Rabu, 04 November 2009

Aktualisasi Wanita Dalam Konteks Persamaan Gender

Aktualisasi Wanita dalam Konteks Persamaan Gender

Wanita dan pria, sipakah mereka??? Iya, keduanya adalah makhluk yang menenteng gelar “ manusia”, para penghuni buana yang mengukir kisah di atas lembaran masa. Sosok yang terus saja menggila untuk sekedar melambungkan namanya lewat sederet konsep dan aksi yang notabene merupakan karakteristik mereka sebagai “Homo Sapiens”, makhluk yang berfikir, begitulah title yang dipasangkan oleh Sang Filosof meskipun akreditasi gelar tersebut masih patut dipertanyakan. Berfikir, Sebuah proses yang nantinya akan membawa mereka untuk menghasilkan output pemikiran tentang eksistensi mereka sendiri. Hari ini, memasuki dunia abad 21, identitas wanita dan pria begitu pelik untuk dicari. Tak ada lagi patokan yang dapat memberi limit atau batasan tentang identitas antara wanita dan pria. Mereka yang secara kodrati hanya terdiri dari wanita dan pria ini kini saling berlomba untuk mencantolkan diri sebagai makhluk yang tereksis, entah dalam dimensi dan tendensi apa. Terlepas dari pengalaman historis yang pernah meletakkan wanita sebagai makhluk yang terjajah oleh budaya Patriarkhy, peranan wanita detik ini telah berotasi 180 derajat atau bahkan lebih bagi sebagian pihak dengan adanya gerakan revolosi yang dibangun oleh kaum feminis di hampir seluruh pelosok dunia. Feminisme, sebuah faham yang mendeklarasikan doktrin kewanitaan bahwa wanita adalah makhluk yang harus terus berusaha dalam memberikan kontradiksi terhadap kekungkungan bagi kaumnya, sebuah kemerdekaan yang tentunya diharapkan dapat berujung pada kebebasan, kebebasan yang tetap berada pada koridor kemanusiaan. Tetapi justru dengan jubah baru, makhluk yang bernama wanita atau perempuan ini ternyata dihadapkan pada berbagai tantangan yang terintegrasi dalam aturan dan norma klasik yang masih dianut oleh masyarakat. Melawan sebuah realitas, seperti itulah problem yang menggerogoti jiwa-jiwa kaum Hawa ini. Hal ini tak terlepas dari stigma yang menyatakan bahwa gerakan feminisme oleh sebagian pihak dianggap dapat mengancam posisi kaum pria dalam berkarya. Wanita dianggap mampu menggeser peran kaum Adam. Pun, kaum wanita masih dianggap tabuh untuk eksis di dunia luar. Tak pantas, seperti itulah audio yang tak jarang dilontarkan oleh masyarakat. Bersembunyi dalam sebuah arogansi, ataupun berdalih di balik keegoisan berkarir, yang jelas para pria harus menerima fakta bahwa wanita yang dulunya hanya disibukkan dengen pekerjaan domestic (baca: urusan rumah tangga), kini turut unjuk gigi menampilkan kemampuannya di dunia luar. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimanakah para wanita mampu menempatkan dirinya sebagai pihak yang memiliki kepentingan dalam berbagai ajang dan atraksi, serta bagaimanakah kedudukan mereka berdasarkan perspektif dunia saat ini?

Harus diakui peran aksi para kaum wanita kini tak lagi dapat dianggap biasa-biasa saja, sepak terjangnya tidak hanya terlihat dalam menyajikan jasa boga bagi family , lebih dari itu mereka telah bergeser untuk berekspresi aktif di luar graha. Dalam lingkup Indonesia saja, gerakan perubahan demi kesamaan gender yang pada awalnya dimotori oleh RA Kartini telah berimbas pada semakian gencarnya gerakan properempuan dengan dalih yang cukup menggegerkan “ sebuah ketidakadilan”. Alhasil, pemerintah dalam UU pun akhirnya bersedia memberikan jatah 30 persen dari para pekerja di parlemen pemerintahan melibatkan kaum perempuan. Angka yang mungkin cukup proporsional berdasarkan pertimbangan para petinggi di negeri Jamrud Khatulistiwa ini. Tapi bagi kaum feminis, angka tersebut masih perlu untuk diperjuangkan. Tak heran kini berjuta kaum wanita berlomba-lomba menyibukkan diri dengan berbagai rutinitas di luar dunia dapur. Contoh konkret, Lihat saja di tengah musim pemilihan Caleg yang lagi nge-trend, tak di pusat atau daerah, para wanita yang diusung oleh berbagai parpol yang entah dengan dorongan feminis atau hanya sekedar ikut-ikutan dalam konsep persamaan gender demi profit politik pun semakin gencar berteriak dan mendongeng kepada masyarakat yang tak ayal adalah para voter dalam pesta demokrasi, sebuah legitimasi untuk memperoleh kredibilitas rakyat dalam kepemimpinan dengan menguras rupiah yang tak sedikit . Tujuan mereka Satu, dapat berdiri sejajar dengan kaum laki-laki. Kesejajaran, nilai yang dapat diinterpretasikan secara berbeda oleh setiap kepala. Tak bermaksud melecehakan, dengan melihat fenomena dan realitas , masyarakat awam termasuk para wanita pun sepertinya harus melek untuk membaca masa transisi yang dialami oleh partner kaum laki-laki ini. Memaksakan menjadi sopir bagi para penumpang tanpa diikuti dengan kemampuan dan kecakapan mengemudi yang baik tentunya akan berbuntut pada tingkat keselamatan beberapa elemen, yang tak lain adalah penumpang, angkutan serta sopir itu sendiri. Dapat dibayangkan dan sungguh sangat disayangkan bila hal tersebut menjadi potret wanita di tengah era modern saat ini. Memaksakan wanita untuk menjadi tokoh utama dalam sebuah proyek bukanlah hal yang salah tetapi harus diikuti dengan kapabilitas yang dimiliki dan juga dibutuhkan dalam bidang tersebut, jangan hanya dengan alasan keterjajahan, kesamaan , ataupun dengan isu yang dipolitisir, harus memaksakan wanita terjun menggulingkan posisi laki-laki. Kalaupun toh wanita ini memang memiliki ability dan kemampuan yang ter-include dalam syarat berkarir, para pria selayaknya memberikan ruang bagi wanita untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya dalam bidang kerja terlepas dari layak dan tidak layak, pantas dan tidak pantas, boleh dan tidak boleh versi aturan main masyarakat selama ini. Sebuah apresiasi dan kebanggaan yang pasti bagi para wanita karir. Terlebih lagi ketika kaum wanita yang sebagian besar telah terikat dalam ikatan rumah tangga plus menenteng gelar ibu dengan cekatan mampu menjalankan tanggungjawabnya dalam organisasi yang dinamakan keluarga itu. Wanita, tetaplah makhluk yang memiliki harapan dan idealisme yang diharapkan dapat tertuang melalui serangkaian kerja yang selanjutnya dikenal dengan karir. Dalam sebuah dialog yang ditayangkan di sebuah stasiun TV kategori caliber di negeri ini, menghadirkan pihak yang pro dan kontra terhadap eksistensi wanita di dunia pemerintahan. “Perempuan hanya dapat eksis di pemerintahan ketika seluruh kaum laki-laki impoten”, fragmen klausa yang menggetar di sound system TV. Sungguh sangat disayangkan bahwa sebuah kalimat yang cukup menampar gerakan feminis ini justru diujarkan oleh seorang pembicara yang konon adalah ekspert dalam bidang keagamaan. Tetapi itulah sebuah argument yang dapat dimuntahkan oleh siapa saja tergantung dari latar belakang ideology yang dianutnya dan secara mutlak didengarkan oleh ribuan dan bahkan angka tak terbilang dari telinga sang pendengar. Ini adalah salah satu gambaran yang jelas bahwa hingga detik ini masih saja ada oknum yang membawa budaya anti-wanita. Secara implisit, ujaran ini telah mengalpakan eksistensi wanita. Kini, kita harus menarik sebuah garis yang dapat membentuk tata kehidupan kerja yang mampu membangun interkoneksitas wanita dan laki-laki. Bumi begitu indah ketika dimanjakan oleh gelombang cahaya Sang Surya yang terekam dalam kecerahan siang dan diselimutkan dengan kerlipan bintang oleh Sang malam. Pagi dengan rona terang yang dibawanya ternyata memberikan semangat bagi segenap makhluk untuk bekerja secara aktif. Malam pun ambil bagian, kegelapan dan angin malam mengantarkan hampir seluruh makhluk untuk beristirahat, melepas lelah dari setumpuk aktivitas. Ya, sebuah nilai yang terbayarkan. Alur permainan cantik Siang dan malam ini pada dasarnya dapat dijadikan sebuah alternative dalam konteks kesetaraan gender yang semakin gencar dipublikasikan oleh kaum feminis . Wanita adalah relasi dari kaum laki-laki. Laki-laki tetap membutuhkan kehadiran Sang Dewi dalam kehidupan ini. Wanita dan pria, keduanya memiliki peran masing-masing tetapi akan tetap berjalan dalam etape kehidupan yang identik. Gerakan feminisme seharusnya tidak ditanggapi sebagai sebuah gerakan yang anti-pria tetapi justru gerakan yang memberikan kesempatan bagi perempuan untuk menempatkan dirinya sebagai partner kerja bagi kaum pria. Hal yang sangat ditakutkan bahwa gerakan feminisme jika tidak dibarengi dengan kesadaran pada akhirnya akan membawa wanita kehilangan identitasnya sebagai seorang wanita. Bukan hal yang diharapkan bahwa gerakan feminisme ini akan terekstensi menawarkan rubric baru dengan lahirnya wanita kepriaan, atau wanita semipria, dan semua jenis mutasi buruk yang mengaburkan jatidiri seorang wanita.

Kotak saran n Kritik

e-mail :vivintekpertuh@yahoo.com

Makassar, Februari 2009

Ditulis oleh Vivin Suryati

Mahasiswi Teknologi Pertanian UNHAS

Angkatan 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar