Senin, 28 Desember 2009

Judul : ...........................
Oleh: Vivin Suryati
Akhirnya, toga yang melambangkan apresiasi Intelektual itu mengena juga di kepalaku. Rasa puas dan sedikit bangga menghampiriku di hari paling bersejarah sepanjang hidupku. Acara wisuda, perhelatan akbar yang menjadi saksi perjuanganku di bidang akademik setelah hampir memasuki tahun keenam. Menimba ilmu di sebuah Universitas Negeri di Kota Makassar, kota yang jauh dari Pulau kelahiranku, Pulau Sembilan, salah satu beberapa gugus pulau kecil di Sinjai Utara. Bukan waktu yang singkat memang, waktu studi yang melebihi waktu studi rata-rata bagi mahasiswa. Wiwiek, Anto dan Rizal adalah mahasiswa satu jurusan denganku. Mereka telah lulus setahun yang lalu dan kini telah mengabdi sebagai guru honorer di kampung. Malahan, Kiki yang satu kelas denganku di SMA Negeri di Kota Sinjai, bisa lulus CumLaude dengan IPK 3,7. Hebat, padahal kalau diingat-ingat, Kiki sama sekali bukanlah siswa dengan IQ tinggi. Harus kuakui, keaktifanku dalam sebuah organisasi dakwah telah membuat kuliahku sedikit keteteran. Tak jarang, aku membolos kuliah karena harus mengikuti acara yang diselenggarakan oleh organisasi nonakademik itu. Juga, pernah sekali aku terlambat mengikuti ujian final karena menjadi pengisi acara di suatu pertemuan. Prof. Abdullah, dosen yang terkenal sebagai dosen yang sangat disiplin pun tak memberi ampun. Tak diizinkannya aku mengikuti ujian yang paling menetukan itu. Al hasil, mata kuliah dengan dosen yang sama pun harus kuulang setahun berikutnya. Hal itu menurutku biasa, tapi tidak bagi orang-orang di sekelilingku termasuk orang tuaku. Mereka sering memperingatkanku untuk memperhatikan kuliahku.
“Ingat nak,sekolah yang baik di sana”, kata-kata Ibu yang selalu menggaung di telinga setiap berkomunikasi denganku. Kegelisahan mereka terhadap kondisi pendidikanku bisa kutangkap. Desember 2008. Iya, di acara Wisuda Sarjana, kegelisahan ayah dan ibu pun akhirnya bisa kupupus meskipun mungkin degan sedikit kekecewaan yang terpendam dalam hati. Siapa yang tahu. Maafkan Linda ……..
Fragmen kisahku di kala itu. Tepatnya, masa kuliahku yang tak berjalan mulus. Penuh Perjuangan. Memori itu mengantarkanku pada tidur lelap malam ini. Namaku, Linda Apriliani Islami. Lengkapanya, Linda Apriliani Islami, S.Pd. Tak apalah kutentengkan gelar sarjanaku itu. Toh aku meraihnya dengan perjuangan dan kejujuran. Oh ya nilai kejujuran, yang akan kuajarkan pada siswa-siswa baruku esok.
Triit,…telepon selular merk NOKIA milikku bergetar, membangunkanku dari tidur dari buaian mimpi. Ooo sebuah pesan singkat, Kak Fachri. Belum kubuka SMS itu. Paling basa-basi, ucapan selamat. Setelah kubuka ternyata dari ibu. Mungkin Kak Fachri sedang liburan bersama anak dan istrinya di kampung.
Assalamualaikum,
Anakku, lakukanlah yang terbaik. Keluarga selalu mendoakanmu. Ibu
Menyejukkan. Pesan singkat dari Ibu semakin memantapkan langkahku di hari yang sedang diguyur hujan. Hari ini memang adalah hari pertamaku sebagai seorang guru. Guru, cita-citaku sejak kecil. Terbilang cukup beruntung, dua bulan setelah aku mendapatkan gelar sarjana Pendidikan, lowongan CPNS terbuka. Alhamdulillah, Aku lulus dan ditugaskan di Sekolah Menengah Atas yang terletak di sebuah kecamatan. Pintu dunia kerja memang begitu mudah kumasuki, nyaris tanpa batu sandungan. Bahkan tergolong memberikan sambutan luarbiasa untukku. sebelumnya, tawaran untuk mengajar di sebuah sekolah swasta dengan gaji bejibun, tak tanggung-tanggung tiga kali lipat dari gaji guru PNS yang telah berbakti hampir separuh hidupnya. Iya, tawaran dari seorang sahabat yang kukenal dari organisasi dakwah yang kuikuti sejak kuliahku semester tiga. Kak Husnul, akrabnya, memberitahukan adanya lowongan kerja di sekolah tempat ia juga mengajar itu memang termasuk sekolah anak-anak golongan borjuis. Tak heran, para staff dan pengajar di sana hidup makmur. Kepala yayasan sekolah itu memang masih kerabat dekat Kak Husnul, oleh karenanya sangat mudah bagiku untuk masuk ke sana dengan memegang selembar surat rekomendasi. Jalur ini tak kupilih karena aku dua alasan mendasar. Pertama, aku tak ingin menambahkan namaku pada daftar praktik nepotisme di negeri ini. Cukup sudah, negeri ini bobrok oleh adanya praktik nepotisme yang hampir tejadi di setiap departemen, termasuk masalah pekerjaan. Tak terhitung berapa banyak calo dan mafia dalam seleksi penerimaan CPNS dan penerimaan karyawan di Institusi pemerintah lainnya. Benar kata orang, koneksi dan kongkalikong akan terus berjalan beriiringan. Lalu, itu kan sekolah swasta, apa yang salah? Benar itu sekolah swasta. Tapi menurutku, cara yang kutempuh untuk masuk ke sekolah Internasional dengan koneksi dari Kak Husnul tetaplah nepotisme. Lagipula, jurusanku hanya Pendidikan Matematika yang tidak ditopang oleh pengetahuan Bahasa Inggris yang mantap. Kalaupun aku masuk ke sana, aku yakin sulit beradaptasi. Kata Kak Husnul saat itu, di akhir tarbiyah tak ada masalah karena semua bisa diatur . Dengan berat hati kutolak tawaran itu. Bagiku, menerima tawaran itu berarti menghilangkan hak calon pengajar lain yang jauh lebih cakap dan tentunya juga akan merenggut hak siswaku kelak untuk mendapatkan ilmu yang seharusnya mereka dapatkan. Sekali lagi bukan congkak tapi ini adalah prinsip. Stop, kita beralih ke kisahku berikutnya, Sekolah baruku…
…………………………………………………………………………………………………………………………………………
Satu, dua dan tiga minggu sudah aku mengabdikan diri dengan ilmuku di sekolah ini. Kebetulan sekali aku masuk pada semester akhir tahun ajaran . Aku pun mulai beradaptasi dengan lingkungan akademis. Para siswa, rekan guru, staff, hingga satpam sekolah telah mengenalku, meskipun mungkin hanya kenal tampang saja. “Assalamualaikum Bu”, sapa mereka saat berpapasan denganku. Bu Linda, sapaan mereka yang biasanya telah menghafal wajah dan namaku dengan baik.
Teknik mengajar yang kupelajari dari Buku Quantum Teaching, kuimplementasikan pada saat mengajar. Sedapat mungkin kupadukan aspek kinestetik, audio dan visual dalam mengajar. Bukan mengajar, tapi lebih tepatnya mengembangkan potensi mereka. Bagiku mendikte siswa dengan pengetahuan yang aku miliki justru akan mematikan kreativitas dan potensi mereka dalam belajar. Metode represif alias kekerasan dalam mengajar pun kuhindari sebab bagiku bukan lagi jamannya sistem kolonialisme. Tapi sulit juga rupanya, butuh kesabaran ekstra dalam menghadapi siswa yang beranjak dewasa ini.
“sekarang kalian lihat latihan pada buku paket halaman 112”, instruksiku setelah menjelaskan materi Program Linear.
“Ayo, siapa yang bisa mengerjakannya”, mataku melirik pada siswa yang duduk di belakang
Anna, seorang siswi yang duduk paling depan segera mengacungkan tangannya. Rasa percaya tinggi terpancar dari aura wajahnya. Cerdas, seperti itulah gambaran dari sosok ini yang kudengar dari cerita para guru selama ini. Tapi perhatianku masih tertuju pada siswaku yang duduk di pojok belakang kelas itu. Belum kutahu siapa namanya. Maklum, aku baru mengajar dua minggu di kelas ini, sekitar empat kali pertemuan kelas. Untuk menghindarkan rasa kecewa pada Anna, segera kupersilahkan dia maju ke depan kelas. Perhatianku pun beralih pada siswi ini. Gerak tangannya dalam menggoyangkan spidol pada papan tulis putih menampakkan kemampuan dan pemahamannya pada materi yang baru saja kami ulas bersama di kelas. Lima menit, waktu yang cukup singkat untuk mengerjakan soal dengan tingkat kerumitan yang agak tinggi. Cerdas, pujiku dalam hati. Segera kuminta Anna menjelaskan cara penyelesaian soal tersebut. Perhatianku kembali tertuju pada siswa itu yang belakangan kutahu bernama lengkap Hermanto Saputra. Tampak ia sama sekali ia tidak memperhatikan apa yang dipaparkan Anna. Kulihat ia asyik mengayunkan penanya di atas buku tulis latihan Matematika. Sempat kuberfikir, dia sedang mencatat apa yang tertulis di papan atau dia telah memahami materi tersebut. Tapi dugaanku meleset, setelah kudekati dan kulihat buku tulis bermerk Sinar Dunia itu, terlihat jelas gambar bola basket, ring, lapangan basket serta desain baju basket yang menghiasi buku latihan matematika miliknya. Tak satupun catatan tentang materi hari ini walaupun itu hanya judul materi. Aku pun memintanya untuk menjelaskan kembali apa yang telah dipaparkan oleh Anna. Dengan nada tenang dan agak tegas, Hermanto menjawab saya tidak tahu.
Emosi pun seketika muncul dengan apa yang dikatakan anak itu barusan. Tapi berusaha kuredam. Setidaknya dia berkata jujur bahwa dia memang tidak tahu. Sabar, kataku dalam hati……..
“Baiklah, kalian yang telah mengerti materi program linear tolong mengajari temannya yang kurang paham. Jika kurang jelas dan mengalami kesulitan, kalian bisa bertanya pada Ibu di luar kelas nanti”, ujaranku mengakhiri pelajaran di kelas itu.
Metode ini kuterapkan karena kuberfikir para siswaku akan lebih canggung untuk bertanya pada mereka yang lebih tua, ada sekat. Berbeda bila mereka berkomunikasi dengan sebayanya. Pengalaman masa lalu ketika aku masih duduk di bangku sekolah dulu.
Anto, sapaan akrab dari Hermanto Saputra pun menjadi sosok dalam topik pembicaraanku dengan Pak Irwan, seorang guru Pendidikan seni. Dari mulut Pak Irwan ini, terlontar pujian pada siswaku tersebut. Anak yang gigih dan punya prinsip. Ujaran yang membuatku bingung, apakah Bapak ini sedang bercanda dengan lantas mengatakan hal yang justru kontradiktif. Setahuku, semua guru di sekolah ini, kecuali Pak Irwan yang dengan ujarannya tadi entah benar atau salah, semuanya mengatakan bahwa Anto adalah siswa dengan label Malas dan Bodoh. Bodoh dalam hal akademik. Menurutku, Kecerdasan memanglah hal yang relatif. Tiap orang memiliki kecerdasan tertentu. Tapi bukan berarti bahwa kau akan menerima perlakuan Hermanto Saputra yang tidak mengerjakan seluruh tugas yang kuberikan termasuk pekerjaan rumah. Bahkan, belakangan ini siswaku ini mulai jarang masuk kelas alias membolos. Beberapa kali aku menyuruhnya menghadap ku di ruang guru. Terkadang aku juga agak berat memintanya menghadapku ke ruang guru hanya untuk menanyainya seputar alasan ketidakhadirannya pada pertemuanku. Sangat mendasar, semua guru akan mengoceh tiada henti pada anak ini yang sudah terlanjur dikenal dengan Cap Bodoh. Menambah beban masalahnya saja. Akhirnya, akupun hanya memberinya nasihat dan semangat untuk berubah.Kasihan juga, pikirku.
Sebagai seorang guru, aku tak mungkin memilih cara represif atau kekerasan menghadapi siswa. Tapi pendekatan yang kulakukan terasa sia-sia. Hermanto Saputra tetap pada sifat-sifat buruknya, tidak ada perubahan. Informasi yang terakhir kudengar, semua guru mengeluhkan sikapnya. Lebih parah lagi, selain terkenal malas, bodoh, ia juga kini sering berkelahi. Kali ini dalam sebuah rapat semua guru dan kepala sekolah sepakat untuk mengeluarkan Hermanto Saputra dari sekolah. Guru BP mencatat, tingkat kesalahan yang dilakukannya tidak bisa ditolerir lagi. Entah dengan pertimbangan apa, aku mati-matian membela siswaku. Dengan alasan pelaksanaan ujian Akhir Nasional yang hanya tertinggal tiga bulan lagi, kenakalan remaja dan faktor lingkungan menjadi tameng untuk melindungi anak yang kutahu riwayatnya akan tamat di sini, di rapat ini. Dengan sedikit retorika, aku akhirnya memenangkan rapat ini setelah melewati debat panjang dengan peserta rapat yang lain.
“Ibu Linda ini bagaimana sih, anak itu sudah bikin ulah. Bisa merusak teman-temannya yang lain dan juga malu-maluin sekolah. Masih saja dibela”, dengan nada agak menyindir.
Akupun hanya bisa menunggingkan senyum. Tak ada kata, karena dasarnya aku pun tak dapat merasionalkan apa yang telah aku argumenkan di rapat tadi. Aku pun tak mengerti tentang apa yang kulakukan tadi. Sejak keluar dari rung rapat itu, aku terasa asing. Segera aku menuju ke musallah kecil milik sekolah. Kudirikan shalat Dzuhur berjamaah menghadapkan wajah pada Rabb Yang Esa. Menceritakan keluh kesahku siang tadi, lewat lantunan doa…
…………………………………………………………………………………………………………………………………………
“Assalamualaikum Kak Fachri”, ucapanku memulai pembicaraan di telephone
“Waalaikum salam Linda, bagaimana kabarnya Linda?”
“Alhamdulilah Kak. Ada apa ya Kak?”
“Ibu sakit, gula darahnya naik. Kalau bisa kamu pulang jenguk ibu”
“Iya Kak”, jawabku setelah lama jedah
“Ya sudah, Assalaumualikum”
Tuttttt…………….., pembicaraan itu berakhir
Beberapa menit kemudian, telepon kembali berdering. Telepon dari tante mengabarkan hal yang sama. Hari ini, aku tak masuk mengajar. Kubulatkan niatku untuk pulang ke kampung. Menjenguk ibu. Rasa bahagia terlihat di raut wajah ibu saat melihat kedatanganku, anaknya. Kucium tangan ibu dan kurasakan rindu yang luar biasa. Maafkan Linda Bu, baru kali ini Linda sempat ke sini.
Bagaimana kisah Linda selanjutnya,...Tunggu ya,...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar