aktifitas keduniaan tuk meraih setitik iman pada keagungan-Nya. Senyuman manis anak-anak kecil yang sibuk menggelar sajadahnya turut menyapa kehadiran perdanaku di mesjid dan juga di desa ini. Fitri, Rizal dan Kak Adi juga ikut menyemayamkan jiwanya dengan lantunan zikir di akhir salam ibadah itu.
Rabb, sucikan jiwa yang kian mengalpakan_Mu.


-Dunia Kotak-kotak-
Ruang tidur, lebih tepatnya kamar berukuran tak kurang dari 4x5 meter menjadi tempat peristirahatan kami di posko KKN. Koper, tas jinjing hingga tas ransel ikut menyesakkan ruang ini. Fasilitas berupa ranjang kayu dan kasur tipis menjadi alas tidur bagi aku dan keempat rekan KKN putri lainnya. Ruang dengan ukuran yang hampir tak berbeda jauh juga menjadi ‘kandang’ bagi kedua pria rekan KKN ku. Ruang tidur putri ini yang kalau dapat aku deskripsikan langsung menghadap ke bagian halaman orang nomor satu di kampung ini. Dua kusen berdimensi cukup besar kemudian menjadi rangka jendela kaca bertirai kain putih itu. Eksotisme desa pun dapat kami lirik hanya dengan menempelkan mata-mata kami di depan ruang yang sekaligus menjadi ventilasi udara tersebut. Ruang ini terhubung dengan ruang tamu yang setiap saat selalu didatangi oleh para tamu dengan sejuta kepentingan. Dua pasang sofa bertengger di sana, menjadi pijakan para tamu yang hadir silih berganti. Kupikir tak akan alpa di bawah jam sepuluh malam.
Seminggu minus satu hari. Enam hari sudah kami mendekam dalam kamar ini. Kegiatan kami pun tak jauh berbeda dengan para tahanan di lapas. Makan dengan jadwal teratur, dialog singkat dan seperlunya, selebihnya tentulah istirahat. Mantap, tapi cukup membosankan. Tak ada aktivitas lebih yang telah kulakukan dalam seperempat bulan ini selain dari survey lapangan dengan metode wawancara untuk mengumpulkan data dan juga seminar program kerja yang kuanggap merupakan hal yang cukup urgen. Aktivitas berulang dalam ruang kotak-kotak ini jelas membuatku jenuh. Rekan KKN pria, Rizal dan Kak Adi jelas sedikit beruntung karena dapat menghirup udara kebebasan di luar sana. Mereka berangkat meninggalkan posko pasca seminar program kerja yang dilaksanakan sebelum Shalat Jumat untuk kembali ke Makassar. Satu tujuan, membawa kendaraan sepeda motor, mentaktisi sulitnya transportasi di daerah ini. Sebuah indikasi level desa yang memang masih dikategorikan desa tertinggal. Kondisi geografis desa memang menyulitkan transportasi untuk menyisir seluk di desa ini.
Sedikit cerita tentang mereka. Keakraban mulai terjalin diantara kami, meski kurasa masih terdapat sedikit gap yang meretas. Tak ada jadwal dan aturan khusus tertulis yang kami buat. Memasak, menyiapkan makanan, hingga mencuci piring dilakukan secara bergerombol. Kebiasaan komunal yang mungkin menjadi pertanda retasnya keegoisan diri. Isra ratunya menggoreng, Reni si Miss Lombok dan Nunu ahli pembuat teh. Tujuh gelas teh setiap harinya tak pernah alpa. Lain lagi, mba Fitri tukang bersih-bersih. Lalu, dua putra KKN. Rizal tak perlu kubahas baik-baik, teman satu jurusanku ini cukup telaten dan sigap. Kak Adi, yang pada awalnya agak sungkan dan pemalu pun akhirnya melebur bersama kami. Satu kesamaan denganku setelah kuamati, Jago ngemil. Oh ya, sementara aku hanya ahli dalam menggosok piring bekas. Aku tak ahli apa-apa dalam hal dapur. Kebiasaaan hidup selama kuliah hanya mengenalkanku pada budaya konsumtif. Semua serba beli. Ricecooker dan kompor lapangan di pondokan menganggur dalam waktu yang cukup lama. Memasak nasi dan mie instan, pangan andalan yang setia jadi penjejal perut. Warung nasi goreng dan bakso pun jadi antrian dari sederet lokasi yang aku jejali setiap harinya di kota Daeng. Alhasil, aku puntung dapur, dunia yang menurut sebagian orang mutlak dikuasai oleh para wanita. Terserah, its my life...
Aku dan mereka juga, masih dalam dunia kotak-kotak.

Keabsenanku
Absen yang menjadi penanda awalku di KKN. Secuil kotoran hitam melekat tepat di pangkal paha, mendekat ke bokong. Noda yang kemudian teridentifikasi sebagai campuran darah dan nana_bisul tunggal itu tumbuh subur di area itu. Awalnya kukira hanya benjolan biasa yang akan menghilang dengan sendirinya, namun kemudian semakin tak dapat terkendalikan. Ia semakin membesar, seperti itulah yang kurasakan dan sempat diiyakan oleh teman KKN perempuanku. Jelas, aku tak dapat mendeskripsikan keadaan penyakit yang bercokol di bagian belakang tubuhku tersebut. Akibatnya, rasa sakit dan perih pun menjangkitiku. Back to home, sebuah jalan yang kupilih untuk mengasingkan diri, mengalpakan diri dari mereka dan lingkungannya.
4 hari 3 malam, aku mendekap di rumah tanpa aktivitas berarti satu pun. MaTi, Makan dan tidur. Setumpuk aktivitas KKN pun nyaris aku tinggalkan. Kegiatan inti, seminar kecamatan akhirnya luput dari eksistensiku. Sebuah catatan penting bagi elit kampus untuk memberiku nilai tak berhuruf A. Ooo ya sudahlah.
Bisul. Aku tak mengerti tentang apa dan yang paling penting bagaimana menyembuhkan penyakit satu ini. Memang aku bukan dokter yang akan selalu menggaungkan kalimat tua mencegah lebih baik dari pada mengobati, namun aku juga tak tahu sama sekali cara untuk memberikan perisai dan memperbaiki sistem imunitas tubuhku terhadap serangan prajurit darah kotor tersebut. Tanteku, dengan sedikit rasa iba, menjejalkan berbagai ramuan penawar rasa sakit. Obat.
Tak ada perubahan berarti dari obat yang berharga tak kurang dari seratus ribu rupiah itu. Obat yang volumenya tak lebih dari 100 ml. Sudah tiga hari aku meninggalkan posko KKN. Hal yang tak kuduga sebelumnya, pengobatan mirip bekam justru jadi penyembuh yang mutakhir. Sang empu teknik mirip bekam ini pun tak lain adalah seorang pelayan yang bekerja di rumah makan milik familiku. Aku kembali dapat berjalan tanpa rasa sakit yang berlebihan setelah menepis rasa sakit akibat terapi yang berbahan gelas, kertas dan api. Syukur kupanjatkan.
Seminggu kemudian, aku kembali terkapar. Menambah keabsenanku dalam tarian Laskar Merak.



Topeng siapa?
Mentari menaik, meninggi menampakkan keperkasaannya menggeser kedudukan bulan yang menguasai malam. Hari yang kemudian menggulung menjadi minggu dan akhirnya membentuk bulan. Hari-hari KKN telah mencapai puncak 1 bulan, kini 27 Juli 2011. Bulan yang menurutku telah memberikan sedikit banyak pelajaran untuk hidup serumah dengan sepuluh karakter manusia, 6 rekanku dan 4 orang pemilik rumah. Jiwa asing yang kemudian terpadu, berintegrasi menjadi jiwa dengan riak-riak rasa.
Semua berubah. Mungkin bukan perubahan tapi sebuah tabir diri yang kemudian berusaha menampakkan originalitas diri. Tabir “jaga image” pun mulai terkikis bersama dengan gerakan jarum jam. Segudang kebiasaan buruk pun rasanya tak lagi mampu untuk kami bendung dari raga kami. Rasa malu dan sungkan yang awalnya menjadi tameng, topeng, dan penghalang pun mulai lepas dari pijakannya. Meski dengan perlahan. Sejuta aksi, mulai dari kentut sembarangan hingga membuat tumpukan sampah bungkusan jajanan menjadi kebiasaan baru kami. Aku, pastinya jadi debitor terbesar dalam hal tabungan sampah. Kumpulan sampah yang juga terkadang jadi sahabat tidurku.
Hidup dalam dunia kotak-kotak membuat aku, Fitri, Nunu, Isra dan Reni tak hanya lebih dekat secara spasial (baca: jarak) tapi juga secara psikologis. Sedikit gap dan rasa ego tak mungkin terhapus dari 30 hari kebersamaan kami. Itu hal yang lumrah tapi itulah bumbu dalam perjalanan kedewasaan kami. “Aku adalah aku dan kamu tetaplah kamu, namun kamu dan aku berada dalam kekitaan”, sebuah pegangan yang tetap membuat kami akur. Akh, banyak cerita tentang mereka.
Kebiasaan tidur di malam hari. Mendengkur, mengigau, menggerutukan gigi hingga membentuk peta di pipi bukan rahasia lagi. Topeng siapa? Super Rahasia yang tak mungkin terekspos, cukup aku dan mereka yang tahu.
Oh ya, ganti nama pemain. Pemain pertama, Kak Adi ganti Kak Anca. Sekedar untuk memecah kesungkanan, Kami sepakat untuk menggunakan sapaan Kak Anca saat matahari nongol dan Kak Dian saat mentari mengabur. Dian untuknya pantas dengan sifatnya yang agak-keperempuanan, sengaja atau tak sengaja. Tapi, memang cantik sih kalo memang bisa didandanin. Harapku, Peace Kak.. Tak masalah, nama lengkapnya memang Adiansyah Azhari. Peserta kedua yang ganti merk adalah Fitri, cewek dengan perawakan tomboy ini pun tak begitu saja lepas dari pantauan kami. Nama baru buatnya pun siap. Sama dengan Kak Anca yang memiliki dua nama dengan patokan waktu, Fitri pun rela dan harus ikhlas menerima sapaan Mba di pagi hari dan Abang di malam hari. Lain lagi Peserta ketiga, Rizal ganti dengan Mr. Ribut, peserta KKN satu ini sangat familiar dengan suara kerasnya. Hampir memekakkan telinga setiap lawan bicaranya. Telusur, kebiasaan menjejal telinga dengan headset mungkin jadi pemicu perubahan volume suaranya. Tanpa kontrol. Untuk sejauh ini, peserta yang lain belum siap ganti nama. Aman bos, tapi Apapun nama-Mu, minumnya tetap teh cangkir,..Nunu red.
Posko 9, umbul-umbul yang senantiasa aku dan mereka kibarkan. Warna berbeda yang kemudian menyatu dalam gradasi keindahan. Terlalu banyak waktu yang tersisakan oleh kegiatan kami yang hanya berkutat pada penyuluhan dan mengajar. Pengisi waktu kosong di malam hari, apalagi kalau bukan main kartu. Aturan permainan termasuk hukuman pun beragam. Mulanya, hukuman bagi Si Kalah hanyalah duduk jongkok tapi kemudian berkembang dengan berdiri, menjunjung bantal, hingga akhirnya menemukan hukuman andalan “mengenakan helm” yang kemudian disakralkan dengan dokumentasi kamera ala telepon genggam. Bau helm yang kupastikan akan menimbulkan aroma baru bagi rambut. Terjamin Anda harus kembali keramas. Apalagi, dengan “helm merah” yang merupahan helm terkeramat bagi setiap pemain. Bukan hal yang lain, baunya minta ampun. Milik siapa tuh? Untunglah, aku tak terlalu intens dalam permainan ini. Isra dan Mba lah yang sepertinya menjuarai pengenaan penutup kepala superbau tersebut. Ooo, mantap kata seniorku.


Di luar Kita
Cerita seputar dunia mistis pun tak boleh dilewatkan begitu saja. Desa berkembang dengan ritual dan mitos yang mungkin telah dinafikkan oleh sebagaian besar manusia yang menganggap dirinya modern tak terkecuali para mahasiswa KKN. Kalimatku, di luar kita. Terlalu banyak kabar tentang mereka yang tak selalu terjamah oleh mata_mistis yang mengalir dari satu posko KKN ke posko KKN lainnya. Berkumpul hingga membentuk kekuatan supermagic yang tak akan pernah bisa dicerna oleh otakku. Tapi seperti halnya gossip artis yang terus tayang di TV, cerita mistis pun tak luput dari bumbu-bumbu tambahan alias kalimat superrekaan. Bumbu penyedap untuk mempermantap cerita katanya. Nyaris Tumpah.
Konon. Sengaja kugunakan kata ini untuk mengkonotasikan kata yang terujar dari mulut ke telinga ini. Ada posko yang salah satu anggotanya kesurupan setiap malam Jum’at, suara hentakan kuda setiap malam rabu dan Jum’at dan suara makhluk tak berwujud yang menaiki tangga rumah panggung. Plus, ritual kelambu kuning dan putih yang dilakukan oleh seorang pemilik rumah yang sekaligus menjadi posko bagi rekan-rekanku di desa X. Semua cerita tersebut rupanya cukup menarik untuk diterbangkan oleh burung yang mengudara ke posko kami. Posko yang hampir saja ikut mendaki menggapai tingginya gunung.
Keberadaan makhluk di luar kita. Kalo yang satu ini, cukup tersorot oleh Nunu, rekan KKN yang tumbuh dan dibesarkan dengan budaya kota. Budaya kota yang mungkin meng-alpakan kalau tak dapat disebut sebagai pengabaian dunia lain. Problem utama dan terutama menurutku, Nunu dan rasa takutnya.
Kusen yang mebingkai jendela dengan teralis besi sebagai pengaman itu jadi bagian utama. Belum lagi WC yang menyatu dengan dapur dan terletak di bagian terbelakang rumah menjadi daerah ekstrim baginya di malam hari. Sayang, Urine yang telah tertampung di kandung kemih tak selalu meloloskan rasa takutnya itu. Akibatnya, dia butuh rekan yang akan menemaninya ke ruang yang kujamin mengalirkan rasa ketakukan yang tak biasa. Terangnya cahaya lampu ternyata tak sukses untuk mengusir sebagian rasa takut yang sebenarnya tercipta olehnya sendiri. Isra atau fitri pun setia jadi pengawalnya. Mengganggu tidur pulas keduanya, kuyakin. Isra sebenarnya juga berada pada level ketakutan namun sedikit berada di bawah zona ketakutan yang dimiliki Nunu. Sebelas duabelaslah. Kalo mba Fitri, jangan ditanya. Lolos.
Kuingat, di awal kedatangan kami. Di awal malam maksudku. Suara aneh yang hanya ditangkap oleh indera pendengarannya itu membuatnya terbangun di malam hari dan berusaha mematikan rasanya dengan menutup kedua matanya. Keesokan paginya, ketika langit masih memerah, Nunu dengan selangit rasa penasarannya mencari jejak suara yang dinggapnya tak lagi lazim itu. Aku dan yang lainnya pun berusaha untuk menenangkannya. Bukan menenangkan, tapi lebih ke tindakan pemberian petuah ala gadis desa. Mereka pasti ada tapi bertoleransilah. Iya, semua akan baik-baik saja bila tak ada yang merasa lebih dari yang lain alias Takabur. Ok, I’m fine.
Terakhir, Nunu mendengar suara jeritan yang besar dan perlahan menghilang di bagian belakang rumah. Menghilang di balik rimbunnya daun pohon kakao yang mencoklat. Kondisi mental inipun tak disia-siakan oleh Kak Anca untuk mem-boomingkan cerita-cerita hantu serial terbaru. Cerita yang sungguh membuatku mual. Dasar…

Aku dalam Potret-Nya
Foto. Dokumentasi sesaat yang dapat merekam segalanya. Deret cerita lewat gambar. Hampir semua aktivitas kami terekam lewat kamera Handphone. Maklum, kamera digital tak menjadi persiapan kami di hari yang lalu. Kami luput dan akhirnya harus puas dengan kemampuan kamera telepon genggam yang tak lebih dari 3,5 megapixel itu. Ekspresi tergambar dalam setiap potongan foto dalam berbagi fose. Handphone andalan masing-masing menyimpan gambar yang dianggap menarik. Menarik untuk disimak..
Aku dengan sekelumit kegiatan ala KKN pun tak luput dari terkaman alat optik tersebut. Cepretan kamera yang akhirnya sempat mencuatkan satu negative image untukku dan kak Anca. Kegiatanku mengajar, bukan tapi bermain dengan anak-anak Pak Desa di hari kedua KKN-ku didokumentasi tanpa ijin oleh mahasiswa semester 9 ini. Setidaknya ada 3 foto aktivitas social awalku itu yang kemudian dilanjutkan dengan foto-foto survey lapangan yang aku, fitri dan dia lakukan bersama pagi itu. Kumpulan foto kehadiran diriku yang intens di HP Kak Anca pun segera digubris oleh Nunu dan Reni. Mereka memberikan warning kepadaku. Shock. Klarifikasi pun segera kulakukan. Foto-foto survey memang banyak menampilkan aku sebagai aktris sebab akulah yang mewawancarai warga sementara penanggungjawab untuk mengambil gambar adalah Kak Anca. Foto aku yang sedang bermain dengan ketiga kolega kecil pak Desa pun dapat kubenarkan lantaran Kak Anca memang berada di ruang tamu, ruang yang menjadi spasio bermain aku dan sang bocah kala itu. Sebuah tindakan iseng yang didukung oleh rasa tidak sadarku. Clear kan? Konsumsi pribadi. Tak lebih. Potret yang kuharap itu akan menjadi kenangan baik diantara aku, kamu dan dia di hari kemudian.
Kamuflase foto tak juga usai di sini. Reni dan rekan satu profesinya, Nunu pun tak berhenti melancarkan serangan ke arahku. Selalu dan selalu. “He likes you”, papar mereka berulang yang diikuti dengan alibi penguat argumen. Untunglah, Fitri dan Isra juga sepakat menjadi Miss No Comment. Secepatnya, kalimat ampuhku mengudara untuk menghindari kondisi yang terbangun dari tak sekedar prasangka itu. Kuujarkan “Semua biasa-biasa saja” untuk mengakhiri dialog tak penting itu. Kak Anca yang sudah memiliki teman dekat yang terbilang cantik itu memang tak kunafikkan juga memiliki pesona. Pemandangan klasik. Namanya juga makhluk.
Sebuah hal yang wajar dan sangat lumrah memang bila muncul rasa kekaguman diantara aku dan mereka. Kekaguman yang dapat saja membuncah lewat kebersamaan. Meski sesaat dan akan pudar bersama waktu. Akhirnya walau belum tuntas, Duo Nunu-Reni men-stop aksi menjodohkan aku dan Sang Senior yang dianggap mereka cukup klop. Tapi berkebalikan dengan mereka, aku sama sekali tak merasakan sinyal dengan gelombang dan frekuensi yang serupa. Kalau dipaksakan untuk dipikir-pikir sekalipun, kesamaan hanya ada pada warna kulit kami yang agak terang. Just it, no more.
Laskar Merak meski juga tak bertelanjang telah mempertontonkan cerita lewat potret-potret illegal yang secara bergantian dilakukan oleh para personilnya. Acak dengan sejuta warna. Merah, kuning, hijau berbaur.
Aku dalam potret-Nya, tak begitu istimewa. Biasa-biasa saja.

Cinta Fitri Sesi Kum_Kum
Kisah hantu dan makhluk halus lainnya sudah terasa bosan bagi kami, Basi. Lanjut kisah asmara. Uii prekitiew,,
Kisah percintaan Romeo dan Juliet pastinya tak akan ditemukan di sini. Apalagi kisah romantic ala Raja India pembangun Taj Mahal, Never ever dech. Tapi tunggu dulu, kopian kisah asmara ya tetap ada pastinya. Tebak siapa dia? Sabar, ini dia ceritanya.
Interaksi. Jadi pemicu. Pertemuan dengan orang dan lingkungan yang serba baru. Menilik asal-usul percintaan, maaf aku bukan expertnya. Tapi akan kucoba membahasnya secara proporsional dengan teoriku sendiri. Sepakat? Up to me.
Mata. Kami peserta KKN_laskar Merak juga manusia. Manusia yang seharusnya bersyukur atas karunia luar biasa dari Sang Pengamat Sejati, Tuhan. Kado teristimewa sebagai makhluk yang dapat menikmati keindahan buana indah melalui mata mata kami. Mata, indera penglihatan yang kekuatannya melebihi kamera megapixel apapun di dunia ini. Mata_superkamera itulah yang membuat aku dapat memotret sejuta objek dan menyimpannya dalam memori otak. Tanpa batas dengan pantulan cahaya tentunya. Mata, yang kuyakini telah membantu aku untuk membaca alphabet A hingga Z, mengenal angka 0 sampai 9, dan membedakan hitam dan putih hingga zona abu-abu. Dengan mata aku menganal manusia lain yang tentunya tidak sama denganku. Itulah mengapa mata kusebut sebagai harta termahal yang dimiliki oleh setiap insan. Tak akan mungkin kutukar dengan barang terlux di dunia ini. Weiits, lalu apa kaitannya dengan Laskar merak? Mata, mengantar kami mengenal pesona.
27 Juni hingga 27 Juli 2011, tepat 30 Hari. Tiga puluh hari yang setalah kukalkulasi setara dengan 2.592.000 detik ini senyatanya telah menyimpan berbagai fragmen foto kehidupan kami_Sang Laskar Merak di desa yang terletak di kaki gunung. Seberkas cahaya dari Sang mentari telah mengenai beragam objek dengan aneka warna dan kemudian terpantul ke mata-mata kami. Ya, mata kami adalah lensa. Cermin yang selanjutnya akan memberikan respon tentang baik dan buruk. Cukup,,, Dari sekitar dua setengah juta detik tersebut, kami berinteraksi satu sama lain, berinteraksi di luar dunia kotak-kotak. Kegiatan utama KKN, penyuluhan di empat dusun di desa ini memaksa kami untuk berkomunikasi lebih dengan warga desa. Matalah yang membuat kami mengerti, mengenali, dan memahami makna pesan yang tertangkap pada lensa megapixel itu. Mata dan Hati, Pesona dan Rasa. Itulah bagian yang kumaksud. Penyuluhan yang berulang-ulang memberikan kami peluang untuk menebarkan pesona masing-masing. Pesona Laskar Merak yang elok karena paduan warna yang dimilikinya. Mereka menyimak lewat mata. Satu alasan, penguasaan Bahasa Bugis kami terkecuali Reni masih sangat minim. Komunikasi verbal yang sangat sayang aku lewatkan sebagai gadis berdarah Bugis.
Fisik adalah hal yang paling mudah untuk dicerna oleh mata. Mata dapat memberikan apresiasi atas apa yang telah ditangkapnya. Penilaian cantik tidaknya objek jelas adalah hasil kerja dari mata yang kemudian diaminkan oleh otak. Tak salah karena image memang terbentuk darinya. Begitupun dengan mereka, para warga desa. Pesona atas keindahan yang dengan sadar kami hadirkan kemudian ditangkap oleh mata mereka. Pesona kami atau salah seorang, salah dua, atau bahkan salah tiga dari kami mulai membias ke langit-langit desa.
Kum-Kum adalah cerita asmara awal. Hasil jepretan kegiatan seminar program kerja yang diadakan di kantor desa kini jadi tontonan kami di computer jinjing. Teramati baik-baik pada karya visual itu, posisi demi posisi. Seketika, hasil simakan menghasilkan celotehan dan cuap-cuap yang lebih mirip dengan celaan luarbiasa dari mulut-mulut kami. “Maccallako sempurna”. Satu objek jadi sorotan. Pria berkumis dengan jaket hitam selalu mengikuti posisi Fitri. Wets, Kum-Kum singkatan dari KUMIS. Fitri pun tak mampu melakukan konfirmasi atas gambar-gambar itu. Bukan tak mampu tapi tak boleh. Kini arisanmu saudara..
Jejak Kum-Kum tak berhenti di sini. Kunjungan ke rumah Mr.Kumis pun berlanjut. Sampai dua kali anggota Laskar Merak berkunjung ke sana. Dengan suguhan setianya, es manis berwarna cerah, kuning dan merah jambu, Pak Kumis menjamu kami. Tuturan dengan dialek Negeri Jiran masih kental pada dirinya. Dapat dipastikan dirinya pernah mengadu peruntungan di sana. Hasil survey kami membuktikan bahwa mayoritas warga desa ini memang kebanyakan pernah bekerja di Malaysia. Lanjut. Pesona Fitri, asal soppeng dan Isra, gadis Bau-Bau ternyata melekat di memorinya dan yang lain lewat meskipun keduanya tak hadir di tempat. Hal itulah yang dapat aku tangkap dari arah perbincangan dengan dirinya yang sekaligus menjadi tokoh masyarakat di kampungnya. Terpaksa, dengan rasa malu yang membumbung, aku dan tim laskar lainnya Rizal, Reni, Nunu dan Kak Anca yang saat itu hadir di kediaman Kum-Kum dan keluarga memperkenalkan nama dan asal kampung kami masing-masing. Nunu asal Makassar, Reni asal Pinrang, Kak Anca dari Bulukumba dan Aku sendiri berdomisili di kecamatan Lappariaja yang juga masih merupakan daerah administrative kampung ini. Bedanya, rumahku berada di Desa yang berbeda, Patangkai ibukota kecamatan.
Kum-Kum, yang maaf dengan segala hormat tak dapat aku sebutkan identitas aslinya inipun rupanya sangat ingin dekat secara emosional dengan laskar Merak. Bukti konkret, setelah kunjungan di rumahnya siang itu, ia dengan pakaian andalannya balik berkunjung ke posko pada sore hari. Entah dengan tendensi apa. Sekedar basa-basi atau memang undangan, memanggil kami untuk melihat suasana kampung yang masih berada pada agenda perayaan tujuh belas agustusan. Pun, saat penyuluhan ia hadir sekali lagi dengan kostum andalan yang kemudian secara diam-diam kami abadikan dengan kamera HP. Maaf, kami tidak bermaksud hanya berniat Pak. Asyik, cecandaan sesekali pun kami lontarkan pada dua tokoh utama Fitri dan Isra. Keduanya pun kikuk. Puncaknya ketika Isra harus membawakan materi penyuluhan pembuatan kompos. Mata, menyorot bagai lampu jalan. Luar biasa, pesona kalian,…
Kum-Kum dan es lilinnya berakhir di sini, tapi tidak di posko. Baju pink yang jarang atau sama sekali tak pernah kulihat mengena di tubuh padat gadis berdarah Jawa itu sebelumnya, beberapa kali digunakannya di posko. Peluru baru yang siap kutembakkan ke gadis yang ahli karate ini. Pesona yang kupaksakan untuk dikaitkan dengan segala hal yang berbau Tuan Kum-Kum. Inikah cinta Fitri sesi 7 yang tayang di laptop ? Kita lihat saja nanti.

Bocil Vs Vampir Cina,,,
Malam menanti. Dinginnya angin pengunungan yang berhembus tak mampu lagi dibendung oleh jaket tebal yang menyelimuti diri. Terlalu dingin. Sunyi, tanpa aktivitas apa-apa setelah jam makan malam jam delapan tadi usai. Hanya longlongan anjing rumah yang menggema. Sesaat kemudian, anjing-anjing lainnya ikut berseru spontan, seakan menyoraki kami untuk tidak terus bersembunyi di balik dinginnya hempasan udara bergerak itu. Juga kehampaan, rasa yang mendera di dada. Rasa yang kemudian membangkitkan harapan untuk tak lagi berdiam diri. Keluar dari dunia kotak-kotak. Segera, Kertas tebal berpress itu_Kartu melekat pada tangan-tangan kami. Bermain di teras rumah yang sesungguhnya membuat kami sedikit berani mengadu nyali dengan suhu udara yang kurang bersahabat. Reni, tak berani melawan udara itu, terus mendekam dalam dunia kotak-kotak sambil bercuap dengan handphone miliknya. Kesadaran akan resiko yang dia dan juga aku yakini dapat men-drop kondisi kesehatan. Meski ikut bertandang di luar, Aku sendiri tak ikut bermain, hanya duduk di satu dari dua kursi yang menganggur di bagian depan rumah itu. Mr. Ribut menyontek, duduk di kursi lainnya dan ikut menyaksikan keindahan bintang yang berhamburan di langit. Keindahan yang jarang kunikmati di kota Daeng. Satu, dua kali menyumbang celaan pada pemain kartu kurang pihawai yang bernasib kurang beruntung.
Handphone, pusaka yang tak hanya menjadi sumber informasi tetapi juga merangkap menjadi benda penghibur bagi kami. Audio berisi lagu-lagu dengan berbagai jenis aliran music mengalir dari benda elektronik itu. Menyibakkan lirik-lirik percintaan yang kuanggap cukup basi. Namun tidak bagi keempat pemain kartu ini. Mereka seakan larut dengan untaian kata-kata Sang puitis. Tak ada lagi keluhan udara dingin meski hanya dengan lapisan sarung sebagai penambal jaket. Kak Anca, Mr Ribut dan Fitri tak sungkan menggulung sarung yang dikenakannya. Sesekali membolak-balikkan kain lokal tersebut. Kalian bertiga lucu, mirip sekali dengan penjaga pos ronda. Rasa takut pada dingin pun segera sirna. Pupus.
Indahnya panorama langit yang tertangkap oleh kedua mata kami semakin disyahdukan dengan hentakan kecil music yang terus berkomat-kamit. Hingga,
“Berikan cintamu, juga sayangmu, percaya padaku ku akan menjagamu hingga ujung waktu…….” Sudah, jujur aku tak tahu lirik selanjutnya.
Kalimat puitis yang kini menjadi penghibur dari musik Band Ungu.
Tunggu sebentar, ada perubahan yang tak kuperhatikan. Isra, ia memohon manja untuk tak melanjutkan lagu yang sedang terputar oleh telepon genggam Kak Anca. Whats wrong guys? Ditanya kenapa, jawabannya Dua kata. Jangan dan Ganti.
“Jangan, jangan, pokoknya jangan. Ganti, ganti, ganti!!!
Sesegera, tangannya berusaha meraih HP merk Samsung setelah komandonya tak diindahkan siapapun. Namun gagal, Kak Anca jauh lebih sigap
“Iya, diganti”, Kak Anca segera connect. Tumben,,
“Kenapakah?” lanjutnya penasaran sambil menekan keypad telepon selulernya itu.
Keusilannya kembali. Lagu dengan lirik yang sama terulang kembali, segera Isra histeris. Menjerit. Ganti!!!
Permainan berlanjut. Kunikmati keindahan malam, bersama sahabat-sahabat baruku. Bersama permainan dan candaannya. Puas dan sedikit rasa kesal yang tersisa.
Lagu yang tak kutahu pasti judulnya itupun selalu menjadi jurus ampuh kami untuk menaklukkan si Bohai, Isra. Bohai, kata yang agak kami pelesetkan dari julukan bocil yang diberikan oleh Kak Anca pada Isra. Bocil. Bondeng dan Kecil. Bondeng yang merujuk ke arti gemuk. Bodi mahasiswi Jurusan Ilmu Tanah ini memang semakin memadat, montok semenjak KKN. Deskripsi kegemukan yang ikut diaminkan oleh aksi puasa dietnya. Kondisi badan yang dianggap sangat kurang ideal ini juga dibenarkan oleh foto-foto pra KKN yang ada di HP miliknya. Selanjutnya, kecil yang kutafsirkan lebih mengarah ke postur yang kurang tinggi, juga sepertiku. Semampai. Satu Setengah meter tak Sampai. Bocil atau Bohai, sama saja. Rasa penasaran Kak Anca alias Vampir Cina itu semakin deras seolah mengikuti aliran arus sungai di tepi kampung.
Oh ya, Sejarah pemberian nama Vampir Cina juga harus diuraikan biar impas. Warna kulit yang agak terang (baca: putih tapi tidak bersih, hehehe) dan mata yang sipit membuatnya tampak seperti peranakan cina. Kopiah, penutup kepala dengan desain kain teruntai di bagian tengah atas plus sarung berwarna terang yang menjadi seragam andalan ketika menuju Rumah Tuhan itulah yang membuatnya menyerupai hantu khas Cina, Vampire. Jadilah ia Vampire Cina. Sisanya, tunggu keahlian melompat yang belum diperagakannya. Cerita vampire Cina dan si Bohai terus berlanjut. Pertikaian lantaran lirik lagu yang memang sengaja diputar. Sudah diskenariokan matang-matang. Sematang usia Vampire di Negeri Panda. Mulai dari jam makan, istirahat hingga malam pembuka tidur apalagi, jadi momen teristimewa untuknya. Kalau sudah begini, Isra pun tak akan membuat jurus baru. Cukup dengan stop bicara, mengurung diri di kamar, dan kalau tak bisa dibendung lagi ya, akhirnya terluapkan ngenge deh (menangis). Puas pun semakin dikantongi si Vampire.
Bohai dan Vampire, dua mahluk yang terus berseteru di perguruan komedi laskar Merak. Kami, seringkali tanpa aspek kesengajaan melagukan kembali lirik-lirik itu seakan tak mengindahkan keberadaan rekan kami, Isra. Spontan, ia pun menunjukkan rasa kekurangsukaannya. Respon, yang dapat kami tangkap dan segera menyadarkan kami untuk segera menutup mulut. Tapi sobat, kalau boleh melakukan pembelaan semua itu bersumber dari doktrin Vampir Cina yang selalu memutar lagu itu setiap kamu tak bersama kami. Percaya atau tidak, minumnya tetap teh cangkir,,,
Tapi bukan Isra namanya bila ngambek lama-lama. Tak tahan sama godaan Mba Fitri. Iya kan? Marahnya malam, paginya sudah lenyap. Sekejap. Alhamdulillah, kata ustad Maulana. Baiklah Jamaah, kisah selanjutnya, masih berbicara tentang rasa tidak suka. Aktor dan aktris yang sama. Isra dan Kak Anca. Namun dengan cerita yang agak sedikit berbeda. Kompos. Penyuluhan tentang pembuatan pupuk organik itu, membuat sang Kreator untuk segera mengumpulkan bahan organik. Jerami pun dipilih lantaran menjadi potensi terbesar di tempat penyuluhan kami, yaitu padi. Wadah berupa ember berpenutup, kotoran sapi, larutan gula, hingga bioaktivator pun telah siap. Sisanya, jerami. Perintah untuk mengambilkan jerami pun dengan cepatnya terkomando ke Kak Anca. Perdebatan yang acapkali berulang menjadikan mereka partner yang cukup akrab. Kakak dan Adik. Kak Anca pun tak segan mengutak atik muka si Bocil, sapaannya. Mengacak rambut hingga menempelkan tangan ke dahi kalau tak bisa disebut dengan tamparan lunak sudah menjadi pemandangan biasa yang akan berakhir dengan kata khas Isra yang bernada jengkel. Ihhh,…Peran yang mungkin hanya diperankan oleh sepasang adik kakak. Akrab, untunglah. Eh ceritanya kok belok ke kanan sih. Apa sih, apa sih?
Aura manja dan pesona Isra yang biasanya berbinar kian meredup di awal pagi. Redup lampu tak lebih dari 5 Watt. Bisa ditebak. Satu sebab dan alasan, komando Isra ternyata tak digubris Kak Anca hingga hari H penyuluhan kompos. Iya, hari ini. Kesal dan bosan mungkin. Vampir kali ini juga kurang sensitive. Pukul 09.00, Time is over, saatnya melompat, go. Bukan, tapi siap jadi tukang ojek bagi kelima rekan KKN putri. Tarik Bang,
Reni dan Nunu, kedua mahasiswi Jurusan Proteksi dan Penyakit Tanaman ini sudah siap. Dandanan modis dan pakaian sepadan yang dianggap pas sudah memoles wajah dan badan mereka. Begitupun dengan alat dan bahan pembuatan pestisida nabati milik mereka. Penyuluhan Pertanian Terpadu untuk Tanaman Padi. Kami siap, tapi tidak untuk Isra. Jerami belum ada di sisa-sisa detik, lalu? biarlah angin yang berbisik.
Langkahku dan Fitri tergagap oleh bongkahan batu dan beceknya jalan akibat hujan yang baru saja mengguyur tanah berbatu pagi ini. Satu tujuan, menuju tempat penyimpanan jerami. Letaknya tak jauh dari posko, kira-kira dua ratus meter. Dua ternak sapi ikut berkandang di sana. Entah milik siapa. Tak peduli, rasa iba kami mengalahkan rasa hormat kami pada pemilik jerami. Pun, kedua sapi itu tak menghentikan kami untuk mengambil sekantong jerami tanpa izin. Kedua sapi itu hanya menjejalkan kedua bola mata yang semakin membulat. Mengiyakan atau mungkin saja membenarkan aksi nakal sok pahlawanku ini. Saatnya kembali ke posko. Aku menuruni tangga tempat penyimpanan jerami itu, kembali mata sepasang ternak itu memelototi aku dan fitri yang sudah berani menjadi Rua Pallukka. Pengalaman kotor yang akan membuat malaikat Pencatat Amal Buruk merekam aksiku minusku di awal hari itu.
Belum sampai kakiku menyentuh tanah, Isra datang dengan mata yang berbinar. Berkaca dan setelah itu siap menurunkan air mata. Perlahan. Bukan terharu, tetapi berusaha menghentikan aksiku. Tak usah katanya. Tak ambil pusing, kuturuni tangga secepat kilat, pulang. Kembali jalan becek menghampiri. Tepat di depan halaman depan posko, dua motor dengan pengendaranya siap mengaungkan media automobile itu, mengacuhkan wajah kami yang tak lagi menebar ria. Bergerak. Kak Anca tanpa banyak pengakuan rasa bersalah pun hanya menunggingkan senyum yang semakin membuat Isra kesal. Tak diliriknya. Andai kau tahu senior…
Penyuluhan keempat dan merupakan penyuluhan terakhir di desa ini. Berakhir. Jumlah petani yang hadir di penyuluhan pun semakin merosot drastis, tak lebih dari delapan orang. Namun tak memudarkan ambisi dan semangat kami untuk tampil mendekati noktah kesempurnaan. Anggota Laskar Merak yang bertugas memberikan pelatihan pembuatan kompos, Kak Anca dan Isra tampak kompak. Bagai tak terjadi apa-apa. Rasa kesal tidak tertumpah di sana setidaknya hingga akhir penyuluhan. Syukur dan salut, jiwa profesionalitas masih dijunjung tinggi. Esoknya, Isra kembali tersenyum, dan lusa siapa yang tahu. Perguliran waktu yang membuat Kak Anca_mahasiswa agronomi angkatan 2007 ini kembali berulah…

Miss Ring-Ring
Telepon berdering. Nada panggil HP ber-merk dagang Nokia itu berbunyi sejenak memecahkan kehampaan dunia kotak-kotak. Nada yang diikuti dengan getar. Semua tercengang dari tidur siang yang cukup pulas. Geger. Tak lama berselang, tangan itu meraihnya. Diikuti permohonan maaf atas keriuhan yang ditimbulkan alat komunikasi itu. Mengnggangu, sangat dan selalu.
Ok cerita tentang Ratu telpon alias Miss Ring-Ring. Reni, sesuai dengan julukan yang disandangnya, Gadis yang satu ini tak akan pernah rela bila harus berpisah dengan HP miliknya. Maklum saja, hubungan jarak jauh telah lama dijalaninya dengan seorang lelaki yang katanya berada di kota Palu, Sulawesi Tengah. Alhasil, HP adalah satu-satunya media komunikasi audio mereka. Ooo pantat hasan. Pantasan saja, ia tak rela melepas telepon yang berarti melepas kabar dari sang terkasih. Telepon atau sekedar pesan singkat dengan durasi dan intensitas yang cukup tinggi pun tak terhindarkan. Mirip resep dokter cinta, minimal 3x sehari. Pagi, sore dan malam. Telpon itu pun kembali bernyanyi.
Miss Ring-Ring dan teleponnya. Sebuah cerita yang tercipta dari telepon. Kerja bakti di mesjid dusun. Mesjid yang kapasitas muatannya lebih cocok disebut musallah itu akan menjadi tempat perayaan Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw. Selebrasi yang dianggap sakral oleh warga desa. Isra, Reni, Fitri, Nunu Rizal dan Kak Anca bersegera menuju tempat suci itu. Dua orang membebek, satu orang berperawakan kurus hitam kering yang hingga akhir sesi cerita tak juga kutahu namanya. Lainnya lelaki dengan pakaian gamis yang membalut tubuh mungilnya dan hampir-hampir saja menyapu lantai itu, selanjutnya kami sapa dengan kak Idris. Baju gamis yang membungkus kulit yang gelap itu juga mengenakan celak di mata. Mode yang kemudian menjadi bahan celaan bagi kami, para intelektualis gossip. Siapa yang menyangka.
Aktivitas bersih-bersih dengan 6 tambah dua personil itu pun terlaksana. Sempurna. Inventaris musallah, eh salah masjid maksudnya berupa piring-piring dan alat makan lainnya pun sudah bersih tercuci oleh tangan-tangan lentik Laskar Merak. Lantai juga sudah sedikit bersih. Setidaknya warna lantai tak lagi seburam yang dulu. Siap. Dua personil tambahan itu, juga menikmati pekerjaan barunya. Senyum mengambang, entah dengan makna dan maksud apa. Pendekatan ala lelaki desa pun kuyakin tak lepas dari agenda kedua lelaki itu. Akrab, itulah yang kumaksud. Tak lebih.
Sesaat setelah kegiatan itu. Maaf aku tak dapat merekamnya karena saat itu aku absen dari kebersamaan Laskar Merak. Sebuah nomor baru muncul di layar HP Miss Ring-Ring. Seperti biasanya, diangkatnya dengan hati-hati. Telepon dari kak Idris yang diminta untuk disambungkan ke Bu Desa. Intinya, masalah ayam potong. Sejurus kemudian dengan interval waktu yang juga tak sempat aku catat baik-baik, panggilan kedua mengantri. Bak tamu khusus buat Miss Ring-Ring. Mimik manis pun dipasangnya. Entah komunikasi apa yang terjadi. Ia menikmatinya perlahan tapi tak lama. Dari raut wajah itu, kami tahu sesuatu diluar kendali tlah terjadi. Fans misterius mungkin. Hal yang kuanggap lumrah. Tapi tidak, segera telepon itu ditutup. Dengan sedikit arogansi diri, Miss Ring-Ring pun berusaha menebak identitas lawan bicaranya itu. Tebakan yang diyakininya one hundred percent. Orang itu, orang yang baru. Bukan yang lain. Dia. Rizal yang diyakini memberikan nomor teleponnya itupun jadi sasaran kemarahannya. Kemarahan yang kuyakin juga menghadirkan sedikit rasa bangga. Wanita, kutahu. Sekitar 3 hari ke depan.
Gadis dewasa yang karena kejadian di telepon genggamnya itu pun berusaha menjaga jarak dengan pria yang kumaksud itu. Pria yang ternyata masih kerabat tuan rumah, lebih tepatnya kemanakan Bu Desa. Jaga jarak di awal namun kemudian berusaha tampil biasa-biasa saja. Sikap ramah dan wajar. Harapanku dan asa kami semua. Benar, ia banyak membantu urusan kami selama berada di desa ini. Keakraban yang kurasa ingin dia bangun pada “Ia” yang dingin. Hati yang mudah terbolak-balikkan, Tuhan. Sehari sebelum Ramadhan datang, kembali Miss Ring-Ring menelan ludah, memohon bantuan sang terdakwa.
Berbeda dengan Miss Ring-Ring yang terbiasa mengoceh di telepon genggam, aku juga sempat meleduk. So, I am a new Miss Ring-Ring? It’s right. Sepertinya. Harimau menerkam. Setajam kata yang terlontar dari mulut. Emosi yang rupanya melebihi keganasan binatang hutan itu. Aku, aku dan ketidakstabilan jiwaku. Pagi ini, 31 Juli 2011.
Pukul 08.00, jam dinding yang menggantung di ruang tamu itu mengiyakan kebenaran penglihatanku terhadap waktu. Mata rabun yang terus berkontraksi untuk memaksimalkan daya penglihatanku. Menyipit dan tiba-tiba melebar bak melihat hantu. Diikuti lontaran kalimat yang mirip sumpah serapah. Mirip dukun yang terus membacakan mantra pasien kesurupan. Sebut saja, Nenek Pakande, hantu yang menjadi cerita di masa kanak-kanak. Korban kemarahanku kali ini adalah Mister Ribut.
Seminar hasil program kerja yang rencananya dilaksanakan pukul satu siang nanti di kantor kecamatan jadi biangnya. Ia dengan sengaja tak memasukkan draft Bubuk Kakao yang telah kubuat ke dalam program Kerja. Mister Ribut, koordinator desa yang masih satu bendera Teknik Pertanian denganku itu dengan lugasnya menjelaskan alasan yang kuanggap sangat tidak rasional. Di luar akal kawan. Melayang di udara dan selanjutnya memantul ke telingaku. Dengarkan alibi yang dibangunnya. Simak dan jangan sampai terlewatkan.
“Saya kira bubuk kakao itu ke THP (baca: Teknologi Hasil Pertanian). Lagi pula bahan presentasi Tekpert dibagi dua, TP dan THP. TP itu alat dan mesin sedang THP itu produk”, penjelasan panjang Mr. Ribut yang tak kuhiraukan.
Adu argumen pun kembali terbangun di ruang keluarga yang juga difungsikan sebagai ruang nonton. Seperti biasa, ada yang pro padaku, selebihnya golongan putih (golput). Rasa kekurangpuasan yang ditimpa dengan rasa kurang menghargai usahaku pikirku. Bubuk kakao. Bubuk yang awal eksistensinya pun sempat disangsikan oleh rekan satu program studiku, mba Fitri. Bubuk kakao yang aku buat hanya dengan teori penepungan biasa. Bukan dengan teori mesin yang harus mengekstraksi lemak kakao. Memang, kakao itu aku produksi dengan teknik trial and errors alias teknik coba-coba dengan kuantitas sampel yang minim, 2 buah kakao. Apapun argumentasi penolakan karyaku itu, jangan pernah membuat aku memplagiat kalimat Tuhan,
“Aku mengetahui apa yang tidak engkau ketahui”.
Waktu berlalu. Aku terjebak pada amarahku, tergulung oleh sebuah kalimat indah nan bijak, “kemarahan akan selalu berujung pada rasa malu”. Iya, aku benar-benar malu. Namun, maaf tak akan menjadi pamungkasku. Kata yang tak lagi memberi arti apa-apa dan merubah apapun. Cukup.


Hari terakhir bersama laskar Merah,,,
Seminggu lagi. Dunia kotak-kotak sebentar lagi akan aku dan yang lainnya tinggalkan. Program kerja KKN pun nyaris finish. Kusebutkan saja, tujuh hari mengajar adik-adik mengaji. Iya, membaca ayat Al-Qur’an dengan ilmu tajwid, ilmu yang mungkin aku pun tak begitu yakin menguasainya. Tapi itulah belajar, berbagi pengetahuan untuk mengenal Sang Guru sejati secara lebih dekat. Shalat sunnah Tarawih juga menjadi kegiatan rutin rekan-rekanku. Intensitas ibadah yang sepertinya memuncak di bulan Ramadhan. Satu lagi, acara bukber_buka puasa bersama menjadi aktivitas terakhir kami di desa yang kalau tak salah merupakan daerah administratif paling barat dari kecamatan Lappariaja. Penutup.
Suasana perpisahan di posko KKN pun berlangsung khidmat yang dipadu dengan air mata yang menetes di wajah ayu sahabat-sahabatku. Rasa yang mungkin berbeda 179 derajat dengan rasa di awal perjumpaan kami dengan Sang Empunya rumah. Jabatan hangat Pak Desa, Bu Desa dan Kak Idris mengantar kepergian kami menuju ke ibukota kecamatan. Untunglah, surat kejahatan akademik ala elit kampus tak kami sodorkan pada Sang Pemimpin kampung di hari-hari terakhir kami. Kertas yang mengiba untuk mengiyakan demontrasi penyuluhan fiktif yang digelar oleh seorang dosen di desa posko KKN kami. Parahnya, kertas itu beredar dengan sangat terorganisir. Kertas itu kutahu telah digenggam dengan rapi oleh Rizal pada 17 Agustus 2011 sesaat setelah upacara di lapangan bola Patangkai. Kertas tak tahu malu itu pun akhirnya diremas oleh kak Anca sebelum diaminkan oleh koordinator desa, Rizal. Aku turut mendukung terlemparnya kertas bertuah itu di tempat sampah yang tak lagi bersih. Sekotor tindakan si pengirim yang hampir saja diaminkan oleh rasa sungkan kami. Buru-buru kubuat status “Aku Tak Suka Denganmu”. Mudah-mudahan saja tak menjadi kado ulang tahun bagi negeri berlabel kolusi ini. Amin ya!..,
Laskar merah, aku menyebut seluruh pasukan KKN kampus merah Universitas Hasanuddin yang hari ini akan meninggalkan lokasi KKN di kampung Lappariaja. Riak-riak rasa berbaur di sana. Kebahagiaan, kesedihan, dan ekspresi biasa-biasa saja pun mencuat. Ah, akhirnya selesai juga. Sejuta ekspektasi yang mulai terbangun pasca kegiatan KKN di bumi Arung Palakka ini. Acara penyerahan kembali pasukan Laskar Merah di tangan pejabat kampus menyudahi kewajiban kami atas kalimat Tri Darma Perguruan Tinggi di siang itu. 21 Agustus 2011 pada penanggalan tahun Masehi menjadi akhir perpisahanku dengan mereka persis di hari penyembahan matahari_Sunday. Panas.

Minggu, 11 September 2011







KKN? seru nggak ya?
Tunggu kisah sang Laskar Merak dalam kibaran Pesona Merah,,,,