Senin, 28 Desember 2009

Oleh-Oleh Kampus
Oleh : Vivin Suryati
Jilbab, kain penutup kepala yang menjulur hingga ke dada itu kini menjadi pilihan busana Nisa hari ini. Nisa, yang sesuai dengan namanya bisa ditebak adalah seorang perempuan. Tak berbeda dengan kebiasaan Nisa lainnya, Nisa satu ini berkaca pada sebuah cermin mungil di tangannya. Memandang wajah yang telah dipoles dengan taburan bedak merk PONDS, merk bedak yang cukup familiar bagi wanita seusianya. Pelambab bibir merah jambu yang terikat oleh jemarinya segera mengoles bibir mungil Nisa. Sesekali menggeleng kepala seakan membetulkan sesuatu yang kurang nyaman yang rupanya ditangkap oleh visualisasi pada cermin. Proyeksi wajah yang tergambar pada cermin itu ditatapnya baik-baik. Entah apa yang membuatnya betah menatap wajah yang juga tak akan berganti bentuk itu, yang jelas jam digital yang bertengger di atas buffet sederhana miliknya sempat menampilkan digit 07.10 pada layarnya dan itu segera menyadarkan Nisa untuk menghentikan kegiatan yang telah dilenggokinya seperempat jam yang lalu. Segera, dia melangkah keluar.
Dewi fortuna rupanya belum menyapanya hari ini. Angkot jalur kampus berlalu tanpa melirik keberadaan Nisa yang telah berdiri sejak tadi menunggu alat transportasi ekonomi tersebut. Satu, dua, tiga..… dan tak terhitung lagi berapa jumlah angkutan kota yang telah berlalu di hadapannya namun tak juga menghampiri. Full, kata itulah yang mewakili gerakan penolakan angkot terhadap keberadaan Nisa hari ini. Hanya asap mengepul yang menyalaminya di pojok jalan itu. Wajah manis yang sedari tadi dipasangnya pada setiap orang yang ditemuinya kini mulai agak kusam oleh debu, asap, dan bau got yang tak enak. Ya, begitulah polusi kota hari ini. Bola mata itu melirik pada arloji pink yang terlilit pada tangan kanannya. Rupanya, waktu telah berlalu lima belas menit. Nisa Nampak gusar dan berceloteh tidak jelas. Lama, aduh, telat dan sederet kata lain mulai terlontar dari bibir itu. Mata itu menatap tajam pada etape jalan. Beberapa angkot mulai nampak dan mendekat. Ekspektasi pun muncul, berharap kendaraan roda empat itu akan singgah menghampirinya. Angkot kampus bertuliskan 02 pada kaca mobil bagian belakang pun berhenti sekian meter dari posisinya saat ini.
“ Akhirnya”, pikirnya dalam hati seakan menunjukkan kelegaan luar biasa. Segera, langkahnya mengayun menuju angkot yang sepertinya memiliki muatan yang lumayan over itu. Tidak jadi masalah bagi Nisa. Syukur bisa sampai kampus on time, harapnya.
Dalam perjalanan menuju kampus, sesekali mata melirik ke kanan dan kirinya. Tiga anak berseragam putih abu-abu duduk sejajar dengannya. Di hadapannya, nampak seorang ibu paruh bayah dengan keranjang polimer miliknya. Juga dua orang bapak tua. Yang satunya berseragam PGRI sementara yang satunya lagi berpakaian batik dengan garis wajah yang menampakkan kematangan usia. Di sebelah Bapak itu, duduk seorang perempuan cantik, modis istilah anak sekarang. Dilihat dari pakaian yang mengena di tubuhnya, bisa ditebak dia mahasiswi sebuah sekolah tinggi computer yang cukup caliber di kota ini. Seorang anak lelaki duduk mendampingi Pak Sopir yang asyik mengemudi.
“Mahasiswa baru ya ,Dek? Tanya Ibu berkeranjang itu yang dengan seksama memperhatikan nisa
“Iya”, jawab Nisa dengan anggukan kepala tanda penegasan.
“Sekarang kampus masih keras ya. Kasihan mahasiswa baru dipelonco terus”
Bapak guru dengan taksiran usia 40 tahun pun ikut merocos pembicaraan, “Sistem Pendidikan kita memang belum berubah. Masih mengikuti pola lama, sistem pendidikan kolonialisme”
“Kasihan anak-anak kita yang di IPDN, mati karena kekerasan dalam sistem pendidikan”, lanjutnya.
Ibu itu pun kembali membuka dialog. Tapi kali ini menyambung argument Bapak guru itu.
“Iya, benar-benar kasihan. Kemanakan saya pun sempat patah tulang karena dipukuli mahasiswa lama di kampus. Kata kemanakan saya itu, dia hanya membela rekannya yang ditendang karena tidak memakai apa tuh namanya?” bola mata itu bergerak ke atas, seolah mencari koordinat memori. “Iya, papan nama”, tegasnya menyelesaikan paparan ceritanya.
Pembicaraan tentang sistem pendidikan pun menjadi topic pembicaraan kali ini. Silih berganti Bapak dan Ibu itu mengeluarkan pendapat dan keluh kesah dengan kalimat panjang. Lebih pantas disebut curahan hati. Mereka mengupas beberapa kasus dan isu yang telah terekspos oleh media. Beberapa kali, Ibu itu bertanya pada Nisa dan meminta persetujuannya. Nisa pun hanya menjawab seadanya, seperti apa yang dialaminya sejak status mahasiswa baru menempel padanya. Tak banyak, karena memang baru satu minggu dia menghirup udara kampus.
“bukan kekerasan Bu, tapi dikeraskan”, suara pelan namun penuh semangat memecah pembicaraan panjang itu…
“Anak muda tidak boleh payah, harus kuat untuk menuntut ilmu, apalagi mempertahankan negara”, bapak tua mengakhiri pembicaraannya.
Nisa yang sedari tadi memerhatikan dialog itu, seakan terguncang oleh perkataan Sang tua. Berbeda dengan perempuan modis itu, Ia lebih memilih untuk mengumpali indera pendengarannnya dengan earphone yang tersambung dengan telepon selular miliknya daripada cuapan orang-orang yang ada di dalam kendaraan itu
“Kiri ”, suara renta membuat mobil yang melaju dengan kecepatan 80 km perjam itu pun berhenti di depan sebuah kantor pos tua. Bapak tua dengan badan agak membungkuk itu pun turun, tak lupa ia menunggigkan senyum kecil pada Nisa yang duduk di ujung pintu mobil. Selembar uang nominal 2000 yang membungkus logam 500 rupiah segera ia serahkan pada pengemudi. Ucapan terima kasih yang belum membudaya bagi orang-orang di Negeri ini pun meretas oleh kata terima kasih Sang tua.
“Pikiran veteran memang beda sama kita ya?”, ujar Ibu paruh bayah yang akhirnya turun di pasar yang bergelar di sepanjang jalan .
…………………………………………………………………………………………………………………………....
Tepat jam 07.55 waktu kampus, Nisa bergerak cepat menuju Himpunan Jurusan Ekonomi. Dilihatnya, sekumpulan mahasiswa berambut plontos. Oh bukan tapi benar-benar gundul seperti bola. Berdiri atas terik matahari. Dengan satu fose, mereka tertunduk tanpa vocal. Segera, Nisa menyadari bahwa mereka adalah rekannya, Mahasiswa baru. Dengan langkah yang agak kaku, ia berusaha berbaur dengan mahasiswa yang juga berkalung karton itu. Terlambat, teriakan seseorang dengan segera menghentikan langkahnya.
“Hei, Kamu! ke sini dulu”, suara dengan nad agak tinggi menukik
Menyadari panggilan itu tertuju padanya, segera Nisa berbalik arah, dan berjalan mendekati seorang perempuan berjilbab yang duduk sekitar 6 meter dari posisinya saat itu.
“Sekarang jam berapa cantik? Kenapa terlambat?”, senior wanita itu pun memulai pembicaraan
Nisa hanya tertunduk tanpa kata. Baginya, jawaban apapun tak kan pernah logis bagi Seniornya.
“ 3 set!”, katanya dengan cepat
1 Set adalah istilah yang berarti 10 push up, 10 back up dan 10 gerakan lagi. Entah apa sebutannya. dan 3 set artinya…,ah tanpa pikir panjang segera dia melaksanakan komando itu. Dilepasnya tas ransel miliknya .
Satu, dua, setengah. Nisa mempraktikkan posisi setengah Push Up. Keringat mengujur di wajahnya. Polesan bedak pun mulai meluntur. Tampak senior itu memerhatikan Nisa dan mulai mengoceh
“Dengar semuanya, di kampus ini kalian tak perlu bergaya, Merk up tebal 5 cm. Oy, tidak perlu pamer perhiasan. Percantik saja itu otak”
“Entah apa maksudnya,Ingin menyindirku atau mungkin saja dia iri denganku yang memang agak cantik darinya” pikir Nisa yang memang masih mengenakan sebuah cincin dan gelang emas.
“lima, enam, tujuh, …..”Ia melanjutkan hitungannya hingga hukuman itu pun selesai….
“Oh, ya namamu siapa?”, tanyanya
“Annisa Dwi Heksaputriani, Kak”, jawab Nisa mantap
“Di sini, kamu tak akan pernah mendapatkan ilmu tentang moral dan etika. Malulah jadi manusia yang krisis moral, kawand”,
………………………………………………………………………………………………………………………………
Tiga bulan sudah, Nisa dan teman-temannya menikmati masanya sebagai mahasiswa. Kuliah di perguruan Tinggi Negeri di Kota Angin Mamiri menjadi kebanggan tersendiri baginya dan juga teman-temannya. Tapi tidak untuk kegiatan nonformal yang diagendakan oleh seniornya. Tepat, Kegiatan pengkaderan. Alasan para senior untuk membuat para mahasiswa baru mengikuti segala aturan main mereka. Nisa dan teman-temannya pun tak punya pilihan lain kecuali mengikuti segala perintah Mahasiswa yang lebih dulu masuk kampus. Pernah ada seorang mahasiswa yang berani melawan. Asis, lengkapnya. Ahmad Asis Abdillah. Temanku yang satu ini memang memiliki keberanian yang agak lebih dari seluruh mahsiswa baru, termasuk Nisa. Asis menolak untuk mengikuti kegiatan pengkaderan. Alhasil, sekali pukulan di perut dan beberapa tamparan di pipi pun menerpanya. Dengan segera seorang senior pun,tapi bukan dia yang memukul Asis. Ia berkhotbah di depan kami yang saat itu tengah didera rasa takut luar biasa. Seolah membenarkan perlakuan fisik yang dilakukan oleh rekannya.
“Di sini, kami tidak butuh para pecundang, manja seperti kalian.Lembek. Kalian tahu, di luar sana kehidupan itu keras”, kata-kata yang seakan berkobar dengan semangat kepemudaan.
“Kalian kira kalian kuliah kalian gratis. Kalian itu disubsisdi oleh negara. Dari uang pajak. Pajak RAKYAT” tegas senior itu. Dimana tanggung jawab kita untuk membayar tetesan keringat mereka. Sekarang, sebagai seorang mahasiswa,” ia menghentikan cuap-cuapnya kemudian tersenyum kecut, entah hanya acting atau luapan emosi nyata.
“Mahasiswa, Maha… Maha...Sungguh, maha..maha goblok dan mahatak tahu diri. Tuhan, kau terlalu baik tuk menyandingkan gelarnya dengan manusia-manusia goblok seperti kalian ini”
Lidah Nisa ingin segera bergerak mengeluarkan sederet kata. Tapi tidak, ras percaya diri dan sedikit keberanian itu pupus. Rasa ingin mengkritik pun sepertinya tampak pada bahasa tubuh mahasiswa Ekonomi angkatan 2009 yang lain. Tapi tetap sama, tak cukup nyali tuk berdebat dengan senior yang penuh dengan retoris itu. Mereka pun pada akhirnya membiarkan suara memantul ke telinga mereka. Lama sekali, mereka merasa teromeli oleh senior-senior yang semakin lama semakin memenuhi ruangan itu. Tak terduga, seseorang berani membuka mulutnya dan mengeluluarkan suara meski dengan agak terbata-bata. Entah siapa dia, Nisa pun tak begitu mengenal.
“Maaf Kak, bagaimana kakak bisa berani berbicara tentang tanggung jawab terhadap bangsa. Tanggung jawab terhadap diri sendiri saja kakak tidak bisa”
“Maksud kamu apa kurang ajar?, hantam seorang senior yang membalut tangannya dengan shall bermotif batik coklat. Tinju pun menerjang pada meja kayu di ruangan itu.
Sementara, senior yang tadi memberikan wejangan kata-kata itu hanya menaikkan alisnya seakan memberi tanda pada ia yang telah lancang berbicara untuk meneruskan kata-katanya.
Kali ini anak itu berbicara lantang seolah tak memperhatikan keberadaan senior yang jumlahnya semakin banyak.
“Maaf Kak, apakah merokok dengan jerih hasil tetesan keringat orang tua dan tidak mengikuti perkuliahan dengan alasan ini dan itu adalah bentuk tanggung jawab. Mana tanggung jawab Kakak bagi bangsa, terlalu jauh, untuk keluarga dan diri kakak sendiri?”, percaya diri pun mulai muncul
Rupanya, anak itu memperhatikan perilaku dan kebiasaan para seniornya di kampus. Dua orang dengan segera menarik Anak yang kemudian kutahu bernama Tegar Wijaya Sitompul. Mereka mengeluarkan Tegar dari ruangan itu. Tegar, sugguh ia namapak tegar menghadapi perlakuan preman Intelek itu. Kegaduhan pun mulai terjadi di ruangan itu.
“siapa lagi yang mau berkomentar?, tanya seorang senior wanita yang tadi menghukum Nisa. Manusia satu ini memang wanita, jilbaber lagi. Tapi hati-hati, aura kekerasannya seakan menepiskan aura kewanitaan pada dirinya. Kini giliran Nisa meluapkan emosi pada senior yang berpenutup kepala itu.
Nisa mulai berbicara, matanya mulai berlinang air mata. Entah ketakutan atau rasa miris yang ada “Maaf Kak, apakah semua harus permasalahan harus dilakukan dengan kekerasan. Apakah cara preman ini layak dicontoh oleh para intelektual? Menampar, memukul….”Air mata pun akhirnya menetes di pipi Nisa.
Cengeng, hu, dan entah kata-kata apa lagi yang terlontar dari sekian banyak mahasiswa senior dan supersenior di ruangan itu. Tampak juga sebagian mahasiswa meneteskan air mata. Mungkin, rasa haru…
“Ooo, jadi seperti ini mental kalian semua. Menangis adalah solusi untuk menghadapi sebuah masalah”, jawab senior wanita itu
“Di mana solidaritas kalian, bahasa teman kalian yang cantik tadi tindakan preman. Di mana rasa kebersamaan kalian ketika saudara kalian dihantam? Atau kalian semua memang pengecut! Senior lain menambahkan.
Tak ada yang bersuara. Lima menit kemudian, rekan Nisa yang tadi dikeluarkan dari ruang dengan senyum agak malu memasuki ruang itu dan mengakhiri seluruh rangkaian scenario Sang senior.
Oleh-oleh kampus yang bisa dibawa pulang oleh Nisa dan Kawan-kawannya hari ini, dunia akademis yang mulai tergerus akan nilai-nilai kemanusiaan semu.

1 komentar: